Beranda / Romansa / Nikah Kontrak sama Bos Dingin / 5. Batasan yang Semakin Kabur

Share

5. Batasan yang Semakin Kabur

Penulis: red sugar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-21 20:28:22

            Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini?

            Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin.

            Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang.

            Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada seseorang yang mengawasinya. Ia menoleh ke belakang beberapa kali, tapi tak melihat siapa pun.

            Ketika ia masuk ke dalam sebuah kafe untuk membeli kopi, ponselnya kembali bergetar. Pesan baru muncul.

            “Aku melihatmu. Kenapa melanggar perintah?”

            Saira menegang. Matanya langsung berkeliling, mencari siapa pun yang tampak mencurigakan. Ia menggenggam ponselnya erat, lalu dengan cepat menyelesaikan pesanannya dan kembali ke rumah dengan perasaan tidak nyaman.

            Begitu ia masuk ke rumah dan menutup pintu, napasnya masih terasa berat. Ia membuka pesan itu lagi, membaca ulang kata-kata yang membuatnya semakin gelisah. Siapa pun orang ini, mereka jelas mengawasinya.

            Saira baru saja duduk di sofa ketika suara pintu depan terbuka. Ia melirik jam di dinding, heran karena Dava pulang lebih awal dari biasanya. Padahal, biasanya pria itu baru pulang menjelang malam.

            Dava masuk dengan ekspresi serius, masih mengenakan jasnya seolah baru keluar dari kantor. “Aku pulang sebentar karena ada urusan mendadak,” katanya, seakan bisa membaca pikiran Saira yang kebingungan. Pria itu langsung melihat ekspresi Saira yang tegang.

            “Apa yang terjadi?” tanyanya tajam.

            Saira menelan ludah. Ia tahu jika ia menyembunyikan ini, Dava akan mengetahuinya juga. “Aku... keluar sebentar. Dan aku dapat pesan ini.” Ia menyerahkan ponselnya pada Dava.

            Pria itu membaca isi pesan itu dengan rahangnya yang mengeras. “Kamu keluar rumah sendirian?” suaranya terdengar dalam, nyaris seperti geraman.

            Saira mengangguk. “Aku hanya ke kafe dekat sini, Dava. Aku butuh udara segar.”

            Dava memijit pelipisnya sebelum menatap Saira dengan tajam. “Aku sudah bilang, jangan keluar sendiri.”

            Saira menghela napas. “Aku tidak bisa terus dikurung di dalam rumah.”

            “Aku melakukan ini untuk keselamatanmu.”

            “Tapi aku tidak bisa hidup dalam ketakutan terus-menerus!” balas Saira, suaranya meninggi.

            Dava menatapnya lama, lalu membuang napas berat. “Mulai sekarang, kalau kamu mau keluar,aku ikut.”

            Saira melotot. “Apa? itu tidak masuk akal.”

            Dava tidak peduli. “Aku tidak mau ada masalah.”

            Saira tahu percuma berdebat. Ia hanya mendengus kesal dan meraih ponselnya kembali. “Terserah.”

***

            Keesokan harinya, Dava benar-benar menepati ucapannya. Saat ia menyebut ingin pergi keluar, Dava yang saat itu sedang mengerjakan sesuatu di ruang kerjanya langsung menutup laptopnya dan mengambil kunci mobil.

            “Aku ada rapat siang nanti, jadi kita pergi sekarang saja.”

            Ketika Saira mengatakan ingin pergi ke supermarket, Dava langsung mengambil kunci mobil dan berkata, “Ayo.”

            Sepanjang perjalanan, Dava tetap fokus menyetir, sementara Saira menatap jendela, berpikir. Sesekali, ia melirik pria di sebelahnya. Sikapnya begitu tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Apa benar dia tidak peduli? Atau dia sebenarnya tahu lebih banyak dari yang ia katakan?

            Sebelum ke supermarket, mereka mampir ke sebuah toko buku kecil karena Saira ingin mencari bacaan baru. Dava, yang awalnya hanya menunggu di dekat pintu, akhirnya ikut masuk setelah bosan berdiri sendirian. Saat Saira sibuk memilih buku, Dava berjalan-jalan melihat-lihat rak.

            “Aku tidak tahu kamu suka baca buku,” kata Saira akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

            Dava meliriknya sekilas. “Aku membaca hal yang penting saja.”

            Saira menghela napas, lalu kembali melihat-lihat buku. Beberapa menit kemudian mereka menyelesaikan pembayaran dan melanjutkan perjalanan ke supermarket. Namun, begitu mereka tiba dan mulai berbelanja, Saira merasakan sesuatu yang aneh lagi. Ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka.

            Perlahan, ia menoleh ke salah satu lorong. Di sana, ia melihat sosok yang familir. Larissa. Wanita itu berdiri tidak jauh, mengenakan gaun hitam yang elegan, dengan senyum liciknya masih melekat di wajahnya.

            Saira menegang. “Dava...”

            Dava yang menyadari perubahan ekspresi Saira mengikuti arah tatapannya. Saat matanya menangkap sosok Larissa, ekspresi pria itu berubah gelap.

            Larissa melangkah mendekat. “Oh, kebetulan sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini.”

            Dava langsung berdiri di depan Saira, seolah menghalangi Larissa mendekat lebih jauh. “Apa yang kamu inginkan, Larissa?”

            Larissa tersenyum, tapi tatapannya penuh makna. “Aku hanya ingin memastikan Saira baik-baik saja. Kau tahu, kehidupan pernikahan bisa sangat melelahkan.”

            Saira mengepalkan tangannya. “Aku tidak butuh perhatian darimu.”

            “Oh, benarkah?” Larissa melirik Dava. “Dava, kau masih menyimpan cincin itu?”

            Dada Saira langsung terasa sesak. Cincin apa?

            Dava menegang, rahangnya semakin mengeras. “Ini bukan urusanmu.”

            Larissa tertawa kecil. “Kau selalu sulit ditebak, Dava.” Ia lalu menatap Saira. “Aku akan menunggu kapan kau menyerah.”

            Setelah wanita itu berbalik dan pergi, meninggalkan keduanya dalam kebisuan yang mencekam.

            Saira menatap Dava dengan ekspresi penuh pertanyaan. “Cincin apa yang dia maksud?”

            Dava tidak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam troli lebih erat. “Ayo pulang.”

            Saira mengangguk, meski dalam hatinya, ia tahu jawabannya tidak akan sederhana. Dan ia semakin yakin bahwa rahasia pernikahan kontrak ini lebih besar dari yang ia bayangkan.

           

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   7. Menantu Favorit Mama

    Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   6. Rahasia yang Mulai Terbuka

    Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   5. Batasan yang Semakin Kabur

    Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   4. Rahasia Di Balik Nama

    Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   3. Rumah Baru, Suami Dingin

    Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   2. Antara Takdir dan Paksaan

    Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status