Setelah rapi dengan stelan jas biru dongker dengan dasi arsir putih tergantung rapi di bawah kerah kemeja putihnya. Kini, lelaki dengan paras yang memesona melangkah masuk ke sebuah gedung pencakar langit. Di setiap langkah kakinya, semakin membuat lelaki itu berkharisma dan elegan. Semua para pegawai membungkuk hormat ketika lelaki itu melewati mereka.
"Selamat pagi, Tuan!" sapa Tony yang tidak lain adalah orang terpercaya sekaligus asisten pribadi Eric.
Eric hanya menampilkan senyum tipisnya sembari masuk ke dalam lift, diikuti oleh Tony di belakangnya. Setelah masuk, Tony segera menekan tombol 20, tepat dimana ruangan CEO itu berada.
"Tuan, hari ini. Seorang klien ingin bertemu dengan Anda di lapangan golf," tutur Tony yang hanya dijawab anggukan oleh Eric.
"Siapkan semua keperluanku." Titah Eric dengan tatapan lurus ke depan tanpa ekspresi.
"Baik."
Di sisi lain, seorang gadis yang kini berstatus sebagai OB sedang mengelap kaca di lantai utama. Tidak luput senyuman manis dari bibir tipisnya. Terdengar pelan sebuah alunan nada keluar dari mulutnya, menandakan bahwa ia sedang bahagia.
"Selamat pagi," sapanya pada setiap pegawai yang melewati dirinya.
Semuanya merespon dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang membalas dengan senyuman, dan ada juga yang membalas dengan tatapan tajam dan tatapan menjijikan. Namun, tidak membuat hati gadis bertubuh kecil itu kecewa ataupun patah semangat. Yang penting dirinya telah membagikan kebahagiannya pada orang lain, dan membagi kehangatan.
Tanpa disadari sepasang mata sedang menatap dirinya sembari perlahan mendekati tubuh kurus itu. Kemudian menepuk bahu itu hingga membuat yang empunya terjinjit dan tanpa disengaja menyemprot klin ke wajah berahang tegas itu.
Mlathi menganga ketika menyadari perbuatannya, dan langsung menyembunyikan klin itu di belakang tubuhnya.
"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku," ucap Mlathi bersalah.
Wajah yang telah basah itu memerah, menandakan bahwa ia sangat marah dengan perbuatan tidak sopan itu. "Hey, siapa kau! Berani sekali kau menyemprot wajahku!" teriak Eric berang. Namun tidak membuat Mlathi sedikit pun merasa takut. Bagaimanapun ia tidak sepenuhnya salah, siapa suruh mengagetkan.
"Aku pegawai baru di sini dengan status sebagai OB. Tadi aku sudah minta maaf padamu, lagian siapa suruh untuk mengagetkanku, jadinya kan aku respon," ucap Mlathi terus terang tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Kau menyalahkanku?! Berani sekali kau bersikap lancang padaku, kau tidak tau aku siapa?!" bentak Eric yang semakin dirundung amarah.
Mlathi menatap seluruh penampilan Eric yang kini memakai trening dan juga baju kaos berwarna pink dengan topi berwarna hitam di atas kepala.
"Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?" tanya Mlathi polos yang membuat wajah putih itu semakin merah padam.
"Kau! Berani sekali kau mengataiku seorang office boy! Kau cari masalah, yah?!" teriak Eric sembari menyodorkan jari telunjuk tepat di depan wajah Mlathi.
"Bukankah penampilanmu begitu mirip dengan offi-"
"Diam! Gadis bodoh! Hari ini kau membuat moodku buruk, lihat saja apa yang bisa kulakukan di dalam mood buruk ini!" Eric langsung memotong gumaman itu yang masih terdengar di telinganya. Membuat Mlathi terdiam tanpa bersuara.
"Tuan, semua berkasnya sudah saya siapkan." Suara Tony membuat pertengkaran itu berhenti.
Mlathi menoleh ke arah pria yang menggunakan stelan jas hitam dengan rambut hitam tersisir rapi ke samping, menatap kagum ke arahnya karena pria itu terlihat begitu berkharisma dan elegan. Dengan mata berbinar tanpa sedikit pun berkedip. Pria muda itu lebih pantas menjadi bos di perusahaan terbesar ini.
"Kita harus segera pergi, para klien sudah menunggu Anda di lapangan golf untuk membicarakan tentang kerja sama sekaligus ingin berkenalan dengan CEO pemilik perusahaan terbesar di negara ini." Penuturan dari Tony berhasil membuat kedua mata Mlathi membulat.
"CEO, kau ...?"Mlathi menatap lelaki yang baru saja dirundung amarah oleh perbuatannya. Sepertinya kali ini, ia kembali melakukan kesalahan. Mlathi mengigit bibir bawahnya takut sembari menunduk.
Tony menoleh ke arah Mlathi. "Oh yah, bukankah kau OB baru?! Kenalkan dia adalah pemilik perusahaan Gold Grub, jadi bersikap hormatlah padanya."
Eric menatap tajam ke arah Mlathi dengan mengulas senyum miring. "Jangan pernah berani membangunkan singa yang lagi tidur, jika tidak nyawa taruhannya."
Kalimat itu nyaris membuat keberanian di dalam diri Mlathi ciut. Beberapa kali ia mengutuki mulutnya yang tidak bisa di jaga, bahkan dirinya telah berani mengatai seorang CEO adalah office boy. Bagaimana ini? Apakah ia harus dipecat di hari pertama ia bekerja?
"Tony, suruh OB baru ini ke ruanganku. Aku ingin memberitahunya bagaimana bersikap sopan terhadap atasan." Eric menatap tajam ke arah gadis yang kini terus menunduk. Tidak disangka, keberanian beberapa menit lalu hilang begitu saja saat tau siapa dirinya.
"Duh, habislah aku," gumam Mlathi setelah dua orang pria itu pergi meninggalkannya.
***Eric menghempaskan tubuhnya di atas kursi kekuasaanya sembari mendengus kesal. Tidak disangka hari ini seorang OB bisa membuat moodnya menjadi buruk.'Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?'Kalimat gadis OB itu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah putih glowing itu terlihat memerah. Rahangnya mengeras sembari kedua tangan itu telah terkepal kuat."Berani sekali gadis dekil itu mengataiku seorang office boy!" gumamnya geram dengan gigi yang telah menggelatuk.Ketukan pintu membuat Eric menoleh kemudian berkata datar. "Masuk!"Seorang lelaki berjas dengan ciri khas tahi lalat kecil di samping dagu, membuat lelaki itu sungguh manis. Tony berjalan menghampiri bosnya dengan dokumen di tangannya."Tuan, Anda yakin ingin membatalkan pertemuan ini. Klien kita kali ini bukan klien biasa," tutur Tony mencoba agar Eric kembali berpikir dengan keputusannya yang tiba-tiba berubah
Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai."Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk."
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Setelah beberapa jam Eric bermain dengan tubuh Mlathi, setelah merasa puas dan lelah. Eric dengan santainya melemparkan tubuhnya ke samping wanita yang terus terisak sembari menahan rasa sakit.Kini kedua mata Mlathi bengkak dan merah karena terus menangis tanpa henti. Dengan tubuh yang sangat lemah, ia berusaha menggapai selimut tebal di ujung kakinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya yang kini tanpa sehelai benangpun. Wanita itu memiringkan tubuhnya dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya dengan paksa.Tidak tahu lagi sudah ke berapa kali ia menetes air bening itu, hingga kini kedua matanya terasa sakit bahkan untuk memejamkannya saja. Mlathi terus terisak dengan perasaan yang hancur, entah nasib apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Jika kedua orang tuanya tahu mengenai kejadian ini, maka hanya kutukan dan caci maki yang akan ia dapatkan dari mereka. Sungguh begitu miris takdir yang diberikan Tuhan padanya.Setelah beberapa menit mena
"Baiklah, jika tidak ada lagi pendapat. Rapat pagi ini kita tutup sampai di sini. Saya akan memberikan keputusan di pertemuan minggu depan!" Suara berat nan tegas itu langsung membuat semua orang yang ada di ruangan itu segera membereskan semua berkas dan menunduk hormat ketika bos besar mereka melangkah pergi yang kemudian disusul oleh asistennya."Woahh, tampan sekali! Mata tajamnya itu benar-benar membuat semua hati para wanita klepek-klepek!" seru seorang karyawan wanita sembari menatap punggung Eric dengan binar kekaguman."Kau benar, bahkan aku hampir tidak fokus saat menatap langsung wajahnya itu, hatiku terus berdetak dengan cepat. Andai dia milikku," sahut wanita lain di sebelahnya dengan helaan kasar."Mustahil! Lelaki berhati dingin seperti bos besar itu sangat sulit disentuh. Bahkan sekretarisnya yang memiliki lekuk tubuh aduhai saja tidak bisa mengalihkan tatapan datar si bos. Aku penasaran, wanita beruntung mana yang akan berhasil me
"Lalu, kemana dia?"Eric menautkan jemarinya di depan dada, tatapannya datar lurus ke depan. Berpikir apa sebenarnya yang diinginkan wanita OB itu."Apa perlu mencari informasi lengkap tentang wanita itu?" tanya Tony ketika melihat bosnya tampak berpikir. Eric menggeleng."Pergilah! Aku akan memanggilmu lagi jika aku membutuhkanmu!" ucap Eric yang lansung membuat Tony membungkuk kemudian pergi meninggalkan ruangan.Ketika pintu telah tertutup kembali, Eric kembali berusaha mengingat alasan apa yang membuat wanita itu tidak datang bekerja hari ini. Entah kenapa ia merasa ketidak hadiran wanita itu berhubungan dengannya.Tiba-tiba saja kedua maniknya menangkap gelang perak yang tergeletak di bawah meja. Karena penasaran, Eric langsung meraih gelang itu untuk melihatnya lebih jelas."Rasanya tidak asing," gumam Eric sembari berpikir.Pikirannya menelaah saat wanita OB itu memasuki ruangannya, saat itu
Seorang lelaki tampan berjalan dengan jijik melewati gang yang sempit, sesuai alamat yang di dapat oleh asistennya itu. Eric terpaksa turun dari mobilnya karena mobil tidak bisa masuk ke dalam. Dengan menghela napas berat dan kemudian menutupi hidungnya karena saat ia mulai memasuki gang itu, bau busuk mulai menyerbu indra penciumannya."Oh, Tuhan! Bagaimana bisa wanita itu bertahan hidup di tempat seperti ini," gerutunya saat Eric telah melewati gang sempit itu dan kini di depannya terdapat rumah kecil yang bercat putih kekuningan itu.Eric mengambil napas sebanyak-banyaknya karena tadi terus menahannya. "Kau tunggulah di sini, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkanmu!" perintah Eric yang langsung di anggukkan oleh Tony.Eric melangkah lebar ke arah rumah bercat putih itu, sedikit berjalan hati-hati takut mengotori sepatu fantolennya. Setelah tepat di depan pintu berwarna kecoklatan dan tampak rapuh itu. Eric langsung mengetuknya dengan kedua jarinya. Menget