"Baiklah, tenang saja aku tidak akan melakukan apapun," kata Verrel menegaskan. Angela mengangguk mengiyakan, sementara Verrel membantu menyelimutinya.
Mereka lalu tidur saling memunggungi satu sama lain. Bagian tengah kosong tak berpenghuni hanya ada guling sebagai pembatasnya.
Pagi pun tiba, cahaya matahari yang hangat masuk melalui ventilasi udara. Tidak ada yang tahu sejak kapan mereka berpelukan satu sama lain.
Angela sangat kaget mendapati dirinya tanpa sadar memeluk Verrel. Kepalanya ia sandarkan pada dada bidang pria yang masih terpejam di sampingnya. Ia tidak ingin Verrel mengetahui jika dirinya sudah memeluk pria itu lebih dulu. Padahal ia yang sudah koar-koar melarang adanya kontak fisik.
Tiba-tiba Verrel yang masih dalam keadaan mata terpejam menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Angela merasa tidak bisa berkutik lagi. Verrel terlalu erat memeluknya sampai ia bisa merasakan nafas pria itu. Dengan Yohan saja ia tidak pernah sedekat ini.
Melihat Verrel menggerakkan kelopak matanya, Angela buru-buru pura-pura memejamkan matanya. Saat Verrel membuka mata, ia kaget kenapa tubuhnya terasa berat. Ternyata kepala Angela bersandar pada tubuhnya yang bidang. Sampai-sampai ia mengucek matanya berulangkali. Kemungkinan apa yang di lihatnya salah. Tapi tidak ada yang salah dengan matanya. Gadis cantik tanpa riasan itu memeluknya dengan erat.
Gilanya lagi Verrel kembali terobsesi dengan bibir ranum Angela. Ia seperti melihat bidadari cantik sedang tertidur pulas dalam pelukannya. Jari-jari Verrel menyentuh bibir Angela.
Tiba-tiba Angela merasakan ada sesuatu yang kenyal menempel di bibirnya. Bibir itu semakin masuk ke dalam bibirnya, mengabsennya satu
persatu. Sialnya lagi, Angela tidak bisa berkutik dalam sutuasi yang tengah di hadapinya. Seharusnya ia menolak, tapi sensasi yang ia rasakan sudah meluruhkan akal sehatnya. Ia bahkan membiarkan Verrel menikmati manis bibirnya.Verrel merasa Angela membalas ciumannya. Tapi saat ia melihat ke arah Angela gadis itu masih tertidur lelap.
Ah ... mungkin hanya pikiranku saja, batin Verrel.
Dalam hati Angela merutuki dirinya sendiri kenapa membalas ciuman Verrel, bukankah seharusnya ia menolak ciuman itu. Hati Angela tak karuan. Kenapa ia bisa serapuh itu di hadapan Verrel padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tidak terjadi kontak fisik dengan Verrel.
Verrel menjauhkan bibirnya, ia merasa sudah kelewat batas dengan Angela. Bagaimana mungkin dirinya menggilai bibir gadis itu. Meskipun tidak dosa, karena secara hukum agama dan undang-undang Angela tetaplah istrinya yang sah. Tapi berdasarkan perjanjian awal tidak adanya kontak fisik membuat Verrel malu pada dirinya sendiri.
Ia juga sering menegaskan pada dirinya sendiri agar tidak tertarik pada Angela. Sebelum kesalahannya bertambah fatal, Verrel menjauhkan tubuhnya dari Angela. Ia lebih dulu bangun dan ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Verrel melihat wajahnya di kaca toilet, ia mengusap bibirnya sendiri dengan tangannya.
Kau sudah gila, pikir Verrel.
Ia tidak mempercayai kejadian yang baru saja ia lakukan pagi ini. Bagaimana mungkin ia bisa seceroboh itu menyentuh bibir Angela. Bukankah gadis itu baru saja sakit semalaman, kenapa setelah paginya ia melumat bibir gadis itu dengan rakusnya.
Verrel mengguyur tubuhnya dengan kucuran air shower. Ia berusaha menyadarkan dirinya dari pikiran kotor. Hasratnya sudah di ubun-ubun tatkala dengan sangat terpaksa ia melepaskan bibir Angela. Verrel berusaha keras menyadarkan dirinya sendiri.
Angela terlihat sudah bangun dari tidurnya, ia bingung harus bersikap bagaimana dengan Verel nantinya.
Bukankah ia tidak tahu jika aku tadi sebenarnya sudah bangun. Jadi tidak masalah jika aku pura-pura tidak tahu saja, batin Angela.
Verrel keluar dari kamar mandi, tubunhnya hanya berbalutkan handuk yang melilit di bagian perutnya. Tubuhnya yang atletis menggambarkan jika lelaki itu gemar ke fitnes. Di permukaan kulitnya masih menempel buliran air.
"Sudah baikan?" tanya Verrel.
"I ... iya," jawab Angela gugup. Kenapa ia malah gugup tidak bisa bersikap biasanya. Apalagi melihat tubuh Verrel yang hanya berbalut handuk dari batas pingganggnya membuat pikiran Angela berselancar ke mana-mana.
"Cepatlah ganti baju sana!" Muka Angela tiba-tiba memerah, ia langsung turun dari ranjang berjalan melewati Verrel menuju ke kamar mandi.
Sekilas Verrel bisa melihat perubahan pada air muka Angela. Ia tahu jika pipi wanita itu bersemu merah.
Tidak mungkin ia tahu jika aku telah menciumnya pagi ini, batin Verrel.
Angela sudah mengganti pakaiannya dengan dress yang cukup ketat. Verrel heran dengan sikap Angela. Ia penasaran mau kemana gadis itu berdandan secantik itu.
"Mau kemana?" tanya Verrel.
"Keluar untuk sarapan," jawab Angela.
"Berdandan seperti ini?" tanya Verrel mengernyit heran.
"Aku ingin memberi kesan baik pada pacarku," ucap Angela seraya memoleskan lipstik di bibirnya. Lagi-lagi Verrel melihat bibir Angela ia menelan salivanya.
Dengan cepat ia memutar tubuh Angela."Jangan bertemu dengan pria lain di hari pernukahan kita,"ucap Verrel.
"Pernikahan kita? Anda tidak salah Tuan Verrel?" sindir Angela.
"Maksudnya, kita baru saja menikah. Tolong jangan buat ulah yang menyolok di hadapan publik. Pernikahan kita baru selesai kemarin, jika kau tertangkap media bertemu dengan pria lain, apa kata keluarga kita," terang Verrel.
Angela terdiam sebentar. Ia merasa ada benarnya yang di katakan Verrel, tapi ia juga bosan jika seharian di kamar.
"Lalu ... apa seharian kita akan di kamar terus-terusan?" ujar Angela. Ia sudah merasa bosan di dalam kamar terus.
"Kita bisa melakukan aktivitas lainnya seperti _," Terlihat senyuman nakal di wajah Verrel.
"Tidak .... tidak, aku tidak mau!" Angela menolak mentah-mentah. Ia takut jika Verrel nekat meminta jatahnya.
"Aku belum bilang apa-apa tapi kau sudah tidak mau. Memang apa yang akan aku lakukan padamu?" tanya Verrel terkekeh. Ia menjitak kening Angela.
"Aww!! Sakit tahu!" Angela meringis kesakitan mengusap keningnya.
Siapa yang tidak takut diam-diam kau menciumku, tetap saja kita dua orang dewasa. Meskipun tidak ada rasa cinta bukankah terkadang nafsu juga selalu mengambil peran diantara dua manusia yang berada dalam satu jamar, batin Angela.
"Kita gunakan saja tiket bulan madu ini untuk jalan-jalan." Verrel mengibaskan lembar tiket bulan madu yang ada di tangannya.
"Tapi ... kita tidak beneran bulan madu kan? Maksudku hanya sekedar jalan-jalan kan?" Angela masih saja terus memastikan. Ia takut jika kesalahan di malam hari kembali di lakukan Verrel meskipun ia ikut menikmatinya.
"Iya ... iya," jawab Verrel. Padahal dalam hatinya ia tidak bisa menjanjikannya. Verrel tidak tahu entah kenapa ia merasa nyaman jika dekat dengan Angela. Padahal ia belum kenal lama.Tapi gengsi Verrel terkadang lebih besar ia tidak tahu tentang perasaannya sendiri. Apalagi statusnya masih berpacaran dengan Hellen.----Bersambung----Para tamu undangan telah datang memenuhi ballrom Hotel Diamond untuk datang memberikan selamat pada sepasang pengantin baru. Chika tampak memakai balutan gaun berwarna broken white serasi dengan setelan jas yang di pakai Saga.Chika merasa tegang karena baru kali ini ia menikah secara resmi di hadapan publik. Yang lebih mengesankan lagi pernikahan itu merupakan pernikahan ganda antara Chika dan Saga, Devan dan Viona. Sungguh di luar dugaan bagi Angela. Ia bergelayut mesra di lengan suami tercintanya Verrel. Demikian juga Mark dan Clara cukup lega menyaksikan putrinya berbahagia bersama dengan orang yang di cintainya.Bunga-bunga rose berwarna putih, lily putih dan baby breath menghiasi dekorasi pernikahan. Tampak meja-meja tamu sudah di penuhi pengunjung yang menyantap hidangan makanan yang di tawarkan. Di setiap sudut ruangan di hiasi bunga-bunga kering yang sudah tertata apik.Semua tamu tampak kagum dengan pasangan pengantinnya yang tampil sempurn
Wajah Frans murung, hari ini adalah hari pengambilan raport kelulusannya di TK. Semua anak datang bersama kedua orang tuanya, Frans di temani Chika. Dalam hati sebenarnya Frans ingin seperti teman-temannya. Hanya saja ia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut jika mamanya akan sedih.Chika mendapati Frans diam tidak seperti biasanya. Sementara tatapannya tertuju pada temannya yang sedang bercanda tawa dengan papanya membuat Chika cukup mengerti. Ia lalu mengambil ponsel dalam tasnya. Mengirimkan pesan pendek untuk Saga.Di kantor Saga tengah sibuk mengetik di laptopnya. Sekilas ia melihat ponselnya menyala. Bibirnya tersenyum manakala membaca pesan singkat dari Chika. Ia segera meraih jasnya. Lalu meninggalkan pesan pada asisten pribadinya untuk menghandel pekerjaan hari ini.Di sekolah semua anak mendapatkan jatah giliran pentas bersama kedua orang tuanya. Sang anak membacakan puisi lalu kedua orang tua mendampingi di kanan kirinya.Satu persat
"Ma, apa benar Frans memang putraku?" tanya Saga sembari menangis di depan Angela. Ia merasa seperti orang bodoh tidak tahu apa-apa."Ya, akhirnya kau sudah tahu juga," kata Angela.Saga tercengang, ternyata kedua orang tuanya sudah tahu kebenarannya. Lalu mengapa mereka menyembunyikannya?"Kenapa mama tidak mengatakannya padaku? Aku merasa seperti orang paling bodoh, Ma. Putraku sendiri memakiku, membenciku, aku bisa melihat kemarahan di bola matanya," kata Saga."Itu karena Chika melarangku, aku juga tidak ingin melukai hatinya," kata Angela."Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Putraku tidak mau menerimaku," keluh Saga."Kau harus bisa meraih hatinya. Bayangkan ia besar tanpa kasih sayang seorang papa. Frans sering melihat Chika bersedih sendirian. Sebagai seorang anak yang sangat menyayangi mamanya wajar jika dia ikut terluka.""Baiklah, Ma. Saga akan berusaha keras untuk mengambil hati Frans," kata Saga kemudian."Bagus,
Dering suara telepon mengagetkan Chika dari aktivitasnya dengan Saga."Sudah, biarkan saja. Tanggung," kata Saga.Chika mendorong tubuh Saga. Ia yakin jika yang sedang menelepon adalah putranya. Dengan baju yang sudah terlihat berantakan Chika meraih ponselnya. Benar, memang Frans yang meneleponnya."Mamaa!""Cepat pulang!" teriak Frans di telepon."Iya, sayang. Sekarang juga mama pulang," kata Chika menghibur Frans. Ia lalu mematikan ponselnya.Saga langsung mengambil ponsel Chika dengan paksa, untung saja Frans sudah memutus panggilannya. Saga memeriksa riwayat panggilan Chika. Di sana ada gambar foto bocah tampan mirip dirinya."Jangan bilang, jika anak ini adalah putraku," kata Saga. Ia kembali menatap foto Frans lebih dekat lagi. Chika segera merebutnya. Ia tidak ingin Saga tahu jika dirinya sudah memiliki seorang anak."Lima tahun kau menghilang, anak ini juga berusia lima tahun. Itu berarti kemungkinan besar
"Minumlah, agar tubuhmu menjadi hangat," ucap Saga."Terima kasih."Chika tidak langsung meminumnya karena masih terlalu panas. Ia memilih meletakkannya di atas meja."Masih terlalu panas, aku akan meminumnya nanti," ucap Chika."Tunggu sebentar."Saga beranjak dari tempat duduknya ia melangkah menuju ke dapur. Tangannya membuka pintu lemari mengeluarkan beberapa bungkus mie instan. Ia tidak tahu apakah Chika mau mengonsumsi mie instan atau tidak.Ia pun mengambil panci dan memenuhinya dengan air. Setelah mendidih ia masukkan mie nya ke dalam panci. Sambil menunggu mie nya masak ia menyiapkan mangkuknya.Chika merasa sudah terlalu lama Saga meninggalkannya. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya mencari keberadaan Saga. Melihat Saga tengah memasak di dapur membuat nafasnya sedikit sesak. Ia tidak suka melihat kebaikan Saga. Hatinya bisa saja luluh lantah kalau di perlakukan seperti itu.Tidak seharusnya suas
Saga mengikuti langkah Axella dari belakang. Kebetulan restorannya tidak begitu ramai sehingga mereka leluasa memilih tempat yang nyaman. Rupanya Chika memilih tempat di dekat jendela yang menghadap ke arah air terjun kecil. Di luar jendela terlihat taman landscape menghiasi sekitar restoran.Para pengunjung restoran merasa nyaman untuk berlama-lama di sana. Di dinding hotel banyak terpajang lukisan klasik dan ornamen unik yang tidak ada di tempat mana pun."Kenapa kita kesini? Bukankah seharusnya kita langsung ke lokasi untuk meninjau tempatnya," kata Axella."Jangan terlalu terburu-buru, Nona Axella. Saya tidak ingin Anda kelaparan di jalan hanya karena kurang makan," kata Saga sambil tersenyum.Chika malas membantah perkataan Saga. Ia lebih memilih melihat buku menu yang ada di depannya. Saga memberi isyarat pada pelayan untuk menghampirinya."Saya akan segera kembali membawa pesanan Anda."Chika kembali terpaku pada pem