Share

Hati yang Terlanjur Sakit

Nathan datang lagi dan menunggu di depan gerbang rumah Erin. Ia lagi-lagi membawa buket bunga tulip yang baru untuk diberikan kepada gadis bermata coklat tersebut. Meski ia tidak tahu apakah gadis itu akan menerimanya atau tidak.

Cuaca hari itu sudah buruk sejak pagi, namun Nathan tetap menunggu dengan sabar meski di tengah rintik gerimis. Walaupun kondisi badannya sedang kurang sehat karena sempat kehujanan kemarin, ia tidak ingin melewatkan satu hari pun untuk menunjukkan kesungguhannya meminta maaf.

Tepat pukul lima Erin kembali ke rumah. Ia menatap sekilas ke arah Nathan lalu langsung masuk ke kediamannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Nathan tetap menunggu di depan gerbang meski kali ini kepalanya sudah mulai terasa pusing. ‘Apa aku pulang dulu sekarang? Kepala ku rasanya sakit sekali.’

Drrrkkk… Erin membuka gerbang berwarna hitam itu dengan ekspresi dinginnya. Ia tampak sudah berganti pakaian dengan baju yang nyaman digunakan.

“Masuklah.”

“Boleh?” tanya Nathan memastikan.

“Ya.”

Nathan mengikuti langkah Erin tanpa mengatakan apapun. Ia merasa lega namun juga khawatir di saat yang bersamaan.

“Duduk,” ucap Erin masih dengan ekspresi dinginnya.

“Ini… .” Nathan menyerahkan buket bunga tulip putih itu kepada Erin.

Erin menghela nafas panjang namun tetap menerima buket bunga tersebut.

“Aku mau minta maaf…,” ucap Nathan pelan.

“Minta maaf untuk apa?”

“Ehmm… aku melakukan hal yang buruk dan nyakitin kamu.” Tangan Nathan tampak bergetar karena kedinginan.

“Tunggu sebentar.” Erin langsung bangkit dan melangkah pergi meninggalkan Nathan di ruang tamu. Beberapa menit kemudian gadis bermata coklat itu kembali dengan membawa satu cangkir teh hangat. Ia langsung menyodorkan minuman itu untuk Nathan.

Nathan memandangi teh hangat di gelas itu. Ia merasa malu karena dalam keadaan marah pun, Erin masih memperhatikannya yang sedang kedinginan. Laki-laki bermata hitam itu mengambil teh hangat tersebut dan meminumnya.

“Maaf,” ucap Nathan lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Jika diperbolehkan, mungkin ia akan memohon-mohon untuk dimaafkan. Hanya saja ia tidak ingin membuat Erin merasa tidak nyaman.

Erin terdiam dengan ekspresi datar. Kali ini gadis itu merasa kesal dengan dirinya sendiri yang masih merasa ikut sedih saat melihat Nathan berekspresi seperti itu.

“Maaf…,” ucap Nathan lagi.

“Hentikan.”

“Apa yang harus ku lakuin supaya kamu maafin aku?”

Erin terdiam selama beberapa waktu. “Berusahalah lebih banyak sampai aku bisa ngerasain kalau kamu tulus.”

“Aku bener-bener nyesel… Aku mau berusaha lebih baik dan nggak membuat kamu kecewa lagi… .”

‘Kenapa kamu nggak berusaha seperti sejak dulu? Kenapa malah berselingkuh?’ ucap Erin dalam hati.

“Ya… .”

“Apa kamu bakal maafin aku?”

“Mungkin suatu waktu nanti… Sebelum itu ada yang mau ku tanyain… Sebenernya apa alasan mu berselingkuh?”

Nathan terdiam di tempatnya, ia tidak ingin menutupi apapun lagi namun ia juga tidak mau terkesan beralasan dan menyalahkan Erin.

Erin menghela nafas panjang, ia kembali berbicara. “Aku selalu denger dari banyak orang, banyak komentar pada kasus perselingkuhan… Kebanyakan dari mereka selalu menyalahkan pasangan wanitanya karena berbagai hal, ada yang disebut kurang memperhatikan pasangannya, ada yang menyebut terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, jadi yang kamu lakukan itu apa karena aku?”

“Tidak… itu karena aku egois. Aku hanya nuntut tanpa coba paham posisi mu… ,” jawab Nathan lirih.

Erin menatap Nathan, mata gadis itu tampak berkaca-kaca. Gadis bermata coklat itu bisa mengerti dengan baik kesungguhan yang diucapkan Nathan.

‘Kenapa kamu secepat itu sadarnya? Padahal aku berharap kamu tetap bersikap nggak tau diri supaya aku bisa balas dendam dengan nyaman,’ gumam Erin dalam hati.

“Aku akan mempertimbangkan maafin kamu atau nggak setelah lihat dan yakin kalau kamu itu nggak sedang pura-pura.”

Nathan memandangi teh yang mulai dingin itu. “Ya, aku akan berusaha.”

Erin menghela nafas panjang lalu bangkit dari tempat duduknya. “Aku ingin istirahat, setelah hujan reda pulang lah.”

“Iya,” ucap Nathan pasrah. Meski masih ingin berbicara tentang banyak hal, ia tidak ingin mengganggu waktu istirahat Erin.

Gadis bermata coklat itu melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Nathan di ruang tamu dengan teh yang sudah hampir menjadi dingin.

***

Erin memandangi buket bunga tulip itu sejenak lalu segera membuangnya ke tempat sampah. Ia merasa benci dengan dirinya sendiri yang sesekali masih memikirkan laki-laki yang sudah mengkhinatinya itu.

“Kamu pasti senang kan karena diberikan kesempatan?” gumam Erin pelan. Gadis bermata coklat itu memejamkan matanya, ia mengepalkan tangannya erat.

Tok..tok..

“Ya?”

“Ini papa.”

Klek…

“Ada apa, Pa?”

“Tadi kamu menyuruh Nathan masuk?”

“Ya, apa dia masih belum pulang?”

“Sudah pulang kok baru saja.” Harsano hampir saja berpikir bahwa anaknya memaafkan laki-laki itu, namun saat melihat buket bunga di tempat sampah, ayah Erin hanya menghela nafas.

“Yasudah, istirahatlah,” ucap Harsano mengakhiri pembicaraan.

“Pa… Erin masih belum bisa memaafkanya.”

Harsano menatap putrinya dengan ekspresi sendu, ia mengusap pelan kepala Erin. “Papa nggak akan maksa kamu memaafkan anak itu.”

“Pa, kalau Erin melakukan sesuatu yang buruk karena merasa sakit hati dan berubah menjadi orang jahat, apa Papa akan kecewa sama Erin?”

Harsano diam sejenak, ia bisa menebak sedikit arah pembicaraan putrinya. “Papa bisa mengerti rasanya dikhianati oleh orang yang paling dipercaya. Semakin besar rasa percaya, saat dikhianati rasa sakitnya akan sama besarnya pula. Apa pun yang kamu lakukan, kamu tetap putri Papa, tapi Papa harap kamu nggak melakukan sesuatu yang bisa merusak dirimu sendiri.”

Mata Erin berkaca-kaca mendengar jawaban ayahnya. Gadis bermata coklat itu menggangguk pelan tanpa mengucapkan apa pun.

Hatinya terasa sakit karena meski telah mendengar nasehat dari ayahnya, keinginan balas dendamnya tidak berkurang sedikit pun. Ia tidak mengerti kenapa ia terus teringat saat Nathan bersama dengan Mina. Meski ia berusaha melupakan itu, justru semuanya terlihat semakin jelas.

Harsano ikut merasa sedih melihat kepedihan yang dirasakan putrinya. Ia tahu betul betapa besar rasa cinta Erin kepada Nathan. Pria paruh baya itu rasanya juga ingin memukul Nathan yang telah menyakiti putri kesayangannya.

“Istirahatlah, Papa mau mandi dulu.”

“Papa baru banget pulang ya?”

“Iya, Papa khawatir putri kesayangan Papa menangis lagi karena seorang laki-laki br*ngsek yang datang terus.”

“Erin nggak nangis lagi kok. Yaudah Papa sana mandi.”

Harsano tersenyum lalu berlalu pergi meninggalkan Erin yang masih terdiam di ambang pintu. Gadis bermata coklat itu tersenyum getir melihat buket bunga di tempat sampah itu.

‘Kamu mungkin berpikir bisa memanfaatkan ku lagi, tapi aku yang sekarang bukan Erin yang kamu kenal dulu, Nathan,’ gumam Erin dalam hati dengan eskpresi dingin.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status