Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun.
Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.
“Hallo?” suaranya terdengar serak.
Hening. Tidak ada suara di seberang sana.
Saira mengernyit. “Siapa ini?”
Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan.
“Saira...”
Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, seolah itu bisa melindunginya dari apa pun yang sedang terjadi.
***
Keesokan paginya, ia bangun dengan perasaan tidak nyaman. Begitu ia melangkah keluar dari kamar, ia mendapati Dava sudah siap dengan jasnya. Pria itu tangah duduk di meja makan, menikmati sarapan sederhana—hanya kopi hitam dan sepotong roti panggang.
Saira ragu-ragu sebelum akhirnya duduk di seberangnya. “Dava...”
Pria itu tidak langsung menoleh. “Apa?”
Saira menggigit bibirnya. Ia tidak yakin bagaimana cara membicarakan pesan dan telepon misterius tadi malam. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Dava lebih dulu bersuara.
“Jangan keluar rumah sendirian lagi.”
Alis Saira bertaut. “Kenapa?”
Dava mengangkat tatapannya, menatapnya tajam. “Ada orang yang memperhatikanmu.”
Jantung Saira langsung berdetak lebih cepat. “Maksudmu?”
Dava meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, tetapi matanya tetap dingin.
“Aku tidak tahu siapa, tapi aku punya firasat yang bagus soal hal-hal seperti ini.”
Saira menelan ludah. Apakah Dava juga menerima ancaman? Atau dia sudah tahu sesuatu yang tidak Saira ketahui?
“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” katanya pelan.
Dava tertawa sinis. “Benarkah? Lalu kenapa ekspresi wajahmu mengatakan kalau kau sedang ketakutan?”
Saira terdiam. Pria ini memang dingin, tetapi dia tidak bodoh. Dia bisa membaca ekspresi orang lain dengan mudah.
“Kalau ada sesuatu yang terjadi, lebih baik katakan,” lanjut dava. “Aku tidak suka kejutan.”
Saira ragu. Haruskah ia memberi tahu Dava tentang pesan dan telepon misterius itu? Atau lebih baik ia mencari tahu sendiri?
Pria itu menghela napas, lalu berdiri. “Terserah. Tapi aku serius. Jangan keluar rumah sendirian.”
Saira hanya bisa mengangguk. Bahkan setelah Dava pergi, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Saharian ia menghabiskan waktu di rumah, mencoba mencari petunjuk siapa orang yang menghubunginya semalam. Ia mencoba mencari nomor itu di internet, namaun tidak menemukan hasil apa pun.
Rasa penasaran dan ketakutan bercampur dalam pikirannya. Hingga siang hari, ponselnya kembali bergetar. Satu pesan masuk.
“Jangan terlalu nyaman di tempatmu sekarang.”
Saira terhenyak. Jari-jarinya gemetar saat membaca pesan itu. Orang ini benar-benar mengawasinya. Tapi bagaimana? Apakah ada sesorang di luar sana yang memperhatikannya dari kejauhan?
Ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke jendela, mengintip ke luar dengan hati-hati. Jalanan terlihat normal, tidak ada yang mencurigakan. Namun, perasaan tidak nyaman tetap menghantuinya.
Tanpa pikir panjang, Saira mengetik balasan.
“Siapa kamu?”
Beberapa menit berlalu tanpa jawaban. Ia menunggu dengan cemas, sampai akhirnya ponselnya bergetar lagi.
“Seseorang yang lebih berhak berada di sisi Dava.”
Napas Saira tercekat. Lebih berhak? Apa maksudnya? Apakah ini mantan tunangan Dava? Atau seseorang dari masa lalunya yang belum bisa menerima pernikahan mereka?
Saira menatap pesan itu lama, berusaha mencari arti di balik kata-katanya. Namun, semakin ia mencoba memahami, semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Ketika sore tiba, Dava pulang lebih awal dari biasanya. Begitu masuk rumah, ia langsung melihat ekspresi tegang di wajah saira.
“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Saira menatapnya, ragu-ragu. Tapi kali ini, ia merasa perlu memberitahu Dava.
“Aku dapat pesan lagi.”
Mata Dava sedikit menyipit. “Dari nomor yang sama?”
Saira mengangguk. ia menyerahkan ponselnya pada Dava, membiarkan pria itu membaca sendiri. Ekspresi Dava tidak berubah, tapi ada ketegangan yang jelas di matanya. Setelah membaca pesan itu, ia mengembalikan ponsel pada Saira dan menghela napas.
“Kamu harus hati-hati.”
“Jadi kamu tahu siapa yang mengirim ini?” tanya Saira, mencoba mencari petunjuk dari ekspresi Dava.
Dava menggeleng. “Aku punya beberapa dugaan. Tapi aku tidak bisa memastikan sebelum mendapatkan lebih banyak informasi.”
Saira mengernyit. “Apa ini ada hubungannya dengan masa lalumu?”
Dava tidak langsung menjawab. Pria itu menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, “Jangan terlalu banyak bertanya, Saira. Beberapa hal lebih baik tidak kamu ketahui.”
Saira menggigit bibirnya. Jawaban itu hanya membuatnya semakin penasaran.
***
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi dari biasanya. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Dava. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan? Dan kenapa ada sesorang yang begitu terobsesi dengan pernikahan mereka?
Saira mengambil ponselnya dan menatap layar. Pesan terakhir dari orang misterius itu masih ada di sana.
“Seseorang yang lebih berhak berada di sisi Dava.”
Saira menarik napas panjang. Jika orang ini berpikir dia tidak pantas menjadi istri Dava, maka dia harus mencari tahu alasannya. Tidak peduli seberapa dalam rahasia itu tersembunyi, Saira bertekad untuk mengungkapnya.
***
Pagi itu Saira mencoba mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah, tetapi bayangan pesan misterius itu terus menghantuinya. Saat ia sedang menyapu ruang tamu, tiba-tiba pintu rumah diketuk keras.
Jantungnya berdegup kencang. Siapa yang datang?
Ia berjalan pelan ke pintu dan mengintip dari lubang kecil. Seorang wanita berdiri di luar, mengenakan kacamata hitam besar dan mantel panjang. Saira ragu sejenak, lalu memberanikan diri membuka pintu.
“Ya? Ada yang bisa saya bantu?”
Wanita itu menurunkan kacamatanya dan tersenyum kecil. “Akhirnya aku bisa melihat wajahmu langsung.”
Saira mengernyit. “Maaf, Anda siapa?”
Wanita itu mengulurkan tangan. “Kenalkan, aku Larissa.”
Nama itu terdengar asing, tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuat Saira merasa tak nyaman.
Larissa tersenyum miring. “Seseorang yang seharusnya ada di tempatmu sekarang.”
Darah Saira langsung berdesir. Ini orang yang mengirim pesan itu? Saira berusaha tetap tenang. “Maaf, aku tidak mengerti maksudmu.”
Larissa mendekat, membuat Saira reflek mundur selangkah. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik. Soalnya, kamu sudah mengambil sesuatu yang berharga bagiku.”
Saira meneguk ludahnya dengan sulit. “Aku tidak mengambil apa pun dari siapa pun.”
Larissa tertawa pelan. “Oh, sayang... Dava bukan sekadar pria biasa. Dia... spesial. Dan dia adalah milikku, bukan milikmu.”
Jantung Saira semakin berdetak kencang. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan. “Aku tidak tahu hubungan kalian, tapi pernikahan ini sudah terjadi,” kata Saira, mencoba tetap tenang.
Larissa mendengus. “Aku hanya ingin memberimu peringatan, Saira.”
Tatapannya berubah tajam. “Dava tidak akan pernah mencintaimu. Tidak peduli seberapa lama kamu di sampingnya, dia tidak akan pernah memilihmu.”
Saira menggenggam erat sisi bajunya, berusaha menyembunyikan getaran di tangannya.
“Kalau kamu cerdas, kamu akan meninggalkannya sebelum semuanya menjadi lebih buruk,” lanjut Larissa sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Saira masih berdiri terpaku di depan pintu. Apa yang baru saja terjadi?
Ketika Dava pulang malam itu, Saira langsung menghampirinya. “Dava, aku butuh penjelasan.”
Dava melemparkan jasnya ke sofa dan mengerutkan kening. “Tentang apa?”
Saira menggigit bibirnya sebelum berkata, “Larissa.”
Ekspresi Dava langsung berubah. Rahangnya mengeras, dan matanya menjadi lebih gelap. “Kamu bertemu dengannya?”
Saira mengangguk. “Dia datang ke sini. Mengancamku.”
Dava mengumpat pelan dan berjalan melewati Saira, menuju jendela. Ia menarik napas dalam sebelum berkata, “Jangan percaya apa pun yang dia katakan.”
Saira menatap punggung Dava. “Dia bilang kamu miliknya.”
Dava berbalik, menatap Saira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Dia salah.”
“Tapi dia terlihat sangat yakin,” balas Saira cepat.
Dava tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik hening, ia berkata pelan, “Aku akan mengurus ini, kamu jangan ikut campur.”
Saira menggeleng. “Aku sudah terlibat, Dava. Aku ingin tahu yang sebenarnya.”
Dava menatapnya lama, lalu menghela napas. “Larissa adalah masa laluku. Dan dia belum bisa menerimanya.”
Saira menatap Dava dengan penuh tanda tanya. Jika Larissa benar-benar masa lalu Dava, kenapa dia masih bertingkah seolah Dava adalah miliknya? Dan yang lebih penting... apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Saira tahu satu hal: semua ini baru permulaan.
Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya
Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be
Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo
Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu
Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan
Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t