Sejak kepergian Eric ke kantor, Mlathi terus-terusan senyam-senyum sendiri sembari memegangi pipinya yang masih terasa panas. Kalimat Eric masih sangat jelas terngiang di telinganya. Sungguh, tadi ia tidak salah mendengar. Eric benar-benar sedang memujinya.
Oh Tuhan, keberuntungan apa ini?
Mlathi seketika berputar tidak karuan seperti orang yang sedang mendapatkan bonus gaji dua kali lipat.
"Nyonya hati-hati. Anda bisa membahayakan diri sendiri," tegur Grace ketika melihat Mlathi terus menerus berputar tanpa henti.
Mlathi tersadar dan seketika menghentikan tindakannya barusan sembari mengelus perut buncitnya. "Sayang, maafin Ibu yah."
Grace menuntun Mlathi duduk di sofa ruang tamu dengan hati-hati, bagaimanapun dengan kondisi Mlathi yang hamil empat bulan harus dijaga dengan baik dan itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
"Ny
Eric menjitak kepala Mlathi sedikit keras membuat yang empunya mengeringis sembari mengerucut. Lalu memasukkan ponsel butut Mlathi ke sakunya."Tidak ada penolakan, kau hanya bisa memakai yang ini. Mengerti.""Tapi, aku tidak bisa menggunakannya. Ponsel ini jauh berbeda dari yang lama. Aku tidak mengerti," protes Mlathi lagi sembari membolak balikkan benda pipih itu."Tenang saja selagi kau bersamaku, semua masalahmu akan terselesaikan. Akan aku ajarkan sampai kau bisa."Mlathi hanya bisa menghela napas pasrah, ia tidak bisa lagi memberi alasan untuk menolak. Lagi pula ponsel lamanya telah berada di genggaman Eric, mana bisa merebutnya kembali."Baiklah."Eric tersenyum kemudian mengacak rambut Mlathi dengan gemes. "Pintar, patuh yah."***Malam hari, Mlathi duduk di sof
Malam hari, bintang begitu cantik bersinar di atas sana. Menghiasi langit hitam hingga tampak tidak menyeramkan. Kedua mata wanita sedari tadi hanya terus tertuju pada langit, menghembus napas berkali-kali. Otaknya terus berputar sebuah kaset kenangan saat ia remaja dulu. Saat-saat ia bersama keluarganya. Ayah, Ibu. Semuanya serasa begitu hangat. Senyuman mereka masih sangat jelas terlintas. Mlathi menghela napas panjang sembari memindai tatapannya menembus cakrawala di depannya, angin malam yang menerpa tubuhnya tidak lagi ia rasakan, bahkan itu terasa lebih nikmat dari pada berada di dalam. Tiba-tiba sebuah jaket tebal terbalut di kedua pundaknya membuat ia menoleh dan melihat senyum tegas dari bibir seorang lelaki. Ia membalas senyum itu dengan kecut. Eric berjalan ke samping Mlathi sembari mengantongkan kedua tangannya di saku celana. "Kenapa berdiri di sini? Angin malam t
Eric mengeram marah, ia langsung menoleh ke arah wanita paruh baya itu yang bahkan tidak merasa bersalah sama sekali. Ia tetap duduk tenang tanpa merasa khawatir terhadap anaknya. Apakah ia patut disebut ibu? "Hey, kau masih berani duduk di sini dengan tenang setelah apa yang kau lakukan! Cepat pergi dan jangan pernah lagi menampakkan wajah licikmu itu di kehidupan Mlathi!" teriak Mlathi dengan wajah yang merah padam, seperti kepiting yang baru saja direbus. Konah tidak bergeming atau sedikit pun merasa takut. "Salah sendiri, coba tadi kau langsung berikan saja uang itu padaku. Ini semua pasti tidak akan terjadi." Emosi Eric semakin menaik, ia sudah tidak memiliki kesabaran lagi terhadap wanita itu. Tidak peduli ia siapa, sekarang ia akan menunjukkan kepada wanita tua itu siapa dirinya. "Tony, cepat panggil semua bodyguardku ke sini!" Satu perintah tegas itu, dalam lima menit semua pria berjas hitam berbondong-bondong masuk
Eric menyelimuti Mlathi setelah memberikannya makan dan obat penenang dengan efek tidur. Kini, wanita itu telah tertidur pulas dengan tenang. Wajah yang sempat menyirat kemarahan dan kebencian, kini terlihat kembali polos.Eric duduk di sampingnya dengan terus menggenggam tangan wanita itu. Bayangan Mlathi yang hampir jatuh dari gedung itu membuat Eric meringis beberapa kali, jika saja ia tidak menarik tubuh Mlathi dengan cepat. Mungkin sekarang ....Eric mendesis, berusaha menghempaskan jauh-jauh akan bayangan itu. Cukup dengan melihat Mlathi baik-baik saja sudah lebih melegakan perasaannya. Ia bangkit dan mencium pelipis Mlathi agak lama, ia bersyukur karena wanita itu kembali kepadanya dalam keadaan tanpa luka."Tidurlah, hari ini kau begitu lelah. Maaf karena telah membuatmu terus menangis," lirih Eric sembari mengusap punggung tangan Mlathi lembut. Matanya menatap satu ke arah wajah itu.
"Kau tidak pergi kerja?" tanya Mlathi ketika melihat Eric tidak memakai seragam kantornya malah memakai baju kasual. Eric berbalik, senyum tersungging langsung tertangkap oleh netra hitam Mlathi. Tampak sedikit berbinar katika melihat Eric tampak lebih tampan dan keren dari biasanya. Rambut yang biasa tersisir rapi ke kanan, kini dibiarkan tergurai hingga menutupi dahi. Baju kaos putih polos dengan luaran jaket berwarna kuning, dan jeans putih lengkap dengan sepatu senada. Ia terlihat tampak seperti anak remaja atau seorang mahasiswa yang baru masuk. Mlathi tidak berkedip melihat pemandangan di depannya itu. "Ada apa? Apa aku begitu tampan hingga kau tidak bisa berkedip?" Suara bass yang menggema membuat Mlathi langsung berkedip-kedip dan mengalihkan tatapannya. "Eum, tidak. Hanya saja ... kau tampak tidak biasa," ucap Mlathi sembari menyembunyikan wajah merahnya. Eric menarik sudut bibirnya dan melangkah maju mendekati Mlathi dengan s
Eric berdiri di balkon kamar ditemani dengan kopi kesukaannya. Saat menyeruputnya, Eric mengamati cangkir yang berisi kopi kecoklatan itu dengan lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menyunggingkan sebuah senyuman. Bukan karena bentuk ataupun warnanya, namun kopi itu mengingatkannya saat pertama kali ia bertemu dengan Mlathi.Bagaimana emosi dan jengkelnya ia saat pertama kali melihat wanita itu. Wanita dekil dan kurus, tetapi tak disangka wanita itulah malah membuatnya menjadi seseorang yang berbeda. Ia terkekeh saat ingatannya tepat pada wajah Mlathi yang merengut kesal. Sungguh, pertemuan yang dulu ia sesalkan kini menjadi kenangan yang indah untuk dikenang.Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, namun Eric enggan berbalik, ia lebih memilih menikmati angin malam dan kopinya termasuk kenangan itu.Tiba-tiba tidak lama setelah itu, terdengar ringisan yang menusuk tajam ke indra pendengaranny
"Ke mana kau membawa istriku, hah? Katakan!" berang Eric yang langsung menyerbu wajah Alian dengan tinjuannya. Tanpa tahu apapun dan bahkan Alian begitu terkejut ketika mendapatkan serangan yang tiba-tiba. Ia bahkan belum siap hingga tidak bisa membalas pukulan. Alian hanya bisa menghindar dari setiap pukulan yang terkadang berhasil mengenai rahangnya. "Cepat katakan di mana istriku!" Eric terus memukul tanpa peduli dengan jeritan para pengunjung yang mulai ketakutan. Setelah ia menemukan gelang bermanik tengkorak tadi di taman, ia langsung mencari Alian, tidak peduli ia sedang bekerja atau tidak. Emosinya sudah sampai begitu puncak, persetan dengan keributan yang kini dibuatnya. Manager restoran bahkan tidak berani ikut campur atau sekedar memanggil kepala keamanan untuk memisahkan keduanya saat ia tahu bahwa itu adalah Eric, sang pemilik Diamond Group. Alasan utamanya ialah karena restoran itu sebagian sahamnya adalah milik Eric.
Seringaian licik terbit di bibir merahnya setelah menutup telpon, ia sangat puas dengan apa yang ia lakukan hari ini. Ia menoleh, melihat seorang wanita yang pingsan dalam keadaan diikat. Kondisinya begitu miris, memang itu yang diinginkannya.Tidak lama setelah itu, kepala yang terkulai menunduk itu perlahan bergerak seiring dengan suara ringisan yang mulai terdengar. Kelopaknya mulai membuka, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang langsung menyerbu netranya. Saat ia merasa ada yang janggal pada tubuhnya yang tidak bisa bergerak. Ia mulai menjelajahi seluruh tubuhnya yang terlilit oleh tali. Sorot terkejut langsung mengukir di wajah wanita itu."Sudah bangun? Bagaimana apa tidurmu nyenyak?" Suara berat yang menyapu gendang telinganya membuat ia sontak mengangkat kepala.Kedua matanya membulat penuh ketika melihat siapa pemilik dari suara itu."Ibu?" ucapnya dengan nada bingu