Share

Tote Bag

Penulis: Titin Widyawati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-13 12:06:00

Cahaya bulan mengusap atap-atap pemukiman pondok 'Asmaul Khusna'. Malam larut dalam kesiur angin yang diembuskan dari kebon bambu di samping asrama putra. Suara koor jangkrik dan serangga liar beradu di sebelah kantor pondok, di sana ada sebentang sawah yang padinya sebentar lagi kuning.

Detik itu jarum berhenti pada angka satu dini hari, Gus Farhan kebetulan belum pulang ke rumah yang biasa dipanggil para santri Ndalem, tempat tinggalnya ada di perbatasan antara asrama putri dan asrama putra, tepat sehabis gang kecil tuntas, di situlah ada rumah megah menghadap matahari terbit. 

Ia sedang duduk di beranda kantor, menatap langit dengan pandangan sendu dan berbagai hal. Pulang dari Mesir rasanya hambar jika ilmu yang ia raup mogok di pondok saja, ada hasrat ingin menularkan isi kepalanya ke berbagai madrasah, baik Aliyah maupun Tsanawiyah. 

"Belum kondor, Gus?" sapa santri yang malam itu selesai menunaikan salat tahajud. 

"Mata saya belum ngantuk, kamu bergegaslah ke asrama, istirahat, besok biar tidak ketinggalan jamaah subuh!" perintah Gus Farhan. 

Santri itu patuh. 

Gus Farhan merasa aneh dengan kehormatan yang ia sandang, selama di Kairo ia berbaur bebas tanpa aling-aling kelas, kalaupun ada orang yang diberi hormat maka merekalah orang tua, guru dan para kaum ibu. Lain kisah sepulangnya ke tanah jawa, ia mendapat gelar Gus dan sangat dijunjung harga dirinya sebab anak dari Abah Aziz, pemilik pesantren yang telah berdiri puluhan tahun. 

"Kenapa tidak pulang, Han?" sapa Abah, ia tidak menjumpai putranya di kamar, maka langsung datang ke kantor pondok, di situlah kebiasaan Gus Farhan nongkrong memikirkan banyak hal. 

"Eh Abah belum tidur?" 

"Kamu tidak pulang-pulang, abah pikir kemana, jadinya belum tidur." 

"Maaf, Bah. Tapi Farhan nyaman di sini," 

Abah Aziz mengambil posisi duduk paling tenang, ikut-ikutan anaknya memandang ke angkasa. "Apa yang mengganggu pikiranmu, Han?" 

"Farhan malu, Bah. Dipanggil Gus padahal ilmu agama masih cekak, kenapa Abah membiarkan santri di sini memanggilku dengan sebutan 'Gus'?" Pemuda yang dipanggil Gus itu merendah diri. 

"Karena kamu anak abah. Lagi pula sebutan 'Gus' tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu yang kau miliki, Han. Hanya karena dirimu anak Abah, jadi mendapat julukan 'Gus'. Itu sudah tradisi di pesantren Pulau Jawa," ujar Abah Aziz memberikan pengertian. 

"Hmm …" 

"Kamu masih mau sendiri saja, Han? Sebenarnya abah punya pandangan putri-putrinya Pak Kyai kenalan abah, kalau kamu sudah mau berumah tangga …," 

"Sebentar, Bah!" Gus Farhan menjeda kalimat, ia merasa tidak enak dengan obrolan yang berlangsung, tetapi bingung juga bagaimana menstop-nya. Beruntung sekali ada seekor kucing yang berisik di pematang sawah. Kucing itu tergelincir, maka cepat-cepat Gus Farhan beri pertolongan, mengangkat ke daratan, membiarkan istirahat di halaman kantor. 

Satu hal yang membuat empat mata itu saling bertatapan. Ada tote bag berwarna putih yang telah dicampuri rupa lumpur, menjadi kecoklatan dan mengusam. Benda tersebut sempat tersangkut kaki-kaki kucing. Gus Farhan mengambil tote bag itu yang ditafsir miliknya santriwati. 

Obrolan serius dijeda kelakuan kucing lapar. Benar saja, di dalam tote bage berbahan semi kain itu terdapat sayur pindang, juga sebuah kontak sepeda motor. Seketika ingatan Gus Farhan berkelindan pada pertemuannya dengan perempuan ketus yang belum ia ketahui namanya,   perempuan yang tinggal di luar asrama pondok, sosok hawa yang datang karena menyandarkan kiriman kepada Yumna. 

"Pindang kok di dalam tas begituan," Abah Aziz terkekeh. "Kelakuan santri sekarang memang aneh-aneh." 

Kucing itu menggeliat, mengendus-endus pindang tersebut. Gus Farhan menumpahkan seluruh pindang ke permukaan paving, membiarkan dagingnya dimakan sang kucing, ia menyeret tote bag ke kamar mandi kantor, mencuci bersih dan menjemurnya digantung pada hanger. Kontak sepeda motor disimpan di etalase kantor. 

"Lah kirain cuma santri aja yang aneh, kamu ngapain cuci tas begituan? Ini anak abah juga aneh, di ndalem banyak tas yang lebih layak dipakai, Han." 

"Ada orang yang mencari tas ini, Bah." 

"Maksudnya mencari pindangnya?" 

Abah Aziz tidak melihat ada kontak sepeda motor di dalamnya. Gus Farhan hanya mengembangkan senyum sambil terus memandang tote bag tersebut yang diembus angin malam. Setidaknya ia mencuci benda itu untuk menghormati pemiliknya. Rasanya kasihan jika dikembalikan dalam keadaan kotor.

***

Penemuan tote bag di sawah dekat kantor pondok putra itu justru membuat  Yumna berkali-kali menelan air liur dengan getir, peluh di pelipis pun kian membanjir. Ia malu bertalu-talu menghadap Gus Farhan. 

Pagi harinya—selepas santri nderes Al-Qur'an ba'da subuh dan kultum Abah Aziz usai, Gus Farhan meminta bantuan Musyrifah untuk memanggilkan Yumna, disuruh menghadap ke ndalem. 

"Nah kamu Yumna yang kemarin sore ada di depan kelas saya mengajar itu, ya?" Gus Farhan memastikan sebelum memberi kabar. 

"Nggeh, Gus. Saya Yumna. Bagaimana, Gus?" 

Yumna bertanya malu-malu, bukan karena menaruh simpati atau ketertarikan kepada Gus Farhan serupa santriwati lain, ia tentu mawas diri merasa kurang serasi jika bersanding dengan putra Abah Aziz, gurunya sendiri. Persoalannya ia malu harus diingat bersama Shofi yang kemarin sore teriak-teriak. 

"Itu yang datang siapa, saudaramu?" 

"Bukan, dia hanya tetangga yang bekerja sebagai karyawan pabrik sebelah," jawab Yumna dengan kepala menunduk. 

Gus Farhan mangut-mangut, mencerna pernyataan Yumna. Di dekat pondok ada pabrik roti miliknya taipan yang hijrah ke Indonesia sejak tahun sembilan puluhan. Abah Aziz dan Eyang langganan roti tersebut, kadang juga dijadikan sebagai rangsuman snack di bulan ramadan. 

"Dia sering mampir saat ibu saya menitipkan sesuatu," kata Yumna lebih memperjelas. 

Lalu Gus Farhan mengenang tote bag juga pindang yang tubuhnya koyak dimakan kucing. 

"Saya menemukan kontak motornya, ada di kantor, kamu bisa memberi kabar kepadanya, kan?" 

Yumna mengerutkan kening, memberi kabar? Bagaimana caranya? Salah satu aturan pondok yang wajib dipatuhi yakni, semua santri dilarang menggunakan gawai jika bukan hari libur di rumah. 

"Tenang, pakai ponsel saya. Katakan kontak motornya sudah ketemu, disuruh ambil di kantor pondok putra!" perintah Gus Farhan lagi. Ia mengembangkan senyum memperhatikan ubun Yumna, karena gadis itu tidak menatapnya maka ia berani menghadap kepada lawan bicara. 

"Nggeh, Gus." 

Gus Farhan meletakkan ponsel di atas meja, memberi isyarat supaya diambil oleh Yumna. Santriwati itu bergegas menggayuh ponsel tersebut. Tangannya bergetar, tubuh terasa panas dingin. Meski ruang ndalem ber-AC dan ia tidak sendirian di tempat itu, ada Musyrifah yang sedang duduk di sudut ruang membaca kitab kuning, tetapi ia tetap canggung dan disergap malu oleh aura asing. 

Yumna buru-buru mencari akun I*******m Shofi, mengirim DM agar segera ke pondok. Yumna hapal betul bahwa tetangga yang juga pernah menjadi rekan akrab di kampung itu gemar berselancar di dunia maya, utamanya I*, sering menyorot agenda yang dianggap penting, membuat vidio-vidio perjalanan, atau foto tidak jelas yang dianggap keren. Detik itu Yumna sangat beruntung sebab Shofi yang familiar dengan sapaan Fi sedang online.

"Jadi tas temenmu itu diseret kucing karena ada pindang di dalamnya, emm sayur pindangnya kiriman dari ibumu, bukan?" 

Seketika Yumna menggelegak air liurnya lebih banyak. Tatapannya hampa, ia ingin sesegera mungkin kembali ke asrama putri. Malunya sudah tidak ketulungan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nikah Yuk, Gus!   Extra Chapter

    Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki

  • Nikah Yuk, Gus!   Di Suatu Pagi

    Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel

  • Nikah Yuk, Gus!   Ambil Keputusan

    Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase

  • Nikah Yuk, Gus!   Tertarik

    Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe

  • Nikah Yuk, Gus!   Suara Netizen

    Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit

  • Nikah Yuk, Gus!   Penilaian

    "Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status