Cahaya bulan mengusap atap-atap pemukiman pondok 'Asmaul Khusna'. Malam larut dalam kesiur angin yang diembuskan dari kebon bambu di samping asrama putra. Suara koor jangkrik dan serangga liar beradu di sebelah kantor pondok, di sana ada sebentang sawah yang padinya sebentar lagi kuning.
Detik itu jarum berhenti pada angka satu dini hari, Gus Farhan kebetulan belum pulang ke rumah yang biasa dipanggil para santri Ndalem, tempat tinggalnya ada di perbatasan antara asrama putri dan asrama putra, tepat sehabis gang kecil tuntas, di situlah ada rumah megah menghadap matahari terbit. Ia sedang duduk di beranda kantor, menatap langit dengan pandangan sendu dan berbagai hal. Pulang dari Mesir rasanya hambar jika ilmu yang ia raup mogok di pondok saja, ada hasrat ingin menularkan isi kepalanya ke berbagai madrasah, baik Aliyah maupun Tsanawiyah. "Belum kondor, Gus?" sapa santri yang malam itu selesai menunaikan salat tahajud. "Mata saya belum ngantuk, kamu bergegaslah ke asrama, istirahat, besok biar tidak ketinggalan jamaah subuh!" perintah Gus Farhan. Santri itu patuh. Gus Farhan merasa aneh dengan kehormatan yang ia sandang, selama di Kairo ia berbaur bebas tanpa aling-aling kelas, kalaupun ada orang yang diberi hormat maka merekalah orang tua, guru dan para kaum ibu. Lain kisah sepulangnya ke tanah jawa, ia mendapat gelar Gus dan sangat dijunjung harga dirinya sebab anak dari Abah Aziz, pemilik pesantren yang telah berdiri puluhan tahun. "Kenapa tidak pulang, Han?" sapa Abah, ia tidak menjumpai putranya di kamar, maka langsung datang ke kantor pondok, di situlah kebiasaan Gus Farhan nongkrong memikirkan banyak hal. "Eh Abah belum tidur?" "Kamu tidak pulang-pulang, abah pikir kemana, jadinya belum tidur." "Maaf, Bah. Tapi Farhan nyaman di sini," Abah Aziz mengambil posisi duduk paling tenang, ikut-ikutan anaknya memandang ke angkasa. "Apa yang mengganggu pikiranmu, Han?" "Farhan malu, Bah. Dipanggil Gus padahal ilmu agama masih cekak, kenapa Abah membiarkan santri di sini memanggilku dengan sebutan 'Gus'?" Pemuda yang dipanggil Gus itu merendah diri. "Karena kamu anak abah. Lagi pula sebutan 'Gus' tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu yang kau miliki, Han. Hanya karena dirimu anak Abah, jadi mendapat julukan 'Gus'. Itu sudah tradisi di pesantren Pulau Jawa," ujar Abah Aziz memberikan pengertian. "Hmm …" "Kamu masih mau sendiri saja, Han? Sebenarnya abah punya pandangan putri-putrinya Pak Kyai kenalan abah, kalau kamu sudah mau berumah tangga …," "Sebentar, Bah!" Gus Farhan menjeda kalimat, ia merasa tidak enak dengan obrolan yang berlangsung, tetapi bingung juga bagaimana menstop-nya. Beruntung sekali ada seekor kucing yang berisik di pematang sawah. Kucing itu tergelincir, maka cepat-cepat Gus Farhan beri pertolongan, mengangkat ke daratan, membiarkan istirahat di halaman kantor. Satu hal yang membuat empat mata itu saling bertatapan. Ada tote bag berwarna putih yang telah dicampuri rupa lumpur, menjadi kecoklatan dan mengusam. Benda tersebut sempat tersangkut kaki-kaki kucing. Gus Farhan mengambil tote bag itu yang ditafsir miliknya santriwati. Obrolan serius dijeda kelakuan kucing lapar. Benar saja, di dalam tote bage berbahan semi kain itu terdapat sayur pindang, juga sebuah kontak sepeda motor. Seketika ingatan Gus Farhan berkelindan pada pertemuannya dengan perempuan ketus yang belum ia ketahui namanya, perempuan yang tinggal di luar asrama pondok, sosok hawa yang datang karena menyandarkan kiriman kepada Yumna. "Pindang kok di dalam tas begituan," Abah Aziz terkekeh. "Kelakuan santri sekarang memang aneh-aneh." Kucing itu menggeliat, mengendus-endus pindang tersebut. Gus Farhan menumpahkan seluruh pindang ke permukaan paving, membiarkan dagingnya dimakan sang kucing, ia menyeret tote bag ke kamar mandi kantor, mencuci bersih dan menjemurnya digantung pada hanger. Kontak sepeda motor disimpan di etalase kantor. "Lah kirain cuma santri aja yang aneh, kamu ngapain cuci tas begituan? Ini anak abah juga aneh, di ndalem banyak tas yang lebih layak dipakai, Han." "Ada orang yang mencari tas ini, Bah." "Maksudnya mencari pindangnya?" Abah Aziz tidak melihat ada kontak sepeda motor di dalamnya. Gus Farhan hanya mengembangkan senyum sambil terus memandang tote bag tersebut yang diembus angin malam. Setidaknya ia mencuci benda itu untuk menghormati pemiliknya. Rasanya kasihan jika dikembalikan dalam keadaan kotor.***Penemuan tote bag di sawah dekat kantor pondok putra itu justru membuat Yumna berkali-kali menelan air liur dengan getir, peluh di pelipis pun kian membanjir. Ia malu bertalu-talu menghadap Gus Farhan. Pagi harinya—selepas santri nderes Al-Qur'an ba'da subuh dan kultum Abah Aziz usai, Gus Farhan meminta bantuan Musyrifah untuk memanggilkan Yumna, disuruh menghadap ke ndalem. "Nah kamu Yumna yang kemarin sore ada di depan kelas saya mengajar itu, ya?" Gus Farhan memastikan sebelum memberi kabar. "Nggeh, Gus. Saya Yumna. Bagaimana, Gus?" Yumna bertanya malu-malu, bukan karena menaruh simpati atau ketertarikan kepada Gus Farhan serupa santriwati lain, ia tentu mawas diri merasa kurang serasi jika bersanding dengan putra Abah Aziz, gurunya sendiri. Persoalannya ia malu harus diingat bersama Shofi yang kemarin sore teriak-teriak. "Itu yang datang siapa, saudaramu?" "Bukan, dia hanya tetangga yang bekerja sebagai karyawan pabrik sebelah," jawab Yumna dengan kepala menunduk. Gus Farhan mangut-mangut, mencerna pernyataan Yumna. Di dekat pondok ada pabrik roti miliknya taipan yang hijrah ke Indonesia sejak tahun sembilan puluhan. Abah Aziz dan Eyang langganan roti tersebut, kadang juga dijadikan sebagai rangsuman snack di bulan ramadan. "Dia sering mampir saat ibu saya menitipkan sesuatu," kata Yumna lebih memperjelas. Lalu Gus Farhan mengenang tote bag juga pindang yang tubuhnya koyak dimakan kucing. "Saya menemukan kontak motornya, ada di kantor, kamu bisa memberi kabar kepadanya, kan?" Yumna mengerutkan kening, memberi kabar? Bagaimana caranya? Salah satu aturan pondok yang wajib dipatuhi yakni, semua santri dilarang menggunakan gawai jika bukan hari libur di rumah. "Tenang, pakai ponsel saya. Katakan kontak motornya sudah ketemu, disuruh ambil di kantor pondok putra!" perintah Gus Farhan lagi. Ia mengembangkan senyum memperhatikan ubun Yumna, karena gadis itu tidak menatapnya maka ia berani menghadap kepada lawan bicara. "Nggeh, Gus." Gus Farhan meletakkan ponsel di atas meja, memberi isyarat supaya diambil oleh Yumna. Santriwati itu bergegas menggayuh ponsel tersebut. Tangannya bergetar, tubuh terasa panas dingin. Meski ruang ndalem ber-AC dan ia tidak sendirian di tempat itu, ada Musyrifah yang sedang duduk di sudut ruang membaca kitab kuning, tetapi ia tetap canggung dan disergap malu oleh aura asing. Yumna buru-buru mencari akun I*******m Shofi, mengirim DM agar segera ke pondok. Yumna hapal betul bahwa tetangga yang juga pernah menjadi rekan akrab di kampung itu gemar berselancar di dunia maya, utamanya I*, sering menyorot agenda yang dianggap penting, membuat vidio-vidio perjalanan, atau foto tidak jelas yang dianggap keren. Detik itu Yumna sangat beruntung sebab Shofi yang familiar dengan sapaan Fi sedang online."Jadi tas temenmu itu diseret kucing karena ada pindang di dalamnya, emm sayur pindangnya kiriman dari ibumu, bukan?" Seketika Yumna menggelegak air liurnya lebih banyak. Tatapannya hampa, ia ingin sesegera mungkin kembali ke asrama putri. Malunya sudah tidak ketulungan.Bagi Shofi waktu adalah uang, setiap detiknya begitu berharga. Jika sampai terlambat masuk kerja, terlambat satu detik saja, reward yang diperjuangkan selama satu bulan melayang. Karena kontak motornya belum ketemu, maka ia bangun lebih pagi, mandi lebih awal demi bergegas men-stop angkutan umum. Berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari pasar ia lalui, menghirup aneka ragam parfum bercampur dengan keringat juga ia alami. Intinya hari itu dia sudah berusaha supaya tidak datang terlambat ke pabrik, sayang takdir tidak memihak, ia telat satu detik karena mesin finger tidak langsung membaca rekaman sidik jarinya. "Haa … awas ya, Yum! Aku bikin perhitungan denganmu!" jerit Shofi setelah absennya kelar. Ia telat satu detik, hanya satu detik. Perjalanan menuju aula packing dipenuhi gedumelan ringan. Sangat kesal, apalagi itu akhir bulan. Ia telah melampaui hari sebelumnya dengan tertib dan tidak terlambat dengan sepeda motor. Ini gegara angkutan umum berhenti di beberapa titik, membuatnya berka
"Kenapa kamu mengajakku ke tempat ini, Nggi?" tanya Shofi yang masih bingung. Mereka berhenti di sebuah rentourant dan bar untuk kaum-kaum penongkrong dan peminum. Bagi Anggi itu biasa, penampilannya dengan rambut pirang terurai, kaos seatas pantat dan celana jins, tidak begitu kontras, tetapi nasib Shofi? Ia memakai jilbab, pakaiannya menutup aurat. Sesuatu yang sangat mencolok baginya, ia tidak pantas di tempat itu meski di dalam ada beberapa juga kaum perempuan yang sedang ngobrol, minum dan mereka memakai jilbab. "Aku ingin bertemu dengan temanku, dia janjinya di sini," "Apa tidak ada tempat lain? Buat janji kok di tempat dugem." "Ayo masuk!" Shofi melotot. Diajak parkir di halaman tempat itu saja ia kurang berkenan, kok diajak masuk?Sayangnya Anggi tidak peduli jika tetiba Shofi pulang, ia membawa Shofi karena dipikir perempuan itu akan mau. "Nggi!" teriak Shofi. "Tunggu!" Shofi juga tidak mau menunggu di luar serupa orang hilang. Barangkali itu menjadi pengalaman untuk
Wanita setengah tua itu berkali-kali memandang layar jendela, mengharap Shofi pulang menggiring langkahnya yang senantiasa terburu-buru. Sudah tiga hari semenjak dirinya menyuruh Shofi mampir ke pondok, anak perawannya tersebut tidak kunjung pulang. Sosok yang kerap dipanggil Bunda oleh Shofi itu mulai dikerubungi perasaan khawatir. Tidak seperti biasanya Shofi menginap di pabrik tanpa ijin. Memang pabrik roti yang dikerjai oleh Shofi juga menyediakan mess bagi karyawan, tetapi Shofi memilih datang dan pergi. Lebih dari itu rasanya mustahil jikalau Shofi menginap di pondok Yumna mencari ilmu, kecuali ada hal-hal urgent. Bunda mulai memastikan. Terdorong kontak Shofi yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ia nekat datang ke tempat kerja Shofi. Sayangnya kabar yang digiring oleh buruh pabrik roti justru membuat suasana batinnya bertambah kacau. “Shofi sudah dua hari tidak berangkat kerja, bahkan tanpa keterangan, kami kira dia sakit!” tutur seorang rekan kerja hari itu. “Dia belum pulan
Konon alasannya sederhana, demi menghargai dan menghormati perasaan seorang ibu, maka Gus Farhan mulai mencampuri urusan orang lain yang bukan mahram-nya. Ia banyak belajar perihal kehidupan manusia yang memang diperintahkan saling bahu-membahu untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Bukan hal aneh jika tiba-tiba Gus Farhan menawarkan untuk mengantar pulang Bunda Shofi. “Sebaiknya ibu saya antar pulang, tidak baik mengendarai sepeda motor dalam keadaan bimbang seperti itu, sepeda motor ibu biar diantar oleh santri saya, bagaimana?” tawar Gus Farhan. Bunda memandang wajah Gus Farhan yang seputih awan, menelusuri ketulusannya lebih dalam, menjangkau pikiran yang tidak bisa ia tebak bahkan meluruhkan segenap ketidakmampuannya kepada Gus Farhan. Untuk kali itu pemuda putra Abah Aziz tersebut merupakan sandaran sekaligus harapan. “Baiklah Farhan, mungkin itu jalan yang tepat. Pikiran saya memang sedang semrawut, ibu mana yang akan tenang jika putrinya tidak pulang?
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Tiada gemerlap bintang yang mencuri pandang dari langit. Daun-daun pepohonan menampung kepenatan lelap yang bergerilya di pelupuk mata. Suasana detik itu menjadikan beberapa sisi kehidupan anak manusia terasa hening tanpa suara. Sementara di sisi lain, tepat pada dunia gemerlap Bos Bagong, malam yang bertambah pekat adalah nikmat. Lantai dipenuhi dengan hentakan kaki dari pemuda yang meneguk khilaf sebelum senja. Bir-bir terjual banyak. Meja-meja penuh dengan segerombol penongkrong yang hendak ngobrol omong-kosong. Semakin panjang usia malam maka musik DJ bertambah nyaring dan melengking menusuk sel-sel pendengaran. Bos Bagong sedang mengisap rokok dengan cerutu andalan, ia menerawang jauh nasib gadis yang sedang disekap di dalam gudang. Emosinya sungguh meletup-letup bagaikan petasan yang baru saja diledakkan. Ia marah karena Anggi mengirim gadis yang teramat kampungan. “Bos, mustahil ada yang mau pesan tiket untuk membeli wanita itu,” u
Ruangan bertambah hening ketika santri-santri pondok Asmaul Husna saling siulkan dengkur. Detik itu Abah Aziz sedang berpergian ke luar kota ke daerah Jawa Timur. Sementara Gus Farhan berulang kali memutar rekaman CCTV demi memastikan kepergian Shofi. Asrama pondok menyisakan lelah aktivitas menimba ilmu sejak tadi pagi. Daun-daun nangka berguguran diembus angin malam. Beberapa kunang bersembunyi di balik semak-semak, seolah sedang mengintip kegiatan Gus Farhan dan Kang Zaki yang terkantuk-kantuk. "Sudahlah, Gus. Istirahat saja! Toh kita tidak mengenal Shofi, tidak ada tanggung jawab yang melekat pada diri kita, dia bukan santriwati pondok." "Kang, lihat mata pedih ibunya tidak?" Kang Zaki memberi anggukan. "Tetapi tetap saja Gus, anak itu bukan tanggung jawabmu. Setidaknya kau butuh istirahat, Gus. Ini sudah sangat larut, eman fisiknya, Gus!" "Ibu Shofi pasti sangat sedih, ia juga menaruh harapan serta kepercayaan kepada kita. Setidaknya berusaha terlebih dahulu, barangkali bisa
Sore ketika matahari bertengger di belahan bumi barat, sementara rutinitas kaum adam mulai beranjak, Gus Farhan mengangsur langkah sepeda motor menuju rumah Shofi. Kebetulan sekali hari itu jumat, tidak ada jadwal mengajar baginya. Jam sorenya kosong, karena merasa tidak punya kegiatan ia datang ke rumah Bunda Shofi. "Apa ada perkembangan, Han?" tanya Bunda sedikit bersahabat. Gus Farhan menggelengkan leher, ia belum mengetahui kabar Shofi. "Hanya saja saya tadi bertemu dengan Anggi, teman yang waktu itu diajak ke pondok oleh Shofi," terang Gus Farhan sambil mengingat hingga kejadian yang telah lampau. "Oh Anggi, iya dia teman akrab Shofi selama di pabrik. Apa yang dia katakan?" selidik Bunda tidak sabaran. "Dia bilang, sempat pergi ke alun-alun kota bersama Shofi," seru Gus Farhan. "Sayangnya tidak ada bukti keberadaan Shofi di alun-alun waktu itu," jelasnya. Gus Farhan memandang layu ke arah jendela. Gorden tipis diombang-ambing angin sore. Udara terasa lebih dingin dari biasan
Gus Farhan menunda laju kendaraan. Ia masih berada di depan pintu gerbang pabrik roti, sementara Koh Akong dan karyawan yang memberinya roti telah pergi ke tempat tanggung jawab masing-masing. Pemuda itu berambut sewarna malam, mengenakan kaos putih sehingga terlihat amat mencolok di tengah kegelapan. Ia mengikuti pergerakan Gus Farhan mulai dari rumah Bunda sampai ke pabrik roti. Menurutnya ada hal yang tidak semestinya dilakukan oleh Gus Farhan, terlebih dirinya adalah putra kyai. "... em, kenapa diam saja?" geretak pemuda itu —Agam. Adik kandung Shofi yang lama merantau keluar kota demi mencukupi kebutuhan hidupnya. "Maaf, Anda ini siapa?" "Nah, bahkan dirimu belum tahu betul latar belakang keluarga Shofi, kenapa berani bertindak senekad ini untuk mencari Shofi?" Agam memutar balik pertanyaan. "Mohon maaf, perkenalkan diri Anda terlebih dahulu agar saya bisa memberi alasan," tutur Gus Farhan dengan sabar. "Aku Agam, adik Shofi." Keterangan yang membuat Gus Farhan melenguh p