Marsha tengah bersantai di pinggir pantai dengan segelas cocktail di tangannya. Ia beberapa kali mengecek pesan masuk, telepon, bahkan email. Sudah seminggu, tapi masih belum ada pergerakan apa-apa, mungkinkah ini tak seperti yang diharapkan. Namun wanita itu tak menyerah, ia yakin untuk kejutan yang dia berikan pasti akan menimbulkan huru-hara, bahkan itu sekelas bom granat yang akan langsung meledak begitu dibuka. “Ya, tunggu saja, Marsha. Sebentar lagi, apalagi sekarang situasinya sudah mulai tenang. Lihatlah, berapa lama ketenangan itu akan berada di pihak mu, Al.” Marsha mengekeh geli sambil menggoyang pelan gelasnya mengikuti irama pijatan lembut para pria bayaran yang tengah menyentuh punggung mulusnya. “Em, kau coba kemari,” ujar Marsha. Salah satu pria berbadan kekar maju mendekati Marsha. “Ya, Anda butuh apa, Madam?” Marsha tersenyum, ia beranjak lalu duduk dengan posisi menantang memperlihatkan lekuk tubuh seksinya yang hanya dibalut bikini. Tatapan sensualnya membua
Rio tak bisa lagi menolak Lenka, uang yang diberikan Lenka adalah asal muasal ia harus menepati janjinya. Padahal kalau ditelisik lagi, uang yang Lenka berikan memang uang yang berasal dari rekening Aileen, sehingga wajar saja dikembalikan pada pemiliknya. Tapi begitulah, liciknya Lenka, ia takkan mau mengalah begitu saja terhadap keinginannya. "Rio, kau lihat, dia semakin besar." Lenka terus memberitahu Rio tentang hasil pemeriksaan kandungan anak dalam kandungannya. Rio tak peduli, ia hanya ikut ke rumah sakit karena Lenka yang memaksa. Meski ia harus menikahi wanita itu, tapi perasaannya sudah mati pada Lenka sejak lama. Penyesalan sudah tak ada artinya lagi, bahkan ia yakin suami Aileen pun takkan tinggal diam atas tindakannya terhadap Aileen kemarin. "Kau kenapa sih. Aku daritadi mengajakmu bicara, tapi kau tetap saja tak menatapku!" Rio menghela napas. "Aku harus apa memangnya?" "Kenapa kau malah tanya! Aku sedang membicarakan anakmu tau! Kau tak ada perhatiannya sama s
Albani Serius, ia benar-benar mengumpulkan para karyawan perusahaan Aileen. Sebagai salah satu pemilik saham terbesar di perusahaan itu. Albani punya hak untuk mengatur dan juga melakukan tindakan tegas sebagai sanksi atas pelanggaran entah itu kecil maupun besar yang dilakukan karyawannya. "Saya kumpulkan kalian di sini, apa kalian sadar atas kesalahan kalian?" Pertanyaan Albani itu disambut dengan tundukan, dan keheningan, tak ada yang berani menjawab. Mereka hanya beradu pandang satu sama lain dengan sesama teman kerja. Tidak ada yang berani menatap Albani, dan bicara. "Saya tunggu lima detik sampai diantara kalian ada yang mau menjawab pertanyaan saya, kalau tidak saya tak segan beri sanksi-sanksi yang membuat kalian menyesal." Aileen berusaha mencegah Albani, tapi itu sama sekali tidak berarti. Albani tetap melakukan apa pun yang ia inginkan, walau sebagai korban Aileen memang merasa dihina oleh para karyawan yang sempat menatapnya sinis, bahkan tak segan menuduh yang bukan-bu
Albani masih sibuk dengan aktivitasnya yang seolah tak kunjung berakhir. Pria itu tak berhenti melihat arloji menunggu kapan kiranya meeting selesai. Ia ingin meninggalkan meeting kali ini, karena entah kenapa terus kepikiran dengan Aileen. Tapi ia tak mungkin meninggalkan meeting yang penting itu begitu saja karena semua menunggu keputusannya di pertemuan itu. "Jadi, apa bapak setuju dengan usul kami?" Albani yang memang tak fokus sejak tadi hanya mengangguk. "Ya, baiklah lakukan saja." "Baik, Pak." "Em, apa saya sudah boleh meninggalkan meeting?" tanya Albani. Sekertaris Albani lalu mendekat. "Maaf pak, hari ini masih ada dua pertemuan lagi." Albani menggeram. "Bisa di cancel dulu untuk hari ini?" "Maaf pak, tapi ini sudah Anda cancel juga kemarin." Albani memang jadi lebih sering meninggalkan meeting semenjak ia baru saja menemukan rasa cintanya untuk Aileen. Tapi kali ini berbeda, ia benar-benar tak bisa tenang dan terus kepikiran akan istrinya. "Richard, saya moh
Saat tengah menikmati makan siang, tiba-tiba saja Aileen merasa perutnya sedikit tak nyaman. Ia pamit pada Hasya untuk pergi ke toilet, sedangkan Hasya menunggu di kantin dan melanjutkan makan siangnya. "Hah, leganya." Aileen keluar dari toilet, ia berjalan di lorong menuju ke kantin. Saat diperjalanan menuju kantin, ia bertemu Rio. "Halo, Aileen." Aileen menatap Rio sarkas. Kenapa pria itu menyapanya dengan tidak formal. "Kau sangat tak sopan ya, saya adalah atasanmu." Rio menutup mulutnya. "Ups, lupa, maafkan aku Ibu Aileen yang terhormat." Aileen berdecih. "Minggir." "Tunggu." Rio mencegah Aileen pergi begitu saja. "Mau apa kau, jangan halangi jalanku," kata Aileen. "Aku senang melihatmu lagi, Aileen. Em, maaf maksudnya bu Aileen. Apalagi kau tampak luar biasa, sangat cantik. Kau tak pernah secantik ini." Aileen menggeram, ia tidak suka Rio memujinya. "Aku benci mendengar ocehan mu, apalagi kau memuji dengan mulut busukmu itu." "Ah, apa kau masih marah padaku, Ai? Bagaim
Hasya menceritakan kronologinya, bagaimana asal mulanya Rio bisa menyatakan perasaan terhadapnya. Bukan hanya Hasya yang terkejut dengan itu, tapi Aileen pun sama terkejutnya. Aileen tak mengira jika Rio akan mengatakan hal begitu pada Hasya. Ia masih memikirkan kemungkinan Rio jujur, atau sebenarnya Rio punya rencana lain. Namun satu hal yang pasti, saat ini Aileen mulai menyesal telah mengajak Hasya terlibat dengan urusan Rio. Bagaimana jika nanti Rio malah memanfaatkan Hasya untuk kepentingannya, apalagi Aileen tau, Rio bukan pria yang baik. Lantas, Aileen bingung harus memberikan respon apa, ia takut Hasya akan salah paham, dan malah menilainya lain nanti. Karena urusan itu, Aileen sampai lupa jam makan siang. Sudah pukul dua belas kurang lima menit, Aileen masih saja duduk di mejanya sambil melamun. "Bu Aileen, kenapa tidak makan siang?" tanya Hasya. Aileen menatap Hasya, gadis itu masih sangat polos sama seperti dirinya dulu. Ia takkan biarkan Rio menghancurkan hidup Hasya,