共有

7. Menantu Favorit Mama

作者: red sugar
last update 最終更新日: 2025-05-24 00:34:24

Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa.

            Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya.

            Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.”

            Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.”

            Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?”

            Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.”

            “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?”

            Dava menyesap kopinya sebelum berkata, “Kita?” Ia menaikkan sebelah alis. “Ini bukan masalahmu, Saira.”

            Saira mengernyit. “Kita ini pasangan, Dava, meskipun hanya kontrak. Apa pun yang melibatkanmu, otomatis juga melibatkanku.”

            Dava menatapnya lama sebelum menghela napas. “Aku sedang maencari cara agar dia berhenti tanpa harus membuat situasi semakin buruk. Tapi itu butuh waktu.”

            Saira mendesah pelan. Setidaknya Dava tidak sepenuhnya mengabaikan ancaman ini. Tapi tetap saja, sesuatu terasa aneh. Kenapa Larissa begitu yakin bahwa Dava masih bisa ia kendalikan?

***

            Beberapa jam kemudian, sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel Dava. Saira, yang sedang duduk di ruang tamu, bisa mendengar nada suara Dava berubah ketika menjawabnya.

            “Ya, Ma?”

            Saira menajamkan pendengarannya. Sejak menikah, ia belum banyak berinteraksi dengan ibu Dava.

            “Hari ini?” Dava melirik jam tangannya. “Aku sibuk.”

            Saira bisa mendengar suara wanita di seberang telepon berbicara cukup panjang sebelum akhirnya Dava mendesah. “Baiklah, aku akan datang.”

            Begitu panggilan berakhir, Dava melemparkan ponselnya ke sofa dan menatap Saira. “Ikut aku ke rumah orang tuaku.”

            Saira terkejut. “Sekarang? Kenapa tiba-tiba?”

            Dava berdiri dan meraih kunci mobil. “Ibuku ingin bertemu. Dan karena kita sudah menikah, kamu juga harus ikut.”

            Saira menelan ludah. Ia tidak punya pilihan.

***

            Ketika mereka tiba di kediaman keluarga Pratama, Saira bisa merasakan aura kemewahan yang begitu kuat. Rumah besar dengan taman rapi, pintu masuk yang megah, dan pelayan yang langsung membungkuk saat mereka melangkah masuk.

            Begitu mereka masuk ke ruang tamu, seorang wanita paruh baya dengan gaun elegan sudah menunggu di sofa.

            “Akhirnya kalian datang juga,” ucap Tante Rina sambil berdiri dan menghampiri mereka. Tatapannya langsung tertuju ke Saira dengan binar hangat. “Saira, kamu makin cantik aja.”

            Saira tersenyum sopan. “Makasih, Tante.”

            Tante Rina langsung menggenggam tangan Saira erat-erat, seolah ingin menunjukkan pada Dava, “Lihat, ini menantu favorit Mama.”

            “Jangan panggil Tante lagi, sekarang kamu udah jadi menantu Mama. Panggil Mama aja, Sayang.”

            Saira mengangguk pelan. “Iya, M-ma.”

            Tante Rina—sekarang Mama Rina, menuntun Saira duduk di sofa. Dengan lembut, dia merapikan sedikit rambut Saira yang jatuh ke pipi, lalu menoleh ke Dava.

            “Kamu jangan berdiri aja, Nak. Duduk sebelah istrimu.”

            Dava yang sedari tadi hanya berdiri kaku, akhirnya duduk dengan gerakan enggan. Jarak antara dia dan Saira? Jelas seperti dua benua. Tapi Mama Rina bukan orang yang gampang dibohongi.

            “Kalian ini pasangan baru, masa duduk kayak musuhan?” goda Mama Rina sambil mendorong bahu Dava pelan. “Deketan dong.”

            Dava menarik napas, lalu akhirnya bergerak sedikit—cukup untuk membuat lutut mereka bersentuhan. Sentuhan kecil yang membuat detak jantung Saira naik drastis. Tapi dia tetap tenang di luar. Sementara Dava? Ekspresinya tetap datar, tapi tangannya yang mengepal di pangkuan.

            “Kalian bahagia, kan?” tanya Mama Rina, tatapannya bergantian antara Dava dan Saira.

            “Tentu, Ma,” jawab Dava cepat.

            Saira tersenyum. “Dava sangat perhatian, Ma. Bahkan waktu aku luka sedikit aja, dia yang obatin langsung.”

            Dava menoleh pelan, menatap Saira tajam.

            Mama Rina tertawa senang. “Dengar tuh, Dav. Istrimu memuji kamu. Mama bangga akhirnya kamu bisa belajar jadi suami yang baik.”

            Dava hanya mengangguk kecil, seolah tak mau memperpanjang pembicaraan. Tapi matanya masih sesekali melirik ke arah Saira—dan kali ini bukan karena ingin mengintimidasi. Lebih seperti... menahan sesuatu.

            “Ngomong-ngomong, malam ini kalian nginep di sini, ya,” lanjut Mama Rina.

            “Hah?” Saira dan Dava nyaris serempak.

            “Mama sudah bilang sama Mbak Yuyun buat siapin kamar Dava yang dulu buat kalian.”

            Saira nyaris tersedak napas. “Kamar Mas Dava?”

            “Iya, Sayang” kata Mama Rina tersenyum kecil.

            Dava langsung berdiri. “Ma, kita sebenarnya cuma—”

            “Cuma apa?” potong Mama Rina tajam.

            Dava terdiam, dia hampir kelepasan. Dan untuk pertama kalinya, Saira melihat pria itu kalah telak oleh ibunya sendiri.

            “Kami nginep, Ma,” potong Saira cepat.

            Dava menatap Saira kaget. Tapi Saira membalas dengan lirikan penuh kemenangan.

            Mama Rina akhirnya tersenyum puas. “Bagus. Mama suka menantu yang cerdas.”

            Tak lama kemudian, pelayan datang mengantar mereka ke kamar. Dan saat pintu kamar tertutup—satu ranjang, terpampang nyata di depan sana. Udara menegang. Dan dua orang dewasa terjebak dalam peran yang makin sulit dibedakan dari kenyataan.

            “Jangan senyum-senyum. Kamu sengaja, ya?” Dava menatap Saira curiga.

            Saira menyengir. “Apa? Aku cuma istri baik yang nggak mau ngecewain Mama mertua.”

            Dave mendengus. “Ini bukan rencana yang bagus.”

            “Tapi kamu belum kabur, berarti kamu juga nggak benci, kan?”       

            Mata mereka bertemu. Lama. Lalu...

            “Tidur di sofa,” gumam Dava sambil mengambil bantal.      

            Tapi sebelum dia sempat jalan jauh, Siara berseru. “Sofa sempit, ranjang jauh lebih luas. Kita nggak bakal sentuhan juga, kan?”

            Dava berhenti. Menoleh. “Kamu makin lancang, ya?”

            Saira mendekat, lalu duduk santai di ranjang. “Aku cuma ngasih tahu kamu, tidur di ranjang lebih nyaman. Kalau kamu tetap mau tidur di sofa, silakan.”

            Dava tak menjawab, tapi malam itu, meski mereka tidur saling membelakangi... jantung mereka berdetak ke arah yang sama.

           

           

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   7. Menantu Favorit Mama

    Saira tidak bisa tidur setelah membaca pesan Larissa di ponsel Dava. Perempuan itu jelas masih ingin mengusik kehidupan mereka. Tapi yang lebih menganggunya adalah reaksi Dava—begitu dingin, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa. Keesokan paginya, Saira bangun lebih awal dari biasanya. Saat ia keluar kamar, aroma kopi sudah memenuhi rumah. Dava duduk di meja makan, membaca sesuatu di laptopnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Saira menarik napas dalam dan berjalan mendekat. “Pagi.” Dava hanya melirik sekilas. “Pagi.” Saira duduk di seberangnya. Ia menatap pria itu sebelum akhirnya bertanya, “Kamu tidak akan melakukan apa pun tentang Larissa?” Dava tidak segera menjawab. Ia menutup laptopnya dan menatap Saira dalam-dalam. “Aku sudah terbiasa dengan cara Larissa. Jika aku merespon, itu hanya akan membuatnya semakin bersemangat.” “Jadi kamu akan membiarkannya terus menganggu kita?” Dava menyesap kopinya

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   6. Rahasia yang Mulai Terbuka

    Suasana di dalam mobil terasa mencekam sepanjang perjalan pulang. Saira masih memikirkan pertemuannya dengan Larissa, sementara Dava tetap fokus menyetir, ekspresinya sulit ditebak. Saira menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih jauh tentang cincin yang disebutkan Larissa, tetapi ia tahu Dava bukan tipe pria yang akan menjawab pertanyaan dengan mudah. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, ia akhirnya tidak bisa menahan diri. “Dava,” panggilnya pelan. “Hm?” “Cincin yang Larissa bicarakan... itu cincin apa?” Dava tidak langung menjawab. Tangannya tetap erat menggenggam setir, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. “Itu bukan urusanmu.” Saira menghela napas, menahan rasa frustrasi. “Aku istrimu. Setidaknya selama setahun ini. Jika sesuatu dari masa lalumu bisa memengaruhi kehidupan kita sekarang, aku be

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   5. Batasan yang Semakin Kabur

    Setelah pertemuan dengan Larissa, suasana rumah menjadi lebih tegang. Saira tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata wanita itu. Apakah benar Dava masih terikat dengan masa lalunya? Jika ya, kenapa dia memilih pernikahan kontrak ini? Pagi itu, Dava berangkat lebih awal dari biasanya. Saira hanya melihatnya sekilas sebelum pria itu menghilang ke balik pintu dengan ekspresi datar. Tak ada percakapan, tak ada peringatan seperti kemarin. Saira mencoba mengisi waktunya dengan melakukan sesuatu yang produktif. Ia mulai membereskan rumah, memasak makanan yang bisa bertahan lama di kulkas, dan bahkan mulai membaca buku yang ada di rak Dava. Namun, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Setelah siang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar sebentar. Ia tahu Dava melarangnya pergi sendirian, tetapi ia tidak bisa terus-terusan merasa terkurung di dalam rumah ini. Saat ia berjalan di trotoar dekat kompleks rumah mereka, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seo

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   4. Rahasia Di Balik Nama

    Malam itu, Saira tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tetapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontak mana pun. Saat akhirnya ia terlelap, suara dering ponsel membangunkannya. Saira meraba ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat layar. Panggilan dari nomor tidak dikenal lagi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. “Hallo?” suaranya terdengar serak. Hening. Tidak ada suara di seberang sana. Saira mengernyit. “Siapa ini?” Masih tidak ada jawaban. Tetapi sebelum menutup panggilan, suara napas seseorang terdengar pelan. “Saira...” Suara itu hampir berbisik. Dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Saira langsung menutup telepon dan meletakkan ponselnya jauh dari tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tu

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   3. Rumah Baru, Suami Dingin

    Setelah pernikahan yang terasa seperti mimpi buruk, Saira pikir dia akan tetap tinggal di kediaman keluarga Pratama. Namun, dugaan itu salah. “Kalian akan tinggal di rumah ini, kan?” Tanya Tante Rina dengan wajah penuh kebahagiaan. “Enggak, Ma. Aku udah siapin rumah buat Saira. Jadi kami akan tinggal di rumah kami sendiri.” Ujar Dava tegas. Saira yang tadinya senang dengan pertanyaan Tante Rina mendadak terkejut, tapi ia menahan ekspresinya. Dia melirik Dava, yang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apa pun. Pria itu hanya diam membatu setelah mengucapkan keputusan tersebut seolah memang sudah ia rencanakan sejak awal. Saira menelan ludah. Tinggal berdua dengan pria asing di rumah yang bukan rumahnya? Rasanya aneh, menakutkan bahkan. Tapi dia tidak punya hak untuk protes. Malam itu juga mereka pindah. *** Perjalanan menuju rumah baru mereka terasa sunyi. Saira duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan kota yang mulai sepi. Dava ada di sampingnya, tetapi pria itu sibuk dengan

  • Nikah Kontrak sama Bos Dingin   2. Antara Takdir dan Paksaan

    Saira terbangun dengan kepala berat. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah dipenuhi kecemasan. Hari ini dia harus bersiap untuk pernikahan yang bahkan tak pernah dia inginkan. Saat dia keluar dari kamar, suara ibunya terdengar dari dapur. "Saira, ayo sarapan." Langkahnya terasa berat. Setiap detik mendekatkannya pada pernikahan dengan pria asing itu. Ketika dia duduk di meja makan, Naira sedang sibuk dengan ponselnya, tak menunjukkan tanda-tanda peduli. Saira menggigit bibirnya. Hubungan mereka memang tidak akur, tapi setidaknya sedikit perhatian dari adiknya akan membuatnya merasa lebih baik. "Sudah siap jadi pengantin pura-pura?" tanya Naira tanpa menoleh. Saira menatapnya t

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status