Seorang gadis dengan rambut ikalnya terkuncir rapi, kini keluar dari kontrakan dan mengendarai sepedanya buru-buru. Tanpa henti, selalu mengutuki diri sendiri karena kembali bangun kesiangan. Baru saja dua hari yang lalu mendapatkan teguran dari menejer kafe karena datang terlambat, dan hari ini sudah ke berapa kali ia melakukan kesalahan yang sama. Bergidik ngeri ketika membayangkan wajah bengis Tn. Darma--Manejer kafe ketika menceramahinya bahkan bukan hanya sekedar itu, tapi juga pasti akan ada kata ejekan untuk dirinya.
Berhenti memikirkan itu, gadis yang sudah rapi dengan kaos khas untuk karyawan kafe terus mengayuh sepedanya cepat. Tinggal lima menit lagi, berharap keajaiban akan datang menolongnya. Berharap pagi ini tidak ada halangan apapun yang mambuat jalannya terhalang.
Gadis dengan bentuk wajah oval itu terus fokus mengayuh sepedanya melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai kendaraan. Dengan gesitnya ia melintasi setiap kendaraan di depannya. Karena terlalu kencang, ban depan sepeda itu menabrak sebuah mobil yang tiba-tiba saja berhenti. Gadis dengan rambut ikal itu terjatuh dari sepedanya hingga mengeluarkan suara ringisan.
"Hey, kau bisa bawa mobil tidak!" teriak gadis itu protes di tengah menahan rasa sakitnya.
Seketika gadis itu membelalakkan matanya ketika jam di tangannya menunjukkan pukul delapan lewat lima menit, itu artinya ia sudah terlambat. Tanpa mempedulikan lengannya yang terluka, gadis itu kembali bangkit dan mengayuhkan sepedanya lagi dengan cepat.
"Hey, kau sudah membuat mobil kami lecet, kau harus menggantikannya!" teriak seorang lelaki dengan pakaian layaknya seorang supir.
Pria lain yang duduk di jok belakang, menurunkan kaca mobil kemudian menatap punggung gadis yang baru saja menabrak mobilnya. Pria itu hanya menaikkan satu alisnya sembari menatap rendah ke arah gadis yang mengendarai sepeda butut itu.
"Jangan pedulikan gadis miskin itu, jangankan untuk membayar ganti rugi bahkan untuk makan sehari saja ia harus bekerja keras dulu," sahut pria dengan rahang tegas di kedua sisi wajahnya yang tampan nan putih itu. Bahkan mata tajamnya yang bagai elang mampu membuat semua hati wanita meleleh.
"Jalan!" Satu kata tegas itu mampu membuat mobil hitam yang sempat terhenti itu kembali berjalan.
Gadis berambut ikal itu memarkirkan sepeda bututnya sembarang kemudian segera berlari masuk ke kafe. Dengan nafas memburu, ia segera masuk ke dapur dan memakai celemek yang di khususkan buat karyawan yang akan melakukan tugas.
"Mlathi, kok telat lagi sih. Udah berapa kali juga ditegur sama Tn. Darma. Ngak kapok," sahut Karin--rekan kerjanya ketika melihat gadis yang bernama Mlathi itu tergesa-gesa.
"Bukannya ngak kapok, tapi kau tau sendiri kan kehidupanku. Aku tidak hanya bergantung pada gaji di kafe ini. Aku perlu kerja tambahan buat ngirim uang ke mamak dan bapak di kampung, jadi, aku juga harus korbanin waktu tidur malam aku," ucap Mlathi sedih ketika mengingat bagaimana nasib hidupnya yang termasuk buruk.
Karin diam, ikut merasa sedih melihat teman kerjanya ini yang harus panting tulang mencari nafkah buat orang tuanya di kampung. Keduanya menoleh ketika rekan lainnya ikut menghampiri.
"Mlathi, dipanggil sama manajer tuh ke ruangannya." Kalimat itu berhasil menciptakan rasa takut di dalam diri gadis bernetra coklat itu.
Mlathi menatap karin sekilas, kemudian melangkah pergi dengan harapan bahwa kali ini manejernya itu memberikan satu kesempatan lagi untuk dirinya.
Mlathi menarik nafas dalam kemudian menghembusnya perlahan. Setelah mendapatkan izin masuk, Mlathi membuka pintu itu dan melangkah masuk dengan kepala menunduk.
"Anda memanggil saya, Manajer?" ucap Mlathi basa-basi.
Sosok itu memutarkan kursi putarnya menghadap Mlathi sembari mengangkat satu alisnya. "Kau pasti tau betul, kenapa aku memanggilmu kemari."
Mlathi semakin menundukkan kepalanya sembari memainkan jemarinya. "Ma-maafkan saya Manejer, saya kembali mengu-"
"Saya tidak butuh maaf darimu, selama ini saya selalu memberi toleransi di setiap kesalahan yang kau lakukan. Apakah kali ini saya juga harus memberikan toleran itu lagi, hm?" Potong Darma sembari menautkan jemarinya di depan dada. Menatap tajam ke arah gadis yang kini masih menundukkan kepalanya.
"S-saya mohon, berikan saya kesempatan satu kali lagi, setelah ini saya berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang sama," ucap Mlathi tegas dan penuh penekanan.
Lelaki yang duduk di seberang hanya terkekeh mendengar ucapan yang baginya seperti bualan.
"Setiap kali kau melakukan kesalahan, kau selalu mengatakan hal yang sama. Tapi, nyatanya tidak ada yang terbukti dari ucapanmu!" ujar Darma sembari mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali menerima uang penutup ini. Setelah itu silahkan untuk jangan datang lagi ke sini." Darma menyodorkan sebuah amplop tipis yang berisi beberapa lembar kertas berwarna merah.
"Tapi-"
"Tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ambil amplop ini dan silahkan keluar!" perintah Darma tegas.
Mlathi pasrah, tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk membujuk. Dengan lemah, ia melangkah untuk mengambil amplop itu kemudian keluar dengan perasaan sedih. Gadis berambut ikal itu, berjalan memasuki dapur untuk mengembalikan celemek dan mengambil tas ranselnya.
"Kenapa? Ada apa? Apa yang dikatakan manejer?" tanya Karin beruntun, menatap cemas ke arah Mlathi.
Mlathi hanya menggeleng lemah, semua mata karyawan kini tertuju ke arah Mlathi dengan tatapan tidak suka.
"Tidak ada hal yang lebih buruk dari pada di pecat dari pekerjaannya," lirih Mlathi sembari mengambil tas ransel kunonya.
"Apa! Dipecat." Ulang Karin tidak percaya. Bagaimanapun selama ia kerja di sini, Mlathi termasuk rekan kerja yang dekat dengannya. Gadis itu selalu membantu dirinya di saat ia sedang mengalami kesulitan dan sekarang tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu Mlathi.
Karin hanya mengusap punggungnya pelan sembari memberi kekuatan kemudian memeluknya erat. "Yang sabar yah, aku yakin kok tidak lama lagi kamu akan segera mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik dari ini."
Mlathi hanya diam dan membalas pelukan Karin, di mana lagi ia harus mencari pekerjaan untuk dirinya yang hanya tamat SMA. Bahkan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan kafe ini saja membutuhkan kesabaran ekstra, dan sekarang ia harus kembali kehilangan pekerjaan ini dengan mudahnya.
"Aku pergi, yah," lirih Mlathi seraya melepaskan pelukan mereka.
"Jangan pernah sungkan untuk menghubungiku, jika kau butuh bantuan ku, hm. Aku pasti akan segera membantumu sebisaku." Mlathi hanya mengangguk kemudian berbalik untuk pergi.
Di saat melewati para karyawan yang saling berkumpul, telinganya terus menangkap suara yang terus berbicara jelek tentangnya.
"Baguslah, sudah sepantasnya ia dipecat!"
"Seharusnya sudah dari dulu memecatnya, datang kerja seenaknya aja. Emangnya kafe ini milik bokapnya apa!"
"Dasar pemalas, datang selalu telat!"
Cibiran-cibiran itu tidak mempan lagi untuknya. Seakan kebal akan hal seperti itu. Karena sedari dulu, ia selalu mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang di sekitarnya hanya ada satu dua orang yang mau mengasihani dan membantu dirinya. Kini Mlathi selalu menganggap cibiran itu seperti musik, alunan nada yang hanya perlu dinikmati.
Setelah kaki itu melewati pintu kafe, sebuah nada dering dari ponselnya berbunyi. Dengan segera ia mencari ponsel itu dari dalam tasnya. Mlathi terkesiap ketika membaca nama yang tertera dari layar petak kecil itu.
"Mamak," lirihnya sembari perlahan menekan tombol untuk mengangkatnya.
"Ya, hallo." Mata itu berkaca-kaca saat mendengar suara piluh deri seberang. Menggambarkan begitu menderitanya kehidupan mereka. Terkadang gadis bertubuh kurus kecil itu mengutuki nasib sial yang selalu membuntuti hidupnya.
Kapan keberuntungan berpihak padanya?
Di sebuah gedung pencakar langit, seorang lelaki sekitar umur 25 tahun berdiri di dekat jendela dengan menyedekapkan tangannya. Tatapannya lurus ke depan tanpa ekspresi, entah apa yang sedang ia pikirkan.Sebuah ketukan tidak mampu membuat lelaki perjaka itu menoleh, bahkan bergerak seinci pun tidak. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, nyaris membuat pintu itu terbuka. Suara high heels mulai terdengar, seiring dengan terus melangkah, suara ketukan itu seperti bernada."Tuan Eric, setelah makan siang nanti ada rapat penting dengan kolega," ucap suara yang di lembut-lembutkan seperti seorang yang sedang menggoda.Hanya suara deheman yang terdengar, wanita dengan stelan kemeja dan rok mini berwarna merah mencolok, meletakkan dokumen ke atas meja. Setelah itu, mulai melangkah mendekati sang bos besar.Meski hanya diam bak patung, namun Eric bisa menebak bahwa sekretarisnya itu akan kembali menggodanya menggunakan tubuh modisnya. Seb
Gadis bertubuh kecil kini tidak lagi mengayuh sepedanya, dengan gontai ia mendorong di atas trotoar. Sesekali menghapus keringat di dahi karena sinar matahari siang itu menerpa tubuh mungilnya. Tidak peduli dengan kulitnya yang kini sudah tidak terawat lagi. Jangankan sekedar untuk memikirkan atau merawat kulit, membeli pakaian saja ia musti memikirkan dua kali.Mlathi berhenti sembari menghela nafas berat, sedari tadi ia keluar masuk toko berharap akan ada yang menerimanya untuk bekerja. Namun, nihil, semua jawabannya mengecewakan. Zaman sekarang, sangat langkah sebuah toko atau perusahaan menyediakan lowongan kerja. Apalagi untuk dirinya yang hanya tamatan SMA, semakin sulit untuk mencarinya.Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu kembali berjalan mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia menuju sebuah warung sekedar membeli minuman dan roti untuk menganjal perutnya yang sejak tadi pagi belum makan secuil apapun."
Matahari kembali datang, kembali melakukan tugasnya tanpa merasa lelah. Di sebuah kamar hotel VVIP, seorang wanita dengan senyum yang terus mengembang sembari memorinya terus bermain memikirkan kejadian tadi malam. Tidak disangka, bos dingin dan super cuek itu ternyata begitu gesit dan ganas di atas ranjang. Bahkan untuk seorang wanita yang sudah biasa melakukan hal seperti itu bisa kewalahan dan merasa puas terhadap gerakan-gerakan yang menggairahkan itu.Jemari lentiknya perlahan bermain di wajah putih nan tegas itu yang masih tertidur di sampingnya, dengan tubuh mungil yang kini telah tertutup selimut tebal."Sayang, mulai kini selamanya kau akan menjadi milikku! Kau tidak akan bisa berbuat seenaknya lagi!" gumam Mirsya tersenyum miring sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah kamera tersembunyi.Mirsya terlonjak saat tangan kekar memegang pergelangan tangannya dengan erat, sedikit terasa nyeri hingga terdengar suara ringisan.
Setelah rapi dengan stelan jas biru dongker dengan dasi arsir putih tergantung rapi di bawah kerah kemeja putihnya. Kini, lelaki dengan paras yang memesona melangkah masuk ke sebuah gedung pencakar langit. Di setiap langkah kakinya, semakin membuat lelaki itu berkharisma dan elegan. Semua para pegawai membungkuk hormat ketika lelaki itu melewati mereka."Selamat pagi, Tuan!" sapa Tony yang tidak lain adalah orang terpercaya sekaligus asisten pribadi Eric.Eric hanya menampilkan senyum tipisnya sembari masuk ke dalam lift, diikuti oleh Tony di belakangnya. Setelah masuk, Tony segera menekan tombol 20, tepat dimana ruangan CEO itu berada."Tuan, hari ini. Seorang klien ingin bertemu dengan Anda di lapangan golf," tutur Tony yang hanya dijawab anggukan oleh Eric."Siapkan semua keperluanku." Titah Eric dengan tatapan lurus ke depan tanpa ekspresi."Baik."Di sisi lain, seorang gadis yang kini berstatus sebagai OB s
Eric menghempaskan tubuhnya di atas kursi kekuasaanya sembari mendengus kesal. Tidak disangka hari ini seorang OB bisa membuat moodnya menjadi buruk.'Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?'Kalimat gadis OB itu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah putih glowing itu terlihat memerah. Rahangnya mengeras sembari kedua tangan itu telah terkepal kuat."Berani sekali gadis dekil itu mengataiku seorang office boy!" gumamnya geram dengan gigi yang telah menggelatuk.Ketukan pintu membuat Eric menoleh kemudian berkata datar. "Masuk!"Seorang lelaki berjas dengan ciri khas tahi lalat kecil di samping dagu, membuat lelaki itu sungguh manis. Tony berjalan menghampiri bosnya dengan dokumen di tangannya."Tuan, Anda yakin ingin membatalkan pertemuan ini. Klien kita kali ini bukan klien biasa," tutur Tony mencoba agar Eric kembali berpikir dengan keputusannya yang tiba-tiba berubah
Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai."Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk."
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s