LOGINNathan merasa senang karena Erin mau memberikan kesempatan untuknya agar bisa dimaafkan. Ia benar-benar menyesal sehingga ingin menunjukkan kesungguhannya untuk Erin. Laki-laki bermata hitam itu tidak tahu bahwa apapun tindakannya nanti adalah hal yang sia-sia di hadapan gadis itu.
“Kamu kelihatannya lagi seneng?” tanya David yang tampak sudah bersiap berangkat bekerja.
“Erin udah mau ngomong sama aku.”
David diam, ia hanya menghela nafas panjang namun tidak mengatakan apa pun lagi. Laki-laki bermata coklat itu mulai mengambil roti isi yang sudah disiapkan oleh ibunya.
Hardion yang mendengar percakapan dua putranya itu ikut bertanya. “Erin sudah memaafkan mu?”
“Ehmm, belum tapi Erin sudah mau diajak bicara.”
Hardion mengangguk. “Bagus, kamu bisa mengundangnya makan bersama supaya dia merasa dekat lagi.”
David menatap ayahnya dengan ekspresi heran. Ia tidak mengerti kenapa ayahnya tampak ikut campur dengan urusan percintaan anaknya.
“Malam ini?” tanya Nathan memastikan.
“Tanyakan dulu kapan Erin memiliki waktu luang.”
“Baik.”
Kali ini David mengalihkan pandangan ke arah ibunya yang tampak tidak tenang. ‘Tumben ibu diam? Biasanya ibu selalu bersemangat jika berbicara tentang Erin.’
“David, kakek mu akan berkunjung bulan depan,” ucap Hardion tiba-tiba.
“Ya,” jawab David singkat. Ia bisa menebak kakek yang dimaksud. Tentu saja ayahnya yang akan menyampaikan jika keluarganya akan datang berkunjung, begitu juga dengan ibunya.
“Persiapkan dengan baik.”
‘Hahh… Ayah ternyata sama saja dengan kakek ya,' ucap David dalam hati.
“jangan memaksa anak-anak mu untuk memenuhi ekspektasi kakeknya,” ucap Amelian yang akhirnya membuka suara.
“Aku tidak memaksakan, itu untuk mereka sendiri. Apa kamu senang melihat anak mu dibandingkan dengan sepupu lainnya lalu diremehkan?” tanya Hardion kesal.
“Aku tidak peduli itu semua asal kita hidup dengan baik.”
“Memangnya apa yang baik jika kita direndahkan orang lain?” ucap Hardion dengan ekspresi kesal.
Amelian diam, begitu juga dengan David maupun Nathan. Ketiga orang tersebut tidak ingin membuat Hardion semakin kesal.
Suasana pagi itu menjadi terasa tidak nyaman. David pun bangkit lebih dulu karena enggan berlama-lama di hadapan ayahnya itu. “Saya pergi duluan.”
“Saya berangkat ke kampus dulu, bu,” ucap Nathan yang kemudian langsung bangkit.
Amelian pun segera membereskan piring kotor dan meninggalkan Hardion di ruang makan itu sendiri.
***
Nathan sudah sampai di depan rumah Erin untuk menjemputnya. Laki-laki bermata hitam itu telah membuat janji dulu dengan Erin untuk mengantar gadis itu ke kampus.
“Erin!” panggil Nathan dengan ekspresi senang begitu melihat Erin keluar dari rumahnya.
“Kamu sudah menunggu sejak tadi?”
“Baru aja kok,” jawab Nathan sambil tersenyum.
Nathan membukakan pintu mobil dan membiarkan Erin masuk lebih dulu. Setelah itu barulah ia masuk dan duduk di kursi untuk menyetir.
“Kamu bukannya nggak ada kelas pagi? Emangnya nggak apa-apa ke kampus duluan?” tanya Erin memastikan.
“Nggak apa-apa kok, aku perlu cari buku juga di perpustakaan buat tugas. Kalau pagi begini kan sepi.”
Erin mengangguk dan tidak bertanya lagi. Ia sebenarnya enggan pergi bersama Nathan, tapi ia harus melakukan itu untuk dekat kembali.
“Oh iya, ayah sama ibu mau ngajak makan bareng, kamu ada waktu luang kapan?” tanya Nathan sambil tetap fokus mengemudi.
“Hmm… makam malam atau makan siang?”
“Kamu lebih suka makan malam atau makan siang bareng?”
Erin terdiam sejenak, ia membuka ponselnya lalu memeriksa agendanya selama satu minggu ini. “Mungkin aku cuma bisa makan malam, selama minggu ini aku ada agenda makan siang bareng koleganya papa ku di hari rabu dan jumat, kamis aku ada kelas siang.”
“Kalau gitu bisa makan malam di hari apa?”
“Besok atau malam minggu bisa,” jawab Erin sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya.
“Oke nanti aku kasih tau ayah.”
Erin hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia sedang berusaha menyeimbangkan pikiran dan campuran emosi yang sedang dirasakan saat ini.
‘Berarti mas David beneran nggak ngasih tau keluarganya soal rencana ku ya?’ gumam Erin dalam hati.
“Mas David mungkin nggak bisa ikut makan malam kalau besok… ,” gumam Nathan pelan.
“Memangnya kenapa?”
“Kakek Nenek dari keluarga ayah akan datang bulan depan, jadi biasanya mas David akan bekerja lebih banyak di hari biasa menjelang ke datangan mereka.”
Erin diam, ia pernah mendengar cerita dari Nathan tentang keluarga ayahnya yang gila materi dan kehormatan. Kakek dan nenek Nathan itu memang sering membandingkan cucunya dan memamerkan pencapaian anak cucunya di media sosial.
“Ah maaf, aku malah ngomongin itu,” ucap Nathan merasa tidak enak. Erin memang memberikan kesempatan untuk dekat lagi tapi Nathan berpikir saat ini Erin tentu tidak ingin mendengar cerita keluarga yang tidak ada hubungan dengannya.
“Nggak apa-apa kok, kalau begitu malam minggu aja. Oh iya, gimana kuliah mu?”
Nathan terdiam sejenak, ia masih ingat jelas bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh kepala jurusan dan dijauhi oleh teman-temannya.
“Ehmm, baik-baik aja kok, tapi mungkin aku nggak bisa di deket mu kalau di kampus,” ucap Nathan ragu.
“Kenapa? Kata mu mau nunjukkin kamu sungguh-sungguh nyesel?”
“Bukan gitu, kalau aku terus di deket mu, nanti kamu kena rumor buruk dan jadi bahan pembicaraan lagi.”
Erin diam memandang pantulan wajahnya di kaca. Ia benar-benar kesal dengan jawaban Nathan tersebut. “Aku nggak pernah peduli sama rumor kok, lagian status kita sekarang kan temenan.”
Nathan merasa agak kecewa mendengar perkataan Erin, namun ia merasa hal itu memang pantas ia dapatkan, justru ia masih bersyukur karena Erin memberikan kesempatan meski harus mengulang dan berusaha mendapatkan hati gadis itu lagi.
“Aku udah cukup ngasih hal memalukan ke kamu dan aku nggak mau nambahin pembicaraan buruk yang nyebut nama mu.”
Erin menatap Nathan yang sedang fokus menyetir, dalam hati ia berkata, ‘kalau aku masih menyukainya, mungkin mendengar itu aku bisa langsung terharu, tapi sekarang rasanya semua memuakan.’
“Aku turun sini aja,” ucap Erin sambil melepas sabuk pengaman.
“Nggak mau dianter sampai fakultas dalem?”
“Nggak, ada yang perlu ku fotocopy juga. Kamu balik duluan aja, kan katamu nggak mau kelihatan kalau deket aku.”
Nathan terdiam sejenak. “Ehmm oke, nanti kalau udah pulang bilang ya? Ku jemput.”
“Aku pulang bareng Jessie karena mampir cafe dulu.”
“Oh oke.”
“Makasih udah nganterin aku, Nathan.”
Nathan tersenyum lalu membiarkan Erin berlalu pergi. Ia benar-benar merasa senang karena gadis bermata coklat itu sudah mau memberikannya kesempatan bahkan sudah mau diantar. Laki-laki bermata hitam itu memarkir mobilnya lalu segera menuju perpustakaan untuk mencari buku yang akan digunakannya sebagai referensi mengerjakan tugas.
“Psst… itu si mantan ketua BEM yang selingkuh itu kan ya?” bisik seorang perempuan berkemeja biru.
Nathan tetap melangkah dan mengabaikan bisik-bisik dari para mahasiswa lain yang sedang membicarakan dirinya. Ia sudah tidak peduli lagi mau dibicarakan seperti apapun. Meski menyesal dan sungguh-sungguh ingin berubah, ia tetap harus menerima konsekuensi atas perbuatan buruknya di waktu lalu.
Seorang perempuan berambut panjang menatap Nathan yang sedang lewat dengan ekspresi aneh. ‘Hmm, jadi teringat hal lalu.’
*****
Erin terdiam sejenak. Ia ragu antara harus menjelaskan niatnya atau mengatakan separuh hal saja.“Pa, apa papa bisa percaya sama Erin?”Keraguan terlihat jelas pada sorot mata tua itu. Namun Harsano tidak ingin terlalu mengatur apa yang ingin dilakukan putrinya.“Papa percaya padamu, tapi papa khawatir kalau kamu kesana sendiri dengan ingatan yang masih belum kembali sepenuhnya.”Perempuan bermata coklat itu tersenyum. “Kan ada nenek dan kakek disana, ada juga Alen. Mereka tentu akan menjaga ku.”Ada ketidakrelaan pada raut wajah Harsano. Namun pria tua itu tidak bisa menolak jika putrinya sudah menetapkan sesuatu.“Baiklah, tapi sering kabari papa dari sana.”“Pa… kan aku masih disini. Itu pun aku pergi setelah aku benar-benar sehat,” gerutu Erin pelan.Harsano membelai kepala putrinya. “Papa tau, papa hanya khawatir.”Sebenarnya Harsano tidak hanya mengkhawatirkan putrinya. Namun ia juga mencemaskan David.Menantunya itu sudah lama berusaha melakukan hal terbaik untuk Erin. Namun ji
Erin tidak ingin menunjukkan betapa rindunya ia dengan sosok pria yang kaku itu. Ia enggan menunjukkan perasaannya untuk sementara karena suatu alasan.“Oh iya, David, Erin menanyakan ponselnya yang lama. Apa masih kamu simpan?” Tanya Harsano tiba-tiba.David yang sedang membawakan potongan kue, langsung mengalihkan pandangannya ke Erin.Perempuan yang duduk di ranjang rumah sakit itu terlihat terkejut. Namun ia langsung mengendalikan ekspresinya.“Masih kok, tapi di rumah. Kenapa tiba-tiba menanyakan ponsel mu yang lama?”“Emm, siapa tau ada sesuatu di ponsel itu yang membuat ku bisa ingat sesuatu,” balas Erin gugup.Ia tidak mengatakan kebohongan. Namun yang diucapkannya hanyalah sebagian dari kebenaran.Perempuan tersebut mencari ponsel lamanya untuk mencari catatan atau sesuatu yang bisa membuatnya ingat lebih cepat.‘Aku nggak bisa bilang kalau aku perlu menghubungi mantan istrinya untuk bertanya kan?’ pikir Erin dalam hati.Pria itu menyodorkan kue itu sambil mengamati eskpresi
David duduk, berdiri, berjalan pelan, lalu kembali duduk. Ia mengulangi itu berkali-kali. Pria itu bahkan lupa menghubungi keluarganya karena pikirannya sedang tidak tenang.Rasa ngeri itu kembali dengan lebih menyakitkan. Meski ia tau Erin sebelumnya dalam keadaan baik-baik saja, pikirannya tetap kembali mengingat bagaimana tubuh pucat Erin terbaring di ruangan yang dingin itu.15 menit kemudian, dokter yang bertugas beserta satu perawat, keluar dengan ekspresi lelah.“Bagaimana keadaan istri saya dok?”“Pasien sudah membaik, beliau akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa, anda bisa ikut saya.”David pun mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Dokter muda itu mencuci tangannya lalu melepas masker sebelum kemudian duduk.Ia menjelaskan dengan tenang lalu bertanya tentang keseharian Erin pasca menjalani perawatan di rumah.David pun menjelaskan secara singkat tentang kegiatan Erin. Baik ia maupun Har
Ada jeda yang cukup lama dan itu membuat keduanya diselimuti keheningan yang menyesakkan.David tidak mengatakan apapun, ia masih menungggu respon istrinya untuk cerita yang baru saja ia katakan.“Siapa saja yang tau tentang pernikahan kontrak ini?” tanya Erin dengan eskpresi cemas.Tatapan keduanya bertemu. Namun David langsung mengalihkannya ke arah lain. Ia merasa takut melihat tatapan Erin yang kadang terlihat berbeda.“Niki, mantan istriku, nenek mu, lalu – “ David sempat ragu untuk melanjutkan perkataannya. Namun ia akhirnya tetap mengatakannya. “Papa mu.”Erin terkejut meski sebenarnya ia sudah menebaknya sejak awal. Namun ia cepat mengendalikan dirinya.“Kapan papa tau tentang itu? Sejak awal?”“Aku nggak yakin kapan tepatnya, tapi sepertinya kalau sejak awal itu nggak mungkin.”Helaan nafas panjang terdengar dari Erin. Ia memejamkan matanya perlahan lalu memijit pelan kepalanya yang terasa sakit. “Apa kejadian sebelum kecelakaan ada kaitannya dengan itu?”Lagi-lagi David ter
Setelah menjalani perawatan tambahan selama hampir satu minggu, Erin akhirnya diperbolehkan pulang.Meski begitu perempuan itu masih tidak diperbolehkan langsung bekerja. Baik Harsano maupun David tampak lebih protektif. Bahkan Erin masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri.Kegiatan Erin sehari-hari lebih banyak di dalam kamarnya. Ia akan membaca buku, membaca artikel atau sekedar menonton berita.Namun hari itu ia merasa sangat bosan, akhirnya Erin memeriksa barang-barang yang ada di kamarnya. Namun tidak menemukan benda yang dicari.Pandangannya mengarah ke sofa di ruang kerja yang terhubung dengan kamar itu.Sejak ia pulang kerumah, David selalu tidur di ruang kerja itu, di sofa. Pria itu tidak tidur satu ranjang dengan Erin.‘Apa sejak dulu begitu? Apa tidak ada perjanjian atau pembahasan tentang itu?’Erin duduk di sofa itu lalu mengamati rak buku yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah kotak ya
Erin masih tetap menjalani perawatan di rumah sakit untuk memastikan kondisinya lebih lanjut.Meski keadaannya semakin hari semakin membaik, ingatannya masih belum kembali. Ia masih tidak mengingat tentang David.Walaupun begitu, David setiap hari datang berkunjung dan membawakan makanan kesukaan Erin. Ia sedikit merasa lega karena perempuan itu tidak kehilangan selera makannya.Saat itu Erin sedang duduk membaca buku yang dibawakan sang ayah atas permintaannya. Ia tampak serius, terlihat seperti Erin yang dulu.Tatapannya beralih, begitu pintu ruangan itu terbuka. Ia langsung menutup bukunya lalu tersenyum.Saat itulah David baru merasakan perbedaan Erin yang saat ini ada dihadapannya. Perempuan yang terlihat lebih ceria dan ekspresif.‘Mungkin Erin memang akan lebih bahagia jika pernikahan kontrak itu nggak terjadi.’“Anda datang lagi,” Ucap Erin dengan ekspresi senang.David tersenyum sedih, panggilan







