Saira menatap kertas perjanjian itu dengan perasaan campur aduk. Matanya membaca ulang isi dokumen yang ada di tangannya, berharap ada kesalahan ketik atau semacamnya.
Kontrak Pernikahan
Judul yang tertulis di atas kertas tersebut.
"Tandatangani. Sekarang." Suara dingin itu terdengar di depannya. Saira mengangkat wajah, dan langsung bertemu dengan tatapan tajam Dava Arya Pratama. Pria itu duduk dengan santai di sofa mewahnya, memakai jas hitam yang terlihat mahal sekali. Sialnya, dia ganteng. Parah! Tapi sayang, sifatnya lebih dingin dari es batu di kutub.
"Kenapa harus saya?" tanya Saira, suaranya bergetar. Dia nggak pernah membayangkan akan menikah, apalagi dengan cara seperti ini. "Kenapa saya yang harus menikah kontrak sama kamu?"
Dava menghela napas seolah lelah berurusan dengannya. "Keluargamu punya utang miliaran. Aku bisa melunasinya. Sebagai gantinya, kamu menikah denganku selama satu tahun. Setelah itu, kita cerai, dan kamu bisa hidup bebas. Simple."
Simple? Kepala lo simple!
Saira menggigit bibirnya, mencoba berpikir jernih. Keluarganya memang sedang dalam masalah besar. Ayah jatuh sakit, bisnis keluarga bangkrut, dan rentenir sudah mulai datang ke rumah. Awalnya, mereka ingin menikahkankan Naira, tapi gadis itu menolak mentah-mentah. Dan karena Saira anak pertama, dialah yang akhirnya harus mengorbankan diri.
Dia menatap pria di depannya. Tatapan matanya tajam, nyaris seperti serigala yang siap menerkam. Menikah dengan pria seperti ini? Dia nggak yakin bisa bertahan.
"Kalau saya nggak mau?" tanyanya ragu.
Dava tersenyum miring. "Kalau kamu nolak, siap-siap aja lihat keluargamu kehilangan segalanya."
Jantung Saira mencelos. Dia menggenggam erat tangannya sendiri. Pilihan apa yang dia punya? Nggak ada. Sama sekali nggak ada. Dengan tangan gemetar, dia mengambil pulpen, lalu menandatangani kontrak itu.
Dava menyeringai puas. "Selamat, sekarang kamu resmi jadi istriku.
Saira menghela napas panjang setelah menandatangani kontrak itu. Kertas di tangannya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Dalam hitungan detik, kehidupannya berubah drastis.
"Bagus," Dava bangkit dari sofa dan mengambil kontrak itu dari meja. "Mulai sekarang, kamu harus ikuti semua aturan yang sudah tertulis di kontrak. Jangan macam-macam."
Saira menahan napas, berusaha tetap tenang. "Aturan?"
"Ya," jawab Dava datar. "Jangan harap kita bakal jadi pasangan mesra. Aku nggak butuh istri, aku butuh seseorang yang bisa menutupi kebohongan ini di depan keluargaku. Di luar rumah, kita suami istri. Di dalam rumah, anggap aku nggak ada. Jangan ganggu aku, dan aku nggak akan ganggu kamu."
Saira menatap pria itu dengan ekspresi tercengang. "Kamu benar-benar nggak percaya cinta, ya?"
Dava hanya terkekeh dingin. "Cinta itu omong kosong. Jangan buang waktumu berharap lebih."
Saira mengepalkan tangannya di bawah meja. Rasanya dia ingin membantah, tapi buat apa? Dia hanya seorang wanita yang terjebak dalam permainan ini. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah bertahan.
"Baiklah," jawabnya lirih. "Aku nggak akan mengganggumu."
Dava berdiri dari sofanya, mengambil kontrak yang baru saja ditandatangani, lalu menatap Saira sekilas. "Mulai sekarang, jalani peranmu dengan baik. Jangan sampai aku menyesal membuat kesepakatan ini."
Saira menelan ludah. Pria itu tidak menunggunya bicara. Dengan langkah tegap, Dava berjalan menuju pintu, membuka knopnya, lalu keluar ruangan tanpa menoleh lagi. Saat suara pintu tertutup, Saira membiarkan tubuhnya jatuh ke sofa. Tangannya masih terasa gemetar, jantungnya berdetak tak karuan.
Dia akan menikah.Tidak secara normal, tidak dengan cinta, tapi dengan perjanjian. Sebuah kontrak yang mengikatnya dengan pria yang bahkan tidak dia kenal dengan baik. Bayangan tentang pernikahan yang dia impikan sejak kecil terasa seperti lelucon sekarang. Harusnya pernikahan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang dilakukan karena cinta. Tapi apa yang dia lakukan ini?
Jual diri demi menyelamatkan keluarga?
Saira memejamkan matanya. Napasnya terasa berat. Yang lebih buruk lagi, dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi adiknya, Naira. Gadis itu memang menolak perjodohan ini dari awal, tapi bukan berarti dia peduli dengan kakaknya yang harus menggantikannya.
Saira tahu bahwa Naira tidak pernah menganggapnya sebagai kakak yang bisa dia hormati. Sejak kecil, hubungan mereka memang tidak pernah akur. Jadi ketika Naira tahu bahwa Saira yang akhirnya menikah dengan pria asing ini, gadis itu hanya mengangkat bahu. Tidak ada simpati, tidak ada rasa bersalah.
"Aku nggak akan menikah dengan orang yang bahkan aku nggak kenal," ujar Naira waktu itu. "Kalau kakak mau, silakan aja."
Saira menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Pikirannya semakin kacau saat membayangkan dirinya berdiri di pelaminan bersama pria asing yang bahkan tidak percaya cinta. Apa yang akan terjadi setelah ini?
Dia membayangkan wajah kedua orang tuanya. Ibunya terlihat lega saat dia menerima pernikahan ini, seolah-olah beban mereka sudah terangkat. Ayahnya tidak berkata apa-apa, tapi ekspresi lelah di wajahnya seakan mengatakan semuanya. Mereka tak punya pilihan lain.
Hatinya mencelos.
Apa dia bisa bertahan?
Atau justru, dia akan hancur?
Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya
Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be
Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo
Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu
Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan
Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t