Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan.
Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan."
Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik.
"Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh.
Saira menatapnya tajam. "Naira, ini bukan sesuatu yang bisa dibuat bercanda."
"Buat aku sih tetap lucu. Kakak yang selalu sok bertanggung jawab akhirnya kena batunya sendiri." Naira tersenyum sinis. "Aku nggak perlu dijual, dan aku tetap bisa hidup bebas. Kakak aja yang terlalu baik hati."
Saira menghela napas panjang. Tak ada gunanya mendebat adiknya saat ini. Pikirannya sudah cukup kacau tanpa harus berhadapan dengan sindiran Naira.
Ayah mereka muncul dari kamar dengan wajah lelah. "Saira, kamu yakin mau melakukan ini?"
Saira terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Iya, Yah."
Ayahnya menatapnya penuh rasa bersalah. "Maafkan Ayah, Nak. Seharusnya ini bukan tanggung jawabmu."
Saira tersenyum getir. "Nggak apa-apa, Yah. Semua sudah terjadi."
Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar dari luar. Saira menelan ludah. Itu pasti orang suruhan Dava yang menjemputnya dan keluarganya.
"Cepat siap-siap," kata ibunya. "Jangan buat mereka menunggu."
Dengan langkah berat, Saira masuk ke kamar dan menatap gaun sederhana yang tergantung di depan lemari. Ini bukan pernikahan impiannya. Tak ada cinta, tak ada kebahagiaan. Hanya sebuah perjanjian.
Dia mengambil napas panjang sebelum mulai bersiap. Dalam beberapa jam ke depan, hidupnya akan berubah selamanya.
Mobil yang menjemput Saira dan keluarganya melaju dengan tenang di jalanan kota. Sopir yang dikirim oleh keluarga Dava tidak banyak bicara, hanya fokus pada jalan di depan. Saira duduk diam, menatap ke luar jendela dengan perasaan hampa.
Ketika mobil berhenti di depan rumah besar keluarga Pratama, Saira tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Bangunan mewah dengan taman luas dan arsitektur elegan itu tampak seperti istana. Saira menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar.
Begitu dia dan keluarganya masuk, mereka langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. "Saira, ya? Selamat datang. Saya Ibu Dava, panggil saja Tante Rina."
Berbeda dari Dava yang dingin dan sulit didekati, ibunya justru terlihat hangat dan penuh kasih. Wanita itu menggenggam tangannya erat, seolah menyambut seorang putri.
"Terima kasih sudah datang, Nak. Kami sangat senang Dava akhirnya menikah," lanjutnya dengan mata berbinar.
Saira hanya bisa tersenyum tipis, tak tahu harus berkata apa. Ini bukan pernikahan yang sesungguhnya, tapi keluarga Dava terlihat benar-benar bahagia dengan pernikahan ini.
“Tante, ini kedua orang tua Saira dan adikku, Naira.” Kata Saira memperkenalkan keluarganya.
Tante Rina kemudian menyapa keluarga Saira sama hangatnya. Ayah dan Ibu Saira menampakkan senyum termanis mereka. Sedangkan Naira, ia terlihat ogah-ogahan berada di tempat itu.
Tak lama, seorang pria setengah baya datang menghampiri mereka. "Jadi ini calon menantu kita? Wah, akhirnya! Saya Papa Dava, senang bertemu denganmu, Saira."
Ayah Dava pun tak kalah hangatnya. Saira sedikit bingung. Mereka ini benar-benar menyambutnya dengan tulus, atau hanya karena mereka ingin Dava segera menikah?
Dari sudut ruangan, Dava berdiri dengan ekspresi datar seperti biasa. Matanya menatap Saira sekilas sebelum mengalihkan pandangannya. Tak ada antusiasme di wajahnya, seolah semua ini hanya formalitas belaka.
"Mama sudah bicara dengan Saira?" tanya Dava pada ibunya.
"Tentu saja. Dia manis sekali, ya? Kamu beruntung mendapat istri sebaik ini, Nak."
Dava hanya mendengus pelan, lalu menatap Saira. "Kita harus bicara sebentar. Ikut aku."
Saira menelan ludah dan mengikuti Dava ke sebuah ruangan terpisah. Begitu pintu tertutup, pria itu menatapnya tajam. "Dengar, aku nggak tahu apa yang mereka harapkan dari pernikahan ini, tapi aku nggak mau pura-pura jadi suami manis yang penuh kasih sayang. Kamu ngerti?"
Saira mengangguk pelan. "Aku nggak mengharapkan apa pun, Dava. Ini cuma kontrak. Aku tahu batasanku."
Dava memperhatikan ekspresi Saira sebelum akhirnya menghela napas. "Bagus. Kita jalani ini tanpa drama. Aku nggak mau ribet."
Saira ingin tertawa. Seolah dia yang membuat hidupnya jadi rumit. Tapi dia memilih diam. Ini baru awal, dan dia harus bersiap untuk lebih banyak hal tak terduga. Dalam beberapa jam ke depan, mereka akan menjadi pasangan suami istri. Setidaknya di mata dunia.
Saira masih menatap gaun yang ia kenakan melalui pantulan cermin di depannya dengan perasaan campur aduk. Gaun itu indah, sederhana tetapi elegan. Tetapi bukan itu yang dia pedulikan. Gaun itu bukan miliknya, bukan pilihannya, dan pernikahan ini bukan sesuatu yang pernah dia bayangkan.
Dia meremas tangannya sendiri. Waktu berjalan semakin cepat. Tak lama lagi, dia harus berdiri di depan banyak orang, menerima pria yang bahkan nyaris tak dia kenal sebagai suaminya. Napasnya terasa berat.
Pintu ruangannya diketuk. “Saira, sudah siap?” suara ibunya terdengar dari luar.
“Sebentar lagi, Bu,” jawabnya lemah.
Dia memaksakan diri untuk berdiri dan kembali menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita asing menatap balik padanya. Wajahnya pucat, ekspresinya kosong. Ini bukan dia. Ini bukan dirinya yang seharusnya bahagia di hari pernikahan.
Ketika dia keluar dari ruangan, ibunya tersenyum, meski ada kesedihan di matanya.
“Kamu cantik sekali, Nak.”
Saira hanya mengangguk. Dia tak merasa cantik. Dia merasa seperti boneka yang dipaksa tersenyum di atas panggung.
***
Acara pernikahan berlangsung di kediaman keluarga Pratama. Sebuah acara yang sederhana namun tetap mewah. Beberapa kerabat dekat hadir dan semua orang tampak bahagia. Kecuali Saira.
Dava, seperti biasa, tampak dingin dan tidak tertarik. Dia mengenakan jas hitam yang sempurna, tapi ekspresinya tetap datar. Seolah ini hanya urusan bisnis.
Saat akad berlangsung, Saira hampir tidak mendengar apa pun. Kata-kata penghulu terasa seperti gumaman jauh. Semua terasa tidak nyata sampai akhirnya suara Dava terdengar tegas.
“Saya terima nikahnya...”
Jantung Saira mencelos. Selesai sudah. Sekarang dia resmi menjadi pria yang bahkan tidak menginginkannya. Ibunya menepuk tangannya lembut. “Nak, ini sudah takdir. Jalani dengan baik, ya?”
Saira menelan ludah dan mengangguk. Takdir? Atau paksaan?
Ketika semua tamu memberi sselamat, Saira masih merasa asing dengan semuanya. Keluarga Dava tampak senang, bahkan Tante Rina menitikkan air mata haru.
“Akhirnya Dava menikah!” ucapnya sambil memeluk Saira.
Saira tersenyum kecil, meskipun hatinya kosong. Dava tetap berdiri di sampingnya dengan wajah tanpa ekspresi, bahkan tak berusaha menunjukkan sedikit saja kebahagiaan.
Setelah acara selesai, tinggallah Saira, Papa dan Mama Dava, serta Dava. Sedangkan kedua orang tua dan adiknya sudah pulang bersama para tamu undangan, meninggalkannya di tengah orang-orang asing. Saira bingung. Dia bahkan tidak bisa membayangkan masa depan bersama pria dingin itu. Tetapi setidaknya keluarga Pratama menyambut baik kehadirannya, hal itulah satu-satunya bunga dalam pernikahan kontrak ini.
Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya
Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be
Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo
Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu
Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan
Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t