Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah.
“Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan ponselnya, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa. “Rumahnya jauh?” tanya Saira akhirnya, mencoba mengusir keheningan. Dava tetap menatap layar ponselnya. “Nggak.” Saira menghela napas. Percakapan dengan pria ini memang seperti berbicara dengan tembok. *** Ketika mereka sampai di rumah, Saira tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Bangunan minimalis modern dengan halaman kecil yang rapi. Tidak sebesar rumah keluarga Pratama, tetapi terasa mewah. Dava turun lebih dulu tanpa menunggu Saira. Pria itu membuka pintu rumah dan berjalan masuk, meninggalkan Saira yang masih berdiri di depan pintu. “Masuk atau tidur di luar?” suara Dava terdengar dingin. Saira bergegas masuk, menutup pintu di belakangnya. Rumah itu tampak luas dan elegan, dengan perabotan yang tersusun rapi. Tapi tidak ada kesan ‘rumah’ di dalamnya. Terlalu bersih, terlalu kaku. “Kamar kamu di sebelah kiri. Aku di kanan,” ucap Dava tanpa menoleh. Saira mengernyit. “Tunggu, kita tidur di kamar terpisah?” Dava menatapnya dengan tatapan seolah dia baru saja bertanya sesuatu yang bodoh. “Menurutmu?” Saira mengangguk pelan. Tentu saja. Pernikahan ini hanya kontrak. Tidak ada yang namanya berbagi kamar atau berbagi kehidupan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Saira membawa kopernya masuk ke kamarnya sendiri. Dia menutup pintu dan menghela napas panjang. Baru satu hari menikah, tetapi dia sudah merasa lelah. Di dalam kamarnya, Saira duduk di tepi tempat tidur, menatap koper yang belum dia buka. Ini bukan rumahnya, bukan kehidupannya, dan bukan pilihan yang ia buat sendiri. Pikirannya melayang pada keluarganya. Apa mereka lega sekarang? Apa mereka puas karena dia berhasil ‘menyelematkan’ mereka? Atau mereka bahkan tidak peduli bagaimana perasaannya? Tanpa sadar, air mata menggenang di sudut matanya. Dia buru-buru menghapusnya. Tidak ada gunanya menangis. Dia harus bertahan. Saira mencoba membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Dia berjalan ke lemari dan melihat beberapa pakaian sudah tertata di dalamnya. Pati bukan Dava yang menyiapkan ini. Mungkin asistennya. Semua terlalu rapi, terlalu profesional. Matanya tertuju pada meja kecil di sudut kamar. Ada sebuah amplop di atasnya. Perlahan dia membuka dan membaca isinya. Aturan: Jangan menganggu kecuali ada hal penting. Jangan mengharapkan perhatian dariku. Jangan membawa orang luar ke rumah ini. Jalani peran kita di publik, tapi jangan berlebihan. Tanda tangan di bawahnya jelas milik Dava. Saira mendengus pelan. “Sombong sekali.” *** Malam terasa panjang. Saira menoba tidur, tetapi suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dia melirik jam di meja. Hampir tengah malam. Apa Dava masih terjaga? Dengan hati-hati, Saira membuka pintu dna mengintip ke luar. Dava duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya dari lampu meja. Dia memegang gelas berisi sesuatu yang tampak seperti alkohol, menatap kosong ke depan. Untuk pertama kalinya , Saira melihat Dava tidak dalam mode ‘CEO dingin’. Pria itu tampak lelah. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik ekspresi datarnya. Saira ingin bertanya, tapi ia ragu. Mereka bukan pasangan sungguhan. Dia tidak berhak mencampuri urusan Dava. Dia berbalik, berniat kembali ke kamar, tetapi suara Dava menghentikannya. “Kamu mau apa?” Saira berbalik pelan. Dava menatapnya, ekspresinya sulit tebak. “Ehm... aku cuma mau ambil air,” bohongnya. Dava tidak berkata apa-apa lagi, hanya kembali menatap kosong ke depan. Saira cepat-cepat mengambil air dari dapur dan kembali ke kamarnya. Tapi kali ini pikirannya penuh dengan tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu? *** Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal. Rumah itu terasa sepi. Tidak ada suara dari kamar Dava. Apakah pria itu masih tidur? Dia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan. Bukan karena dia ingin menyenangkan Dva, tetapi lebih untuk dirinya sendiri. Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Saat dia menggoreng telur, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Dava muncul, mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing atas terbuka. Rambutnya sedikit berantakan dan wajahnya tampak sedikit lelah. “Kamu bangun pagi?” tanya Saira sambil tetap fokus pada masakannya. Dava tidak menanggapi. Dia hanya berjalna ke mesin kopi dan membuat secangkir espresso. Setelah beberapa saat hening, dia akhirnya berkata, “Kamu nggak perlu melakukan ini.” Saira meliriknya sekila. “Melakukan apa?” “Bersikap seperti istri sungguhan.” Saira tertawa kecil. “Santai saja, aku cuma masak buat diriku snediri. Kalau kamu lapar, silakan ambil.” Dava menatapnya sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah.” Dia mengambil piring dan duduk di meja makan. Saira mengangkat alis, sedikit terkejut karena Dava benar-benar mengambil makanan yang dia buat. Mereka makan dalam diam. Tidak ada percakapan, tapi setidaknya suasananya tidak seburuk yang Saira bayangkan. Saat mereka hampir selesai, ponsel Dava berdering. Dia melihat sekilas layar dan mendesah sebelum mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar. Saira tidak ingin menguping, tapi sulit mengabaikan percakapan di ruangan yang sepi. “Aku sudah menikah, Ma. Nggak perlu atur-atur hidupku lagi.” Saira terdiam. Itu pasti ibunya. Setelah beberap detik, Dava menutup telepon dan menatap kosong ke depan. “Orang tuamu peduli sama kamu,” kata Saira pelan. Dava tertawa sinis. “Mereka cuma ingin aku menikah. Sekarang sudah terjadi, jadi mereka puas.” Saira ingin berkata sesuatu, tapi dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan pria yang tidak percaya pada kasih sayang keluarganya sendiri. Dalam hati, dia bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu Dava sampai di jadi seperti ini? Dava meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. Ekspresi dinginnya sedikit mengendur, seolah percakapan tadi menyedot habis energi dalam dirinya. Saira memperhatikan perubahan ekspresi itu, tapi memilih untuk tidak berkomentar. Jika Dava ingin berbicara, dia akan berbicara. Jika tidak, memaksanya hanya akan jadi bumerang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Dava bangkit dari kursinya, mengambil jasnya yang tergantung di sandaran kursi, lalu berjalan menuju pintu. “Aku berangkat,” katanya singkat. Saira mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan.” Dava menoleh sekilas, tampak terkejut dengan ucapan Saira. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung keluar rumah. Saira menghela napas panjang. Pagi yang canggung, tapi entah kenapa terasa sedikit lebih baik daripada yang dia bayangkan selama ini.Setelah Dava pergi, Saira mulai menjelajahi rumah. Sejak tadi malam, dia belum benar-benar memperhatikan setiap sudutnya. Rumah ini memang elegan dan mewah, tapi dingin dan sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa sesorang benar-benar tinggal di sini sebelumnya. Bahkan di ruang tamu, tak ada satu pun foto keluarga atau dekorasi yang menunjukkan kepribadian pemiliknya.
Saira melangkah ke dapur, membuka lemari penyimpanan. Semuanya tersusun rapi, tapi tidak banyak bahan makanan. Sepertinya Dava tidak peduli soal memasak atau bahkan makan di rumah.
“Kalau begini terus, aku harus belanja sendiri,” gumamnya.
Dia mengambil ponselnya, mencari supermarket terdekat. Toh, daripada hanya diam di rumah dan merasa asing di tempat ini, lebih baik dia melakukan sesuatu yang berguna.
***
Saira berjalan melewati lorong rak-rak di supermarket, memilih beberapa bahan makanan yang sekiranya akan berguna untuk beberapa hari ke depan. Ini pertama kalinya sejak menikah dia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, tanpa terikat kontrak atau aturan Dava.
Saat dia hendak membayar di kasir, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk.
“Kamu yang sekarang jadi istri Dava?”
Alis Saira bertaut. Siapa ini?
Sebelum dia sempat membalas, pesan lain masuk lagi.
“Kamu pikir bisa menggantikan dia? Jangan terlalu percaya diri.”
Saira menelan ludah. Ada sensasi dingin yang menjalar di punggungnya. Dia tidak tahu siapa pengirim pesan itu, tapi satu hal yang jelas: sesorang tidak senang dengan keberadaannya di sisi Dava. Dia menggenggam erat ponselnya, lalu buru-buru menyelesaikan pembayaran dan keluar dari supermarket. Langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang mengikutinya dari belakang.
Saat dia sampai di rumah, tangannya masih gemetar. Saira mencoba mengabaikan pesan tadi, tapi kata-kat itu terus berputar di kepalanya.
Kamu pikir bisa menggantikan dia?
Siapa ‘dia’ yang dimaksud? Mantan Dava? Tunangannya yang batal menikah? Atau seseorang yang lebih dari itu? Saira memejamkan mata. Ini baru awal pernikahan mereka, dan sepertinya, masalah sudah mulai berdatangan.
Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya
Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be
Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo
Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu
Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan
Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t