Sesaat setelah Erin pergi…..Nathan duduk terdiam di gazebo kecil usai Erin pergi meninggalkannya. Laki-laki bermata hitam itu berusaha mengatur nafasnya yang terasa semakin berat. Suhu tubuhnya semakin tinggi hingga membuat pandangan matanya tampak kabur.Hari ini ia seharusnya beristirahat di rumah. Namun karena ingin segera menemui Erin, ia mengabaikan kondisi tubuhnya yang sedang memburuk.Brukk… Buku yang sedang di pegang seorang gadis berambut panjang jatuh begitu saja saat melihat Nathan masih ada di gazebo kecil itu.Nathan menoleh namun pandangan matanya tampak kabur. Ia kembali menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Tidak lama kemudian tubuh laki-laki bermata hitam itu langsung ambruk.“Eh? Hei hei jangan pingsan disini,” ucap Emmy panik.Gadis berambut panjang itu segera membereskan bukunya yang tadi jatuh lalu segera mendekat ke arah Nathan yang sudah tidak sadarkan diri.Emmy melihat ke sekeliling untuk meminta tolong namun tidak ada siapapun di dekat ta
Nathan tampak sudah membuka mata, Ia masih menahan rasa sakit di bagian kepala meski kesadarannya sudah pulih. Walau begitu ia samar-samar bisa mengenali semua orang yang ada di ruangan itu. “Kamu sudah sadar?” tanya David yang mendekat ke arah Nathan. Begitu melihat David, Nathan tampak sangat marah. “Nggak usah pura-pura peduli atau masang ekspresi khawatir begitu.” David menatap Nathan dengan ekspresi bingung, begitupun dengan Layla, Riza dan Gerry. “Apa tadi saat pingsan kepala mu membentur sesuatu?” tanya David memastikan. “Nggak, tapi mungkin ada sedikit gangguan di kepala ku karena terlalu kaget denger mas David pacaran sama Erin,” jawab Nathan malas. Riza dan Gerry memandang ke arah Layla dengan ekspresi kaget. “Ehmm.. kami tunggu di luar ya, mas David,” ucap Layla cepat yang kemudian segera menarik keluar dua temannya. Ia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran dua saudara tersebut. David melangkahkan kakinya menuju sofa lalu duduk dengan tenang. “Tadi kamu menemui Er
Usai mengantarkan teman-teman Nathan, David mencoba menghubungi Erin namun gadis itu tidak menerima panggilan telfon darinya.Drrrttt… klik“Ya halo?”“Kamu dimana sekarang?”“Saya baru saja mengantar teman-teman Nathan kembali ke kampusnya, bu.”“Cepat kembali kesini!”Klik…Panggilan telfon itu langsung ditutup meski David masih belum mangatakan apa pun.Pria bermata coklat itu mengernyitkan keningnya. Ia bisa menebak hanya dari mendengar suara ibunya yang tampak marah. ‘Apa Nathan sudah memberitahu semuanya ke ibu?’Tatapan mata David yang sedang fokus ke jalan beralih ke sebuah mobil merah yang dikenalinya. Pria tampan itu menghentikan kendaraannya lalu memastikan bahwa yang dilihatnya itu memang benar milik Erin.‘Dia di bar? Jam segini? Memangnya tidak ada kelas?’ gumam David dalam hati. Ia mencoba kembali menghubungi Erin namun lagi-lagi gadis itu tidak menjawab panggilan darinya.David memarkir kendaraannya di halaman bar itu lalu segera masuk ke tempat yang tampak mewah terse
“Kamu menjalin hubungan dengan Erin?” tanya Hardion begitu David masuk ke ruang kerjanya. David menatap ayahnya dengan ekspresi datar. “Ya.” Hardion mengangguk sambil mengelus jenggotnya yang sudah mulai memutih. Pria tua itu tampak tidak marah. “Kamu menyukai Erin sejak lama?” David diam sejenak. ‘Nathan pasti sudah mengatakan semuanya… .’ “Ya, saya menyayangi Erin sejak lama, saya tidak ingin melihatnya bersedih, maafkan saya…” “Kenapa kamu minta maaf?” David mengambil jeda sejenak, mencoba menemukan rangkaian kata yang tepat. “Karena Nathan dulunya bertunangan dengan Erin…” Pria tua yang sedang duduk itu mengangguk. “Ya tidak apa-apa, kalau Erin sudah tidak menyukai Nathan dan memilih mu, kamu tidak perlu minta maaf, perasaan itu bukan sesuatu yang salah.” Kalimat yang diucapkan Erin kembali terngiang di telinga David. ‘Bagaimana bisa Erin tau kalau ayah akan mendukung?’ “Kamu harus memperlakukan Erin dengan baik, jangan sampai melakukan tindakan bodoh seperti Nathan,” uca
David dan Erin turun dari mobil hitam itu dengan ekspresi bingung. Nathan yang sudah menunggu sejak tadi langsung mendekat ke arah Erin. “Erin… .” “Kenapa kamu disini? Kamu bukannya masih harus dirawat di rumah sakit?” tanya Erin bingung. Tatapan Nathan beralih ke arah David yang berdiri tidak jauh darinya. Pria bermata coklat itu hanya terdiam tanpa mengucapkan satu kata pun. “Kakak ku yang deketin kamu lebih dulu kan?” tanya Nathan tiba-tiba. “Nathan kamu harus kembali ke rumah sakit,” ucap Erin mengabaikan pertanyaan yang diucapkan mantan kekasihnya itu. “Apa kakak ku memaksa menjalin hubungan dengan mu?” tanya Nathan lagi. David menghela nafas panjang. “Erin, bicaralah dengan Nathan sebentar, lalu Nathan kamu harus kembali ke rumah sakit setelah ini, ibu mengkhawatirkan mu.” Usai mengatakan itu, David langsung masuk kembali ke mobil hitam miliknya. Erin hanya menatap David dengan ekspresi kesal karena diminta berbicara dengan Nathan. “Aku merasa nyaman dengan mas David, s
“Hai Niki, tumben kamu menelfon?” “Aku merindukan mu.” “Kamu bercanda?” “Tidak, aku sungguh merindukan mu, Nicho juga merindukan mu.” David menghentikan mobilnya di pinggir jalan, ia memejamkan matanya yang terasa lelah. “Maafkan aku karena sudah lama tidak menghubungi Nicho.” “Ya ya, aku tau kamu sibuk.” “Bagaimana kabar mu Niki?” “Kabar ku? Aku sedang patah hati karena ku dengar kamu sekarang punya kekasih baru?” David tertawa. “Jangan bercanda seperti itu.” Terdengar juga suara Niki yang sedang tertawa. “Ya aku tidak berhak mengatakan itu karena aku yang meminta bercerai dari mu, hahaha.” David menghela nafas panjang lalu mengalihkan pembicaraan. “Apa Nicho ada?” “Nicho sedang bersama ayahnya, karena itu hari ini aku sangat kesepian.” “Bagimana kalau besok ku telfon lagi, ini sudah malam dan aku ingin beristirahat.” “Aku tidak percaya kalau kamu akan menelfon ku besok. Temani aku mengobrol sebentar lagi ya?” David menggenggam erat kemudi mobilnya. Ia benar-benar meras
Erin meletakkan ponselnya dengan ekspresi kesal. Ia sebenarnya pernah memperkirakan David mungkin akan berhenti di tengah jalan. Namun setelah melihat David yang tampak bersungguh-sungguh, Erin merasa ikut yakin, tapi sekarang hubungan kerjasama itu menjadi tidak jelas.‘Ya lagipula memang tidak ada alasan yang kuat untuknya membantu ku… ,’ gumam Erin dalam hati. Jari-jarinya mengetuk pelan meja berwarna putih itu.Gadis bermata coklat itu mulai berpikir mencari pengganti untuk tetap menjalankan rencananya. Namun selama ini yang ia kenal hanya beberapa laki-laki di luar urusan pekerjaan.Tok..tok..“Ya, masuk.”Seorang wanita muda muncul dengan ekspresi tenang. “Saya ingin mengingatkan, jam 1 nanti nona Erin ada kelas.”“Ah iya, terimakasih sudah mengingatkan ku, Milley. Aku hampir lupa.”Erin segera bangkit dari tempat duduknya setelah memeriksa catatan di ponsel. ‘Oke tidak ada tugas.’“Mau saya antarkan?” tanya asisten pribadi Erin.“Tidak perlu, Alen akan kesini untuk mengantar mo
“Soal yang kamu tanyakan tadi, ya kita memang pernah kenal sebelumnya… ,” ucap Daniel tiba-tiba. “Eh? Benarkah?” “Kamu beneran nggak ingat aku ya?” ucap Daniel sambil tertawa. “Maafkan saya… apa kak Daniel bisa memberitahu saya dimana kita pernah kenal?” Daniel memandangi mata Erin yang tampak berkilau terkena cahaya lampu. Pria yang memiliki tahi lalat di bawah mata itu tersenyum. “Kita pernah satu sekolah SMA dulu.” Erin terdiam memandangi wajah Daniel sambil mencoba mencari sosok pria itu dalam ingatannya tapi yang ia temukan hanyalah ingatan tentang Nathan. “Maafkan saya, saya tidak ingat,” ucap Erin dengan ekspresi murung. Ia baru menyadari sejak dulu yang ada di dekatnya hanya Nathan. Semua hal yang diingatnya hanya tentang Nathan. Ia bahkan tidak ingat nama teman sekelasnya saat SMA. David tertawa. “Ehmm, aku cuma bercanda kok, sebenarnya aku cuma mengenal mu sepihak.” Erin semakin merasa bersalah karena dulu dunianya hanya tentang Nathan. Ia bahkan tidak menyisakan sed