Emily Carter tak pernah menyangka, sahabat masa SMA yang dulu ia tolak kini kembali sebagai Alexander Blackwood—seorang CEO dingin, berbahaya, sekaligus penuh obsesi. Ketika keluarganya terjerat utang besar, Alexander muncul dengan tawaran yang mustahil ditolak: pernikahan kontrak enam bulan. Bagi Emily, ini hanya kesepakatan untuk menyelamatkan keluarganya. Namun bagi Alexander, ini adalah kesempatan untuk membalas, mengikat… dan merebutnya sepenuhnya. Di balik cincin pernikahan, tersembunyi hasrat, luka, dan rahasia masa lalu yang tak pernah padam. Antara cinta dan benci, penyesalan dan obsesi, Emily harus memilih—bertahan dalam penjara cinta sang CEO dingin, atau melawan ikatan yang bisa menghancurkan keduanya.
View More"Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily."
Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. --- Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter. Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada apa-apanya dibanding kegelisahan yang merayap dari dalam. Emily merapatkan mantel tipisnya. Dalam genggamannya, selembar surat rekomendasi dari ayahnya terasa lebih berat dari sekadar kertas. Ia bukan datang ke sini sebagai jurnalis investigasi seperti biasanya. Malam ini, ia datang karena paksaan keluarga—orang tuanya yang nyaris memohon, bahkan memerintahkannya. “Kau harus bertemu Alexander Blackwood,” begitu kata ayahnya, wajah penuh keputusasaan. “Dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan perusahaan kita. Apa pun yang dia tawarkan… terimalah.” Kata-kata itu terus terngiang. Emily menelan ludah, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia benci cara keluarganya menyerah begitu saja pada seorang pria yang bahkan sudah lama tak lagi menjadi bagian hidupnya. Tapi ia juga tahu, penolakan berarti kehancuran. Pintu lift terbuka. Seorang pria keluar, langkahnya tenang, penuh wibawa. Alexander Blackwood. Emily menahan napas. Ia masih mengenali pria itu, meski banyak yang berubah. Rambut cokelat gelapnya kini ditata rapi, wajahnya lebih tegas, matanya biru dingin, penuh jarak. Dulu, mata itu selalu bersinar setiap kali menatapnya. Dulu, ia selalu dipanggil dengan tawa hangat dan senyum yang mampu menenangkan hari paling buruk sekalipun. Sahabat masa SMA. Lelaki yang pernah menatapnya dengan mata penuh cahaya, lalu mendeklarasikan perasaannya di bawah langit sore yang oranye. Lelaki yang ia tolak dengan dingin, karena kala itu Emily terlalu muda, terlalu takut, dan terlalu yakin bahwa persahabatan lebih aman daripada cinta. Dan kini, lebih dari sepuluh tahun kemudian, Alexander bukan lagi “Alex” yang hangat. Ia telah menjadi sosok asing—seorang CEO yang dikenal kejam dalam bisnis, pria yang wajahnya sering muncul di majalah Forbes dan halaman depan koran. Begitu pintu ruang rapat terbuka, aroma kayu mahoni dan parfum maskulin langsung menyeruak. Di balik meja panjang, berdiri seorang pria dengan jas hitam yang disesuaikan sempurna dengan tubuh tegapnya. “Emily Carter,” katanya, suaranya dalam, dingin, dan terlalu formal bagi dua orang yang pernah berbagi rahasia kecil di usia remaja. “Sudah lama sekali.” Emily menelan ludah. “Alex—” ia hampir menyebut nama itu, tapi buru-buru mengoreksi. “Mister Blackwood.” Alexander tersenyum tipis, lebih menyerupai ejekan daripada kehangatan. “Jadi sekarang kau menganggapku orang asing? Menarik sekali.” Emily menghela napas berat. “Aku datang karena keluargaku memintaku menemuimu. Jika ini bukan urusan pekerjaan, maka katakanlah sejak awal.” Alexander mengangkat alisnya, tatapannya penuh tantangan. “Keluargamu yang memintamu datang?” Ia mendekat selangkah, suara rendahnya menusuk. “Bagus. Itu mempermudah segalanya.” Emily tertegun, darahnya terasa berhenti mengalir. “Apa maksudmu?” Senyum Alexander melebar, dingin sekaligus penuh kuasa. “Maksudku, Emily… aku tahu keluargamu berada di ambang kehancuran. Dan aku… satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu.” Emily mendongak, menatap matanya. “Dengan imbalan apa?” Alexander menyeringai. “Pernikahan.” Kata itu jatuh seperti palu. Emily terdiam, matanya membesar. “Kau… tidak serius.” “Aku selalu serius.” Suaranya datar, tanpa jeda ragu. “Kau menikah denganku. Dalam enam bulan ke depan, kau menjadi istriku. Dan sebagai gantinya, aku akan melunasi hutang keluargamu, melindungi mereka dari kebangkrutan. Semua akan beres—asal kau menandatangani kontrak ini.” Ia mengeluarkan sebuah map kulit dari mejanya dan meletakkannya di depan Emily. Di dalamnya, ada dokumen legal dengan judul besar: Marriage Contract Agreement. Emily menatapnya dengan tidak percaya. “Kenapa aku? Dari semua wanita yang bisa kau pilih, kenapa aku?” Tatapan Alexander menusuk. Untuk sesaat, ada kilatan emosi yang sulit dibaca—marah, sakit hati, atau mungkin masih cinta. “Kau masih bertanya?” katanya dingin. “Kau tahu persis jawabannya. Karena aku pernah menginginkanmu. Karena aku pernah memberimu hatiku… dan kau menolaknya.” Emily terhenyak. Suaranya tercekat. “Itu… bertahun-tahun lalu, Alex.” Alexander mendekat lebih jauh, hingga wajah mereka hanya terpisahkan beberapa sentimeter. Matanya berkilau tajam. “Jangan panggil aku Alex,” bisiknya. “Alex sudah mati malam itu, ketika kau mengatakan kau tidak menginginkanku. Yang berdiri di hadapanmu sekarang adalah Alexander Blackwood—pria yang belajar bahwa cinta hanya membawa luka. Dan sekarang… giliranmu untuk merasakan rantai yang sama.” Emily merasakan napas hangatnya di kulit pipinya. Jantungnya berpacu, antara ketakutan dan sesuatu yang lain—sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Tangannya bergetar saat membuka kontrak. Setiap halaman berisi syarat-syarat dingin: kewajiban, larangan, tanda tangan. “Ini gila,” desisnya. Alexander menyentuh dagunya dengan jari, memaksa wajahnya mendongak. Sentuhannya kuat, tapi ada kilasan kelembutan samar—seolah bayangan Alex yang dulu masih bersembunyi di balik pria dingin ini. “Tidak, Emily,” suaranya rendah, nyaris sensual. “Ini takdir.” Emily memejamkan mata sejenak. Potongan kenangan SMA menyeruak lagi—tawa di taman sekolah, senyum Alex saat membantunya mengikat pita rambut, pengakuan cinta di senja yang indah. Dan tatapan kecewa itu, saat ia menolak. Kini, tatapan yang sama menatapnya lagi, tapi dengan lapisan baru: obsesi. Tangannya berhenti di halaman terakhir kontrak. Pena disodorkan ke arahnya. Emily menggenggamnya dengan gemetar. Ia tahu, jika ia menandatangani, hidupnya tidak akan pernah sama. Alexander menunduk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinganya. “Tandatangani, Emily. Biarkan masa lalu mengikat kita… selamanya.” Napas Emily tercekat. Di dalam hatinya, pertempuran sengit berkecamuk: kebencian, rasa bersalah, dan sesuatu yang masih berdenyut—kenangan cinta lama yang tak pernah sepenuhnya mati. Dan di ruangan itu, di bawah tatapan dingin Alexander, ia tahu: tidak ada jalan keluar.Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral. Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut,
Matahari pagi menembus tirai kamar dengan cahaya keemasan yang menusuk mata. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuh seakan tak siap menghadapi kenyataan. Hari ini—hari pernikahannya dengan Alexander Blackwood.Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah pucat, mata sembab akibat tangis semalaman. “Aku terlihat… seperti tahanan,” gumamnya lirih, bibirnya bergetar.Victoria sempat datang menemuinya sewaktu lebih pagi, membawa gaun putih yang telah dipersiapkan keluarga Carter. “Kau harus terlihat sempurna, Emily. Dunia akan melihatmu berdiri di samping Alexander.” Kalimat itu masih terngiang di kepalanya, seperti perintah tanpa pilihan.Emily menyentuh gaun itu dengan jemari gemetar. Benang-benang renda seolah berubah menjadi rantai yang membelenggunya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Aku dan Alex… kami pernah dekat. Dia mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Semua ini akan baik-baik saja.Namun pikirannya menolak. Hatinya menjerit. Ia tahu Alexa
Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander. Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir. Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik. Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.” Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?” Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pa
Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perla
Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya
"Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily." Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. ---Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter.Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada ap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments