Share

Rapat Kolega

Hari ini tepat di mana rapat kolega yang dibahas Wang sebelumnya akan dilaksanakan. Setahun sekali akan ada acara, yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja masing-masing, sebab perusahaan yang didirikan bersama itu, cukup rentan untuk menjadi rebutan.

Setelah pemecatan sepihak yang dilakukan Tan. Membuat para kolega yang memiliki saham di perusahaan tersebut, mengalami kericuhan. Terlebih lagi Tan yang tak kunjung datang, membuat Wang tak tahu harus menyembunyikan muka, di mana lagi.

Sebuah ruang mewah di sebuah resort yang sengaja disewa untuk rapat itu, menjadi saksi bagaimana terpojoknya wanita baya itu—karena kelakuan sang cucu.

“Dasar anak kurang ajar!” gerutu Wang.

Tan memang pria yang menjengkelkan, tetapi kepiawaiannya dalam mengurus perusahaan tak perlu diragukan. Namun, terkadang hal tersebut tertutupi dengan sikapnya yang arogan dan terkesan tak peduli itu, membuat para kolega khawatir akan kehilangan jabatan masing-masing, seperti apa yang telah dilakukan Tan pada Haris.

“Dia harus menikah secepatnya, jika tidak, kami akan memecatnya sebagai Presdir,” ujar salah seorang kolega.

“Ya, pria muda yang terlalu arogan dan sembarangan mengambil keputusan itu, harus segera dinikahkan. Agar dia paham cara untuk mengurus keluarga!” seru lainnya.

“Lihatlah setelah berbuat salah, dia tidak berani datang seperti sebelum-sebelumnya!” timpal yang lain.

Wang yang mendengar semua itu, merasakan penat. Dia jengah terhadap sikap sang cucu yang begitu seenaknya. Padahal, sudah berkali-kali dia ingatkan agar tak mangkir dari rapat kolega tersebut.

Tepat saat Wang mengangkat wajah dan akan berucap sepatah kata, untuk menenangkan para kolega, Tan datang dengan tawa khasnya.

“Hahaha hahaha hahaha,”

Semua orang tercengang, tak menyangka Tan akan hadir. Berbeda dengan Wang, senyum semringah tersungging dari bibirnya yang sudah mulai keriput.

Tan mengedarkan pandangan, menatap satu persatu kolega yang duduk mengitari meja besar berbentuk oval itu. Tan mengembuskan napas perlahan. Dia memberikan salam dan sikap hormat kepada koleganya. Lantas, dia duduk di kursi yang telah disediakan.

“Aku akan menikah!” ucap Tan.

Sontak perkataan itu membuat semuanya terkejut, tidak terkecuali Wang.

“Tahun ini!” tegas Tan.

Wang menatap Tan lekat-lekat seolah tidak percaya dan khawatir, jika itu hanya merupakan gimik yang Tan lakukan. Akan tetapi, Tan terlihat sangat serius akan hal itu.

Semua kolega sekaligus penanam saham tersebut tak mampu lagi berkata apa pun, tak ada lagi alasan untuk mereka bergunjing dan memecat Tan. Sungguh itu membuat mereka merasa jengkel. Urusan orang kaya mang rumit dan berbelit. Padahal, sudah jelas Tan mampu dan memang berhak. Namun, hanya karena ketegasan yang dimiliki, tak menutup kemungkinan dirinya akan didepak.

Setelah mengucapkan dua kalimat yang dirasa memang merupakan solusi tepat, Tan berpamitan kembali pada koleganya. Dia beringsut dari duduk, perlahan dia menepuk pundak Wang yang sesaat sebelumnya mengalami stres.

“Jangan terlalu stres, Nyonya,” lirih Tan seraya mengerlingkan mata kiri.

Wang merutuk dengan suara yang nyaris tak terdengar, mendapati sikap tengil sang cucu yang kerap membuatnya jengkel. Tak lama kemudian Tan berjalan dengan tegap menuju pintu keluar. Tepat saat berada di mulut pintu, dia menghentikan langkah.

“Bekerja dengan baik, jika memang tak ingin dipecat seperti Haris. Ingat dispensasi hanya sampai pukul sepuluh!” seru Tan diiringi dengan tawa renyah.

Tanpa menoleh, dia melanjutkan kembali langkah tentu saja beriringan dengan sekertaris pribadinya yang memang sangat setia dan patuh itu.

Sontak ruangan itu kembali ricuh, orang-orang di dalamnya saling mengingatkan dan melirik jam masing-masing. Bergegas mereka membereskan perlengkapan masing-masing. Tindakan Tan sontak membuat mereka buyar dan tak lagi membahas pemecatannya.

Sikap Tan membuat Wang merasa lega. Akhirnya, kekhawatirannya tentang pernikahan Tan sudah teratasi.

***

“Dengan siapa kau akan menikah, wahai anak muda?” tanya Wang pada sang cucu saat keduanya tengah makan malam.

“Kekasihku,” jawab Tan dengan senyum mengembang dari bibir sensualnya.

“Sara? Dia kembali dari London?” cecar Wang antusias.

“Ya, dan aku akan melamarnya, lalu akan menikah dengannya,” jelas Tan antusias.

Mendengar itu, tentu Wang sangat bahagia. Ternyata Tan bisa diandalkan lebih dari yang dia kira.

“Kenapa kau tidak berdiskusi pada nenekmu ini? Dasar Brandal!” keluh Wang.

“Surprise,” ledek Tan kemudian tertawa renyah kembali.

Tawanya kali ini tidak terdengar mengerikan, tetapi benar-benar tawa kebahagiaan.

***

Keesokan harinya, seperti biasa Tan pergi ke kantor dengan gaya maskulin dan rapi. Mengingat esok hari kekasihnya akan pulang, pria yang berusia tiga puluh lima tahun itu pun mempersiapkan penyambutan. Bukan hanya itu, Tan berniat untuk melamar gadis yang dicintainya esok hari.

Dia sudah tak sabar lagi untuk menghalalkan gadis cantik yang berprofesi sebagai model itu. Sudah dua tahun lamanya Tan menunggu kepulangan Sara. Kali ini, dia tidak akan menyia-nyiakan hal tersebut.

Untuk memberikan kejutan pada Sara, Tan menyiapkan sebuah acara lamaran yang cukup mewah. Tan pun menjadikan itu ajang untuk membuat kompak karyawan di perusahaannya. Selain acara lamaran yang akan dilakukan di pulau Bali, Tan mengajak para staf untuk liburan di sana. Bertujuan untuk lebih saling mengenal, dan membangun kecocokan sekaligus sebagai saksi kebahagiaannya.

Akan tetapi, untuk membuatnya lebih menarik. Tan memilih random staf yang akan ikut bersamanya. Dari satu divisi, hanya dipilih satu orang sebagai perwakilan.

Sham bertugas untuk memilihkan orangnya. Akan tetapi, jika dia memilih secara langsung dapat menyebabkan kecemburuan sosial, Sham pun mempunyai ide.

“Nah, Guys, nama kalian sudah ada di sini, saya akan mengocloknya, nama yang keluar memiliki undangan langsung untuk pergi liburan akhir pekan esok,” papar Sham seraya memegang sebuah tabung kecil berisi gulungan kertas.

Semua orang bersorak kegirangan dengan begitu antusias. Terkecuali seorang gadis berkacamata besar itu. Mendengar rekannya begitu gembira, gadis itu menoleh sesaat, lalu tersenyum tipis sebagai respon. Dia sama sekali tak tertarik dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya saja.

Sham mulai mengocok dan memilih nama yang keluar, saat satu persatu nama dari tiap divisi disebutkan, para karyawan itu bersorak. Hingga kini tiba giliran untuk pemilihan satu orang dari divisi pengecekan kualitas produk.

Semua staf bagian tersebut merasa berdebar, kecuali Amy. Dia tampak tenang dan masih bersikap acuh tak acuh. Akan tetapi, sejurus kemudian, justru namanyalah yang terpilih. Dia yang akan pergi liburan dengan presdir tampan itu.

Nahas, dia yang gila kerja begitu kaget dan merasa sedih. Sungguh liburan merupakan hal yang tak pernah diimpikan. Amy mencoba menolak pada Sham. Namun, pria dingin berkacamata itu tak mengindahkan. Setiap keputusannya sudah bulat, tanpa bisa ditawar atau diubah.

“Tapi Pak Sekertaris, saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya,” sergah Amy.

“Kau kan berangkat pas hari libur, Amy!” tegas Sham.

“Saya ada pekerjaan paruh waktu, Pak,” ucap Amy dengan nada yang bergetar.

“Baiklah, kau memilih pekerjaan paruh waktumu, dan dipecat dari sini? Begitu?” kecam Sham tak mau tahu lagi.

“Apa?” Amy tercengang.

“Aku anggap itu sebagai tanda persetujuanmu, karena kau akan rugi jika kehilangan pekerjaan di sini, bukan?” desak Sham.

Amy terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mau tidak mau tida harus menurut dan melaksanakan hal itu.

“Kawan-kawan, kalian boleh ajak keluarga dan pacar kalian untuk ikut liburan, tapi jangan yang satu kantor, ya, itu pelanggaran!” seru Sham sebelum dia berbalik dan pergi dari ruangan para staf tersebut.

Lagi, sorakan gembira terlontar lagi. Namun, Amy mendapat satu hal lagi yang akan membuatnya pusing. Dia tak ada seorang pun teman selain Nanda. Keluarganya pun berada jauh di kampung. Lalu dia akan mengajak siapa?

Pikiran Amy semakin tak karuan, kenapa harus dia yang terpilih, kenapa bukan orang lain saja. Sungguh, bagi Amy rumus-rumus Kimia jauh lebih menyenangkan, dibanding dengan liburan.

“Bagaimana ini, Nan?” keluhnya pada sang sahabat yang berada tepat di sampingnya.

“Pergi aja sesekali, mumpung Presdir sedang baik,” bujuk Nanda.

“Ayok sama dirimu," ajak Amy.

“Kan, enggak bisa, coba telepon yang lain, minta mereka temani,” sahut Nanda memberi saran.

Amy mengeluarkan benda pipih dari tas, dia menggulir opsi kontak pada sebuah aplikasi chating. Nahas , tak ditemukan kontak siapa pun lagi. Selain keluarganya dan Nanda.

Melihat kegelisahan sahabatnya, Nanda hanya mampu menghela napas gusar.

“Amy ... Amy, kasihan sekali kamu,” batin Nanda.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status