Share

Mesin

last update Last Updated: 2023-04-13 12:07:52

Bagi Shofi waktu adalah uang, setiap detiknya begitu berharga. Jika sampai terlambat masuk kerja, terlambat satu detik saja, reward yang diperjuangkan selama satu bulan melayang. Karena kontak motornya belum ketemu, maka ia bangun lebih pagi, mandi lebih awal demi bergegas men-stop angkutan umum. Berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari pasar ia lalui, menghirup aneka ragam parfum bercampur dengan keringat juga ia alami. Intinya hari itu dia sudah berusaha supaya tidak datang terlambat ke pabrik, sayang takdir tidak memihak, ia telat satu detik karena mesin finger tidak langsung membaca rekaman sidik jarinya.

"Haa … awas ya, Yum! Aku bikin perhitungan denganmu!" jerit Shofi setelah absennya kelar. Ia telat satu detik, hanya satu detik.

Perjalanan menuju aula packing dipenuhi gedumelan ringan. Sangat kesal, apalagi itu akhir bulan. Ia telah melampaui hari sebelumnya dengan tertib dan tidak terlambat dengan sepeda motor. Ini gegara angkutan umum berhenti di beberapa titik, membuatnya berkali-kali harus menunggu rodanya berputar. Padahal sebelumnya ia selalu datang sepuluh menit lebih awal.

"Hai, Fi! Tumben datang agak siang, nggak biasanya tuh, kebanyakan nonton drakor, ya?" ledek Anggi, rekan kerja yang sudah memakai kaos tangan, penutup kepala sebab ia tidak memakai jilbab, juga masker dan celemek.

Shofi mengalungkan celemek, duduk di pinggiran mesin yang terus berjalan mengantar roti-roti matang. Ia dan Anggi mendapat tugas packing, memasukkan roti ke dalam bungkus plastik. Begitulah pekerjaan Shofi terus–menerus selama setahun lebih, tidak pernah berubah.

Shofi mulai mengambil roti.

"Kalau memang ng-drakor itu otakku untung, bisa healing pikiran semalaman tuh, soalnya semalam aku terjebak di pondok gegara kontak motorku ilang!"

"Hahaha. Motor tua begitu siapa yang minat? Kamu lupa kali naruh kontaknya,"

"Enggak lupa … perasaan aku kantongi,"

"Kantongi di mana?"

"Di saku celana!"

"Nah jatuh di kompleks sana, sudah dicari belum?"

"Anggi, buat apa aku terjebak di pondok kalau bukan untuk mencari kontaknya?" Shofi ketus dan agak sewot. Ia memberi pelototan kepada Anggi, justru dibalas kekehan ringan.

"Wah cuci mata dong!"

"Cuci mata gundulmu! Yang ada aku digigitin nyamuk, pondok sebelah kan dekat sawah, belum lagi ada kebun bambu yang lebat, nyamuk berkeliaran mencari mangsa empuk!"

"Jadi sepeda motormu masih di pondok?"

Shofi memberi jawaban dengan anggukan.

Akhirnya mereka fokus pada kerjaan, memasukkan roti demi roti ke dalam plastik. Ada pun karyawan yang lain, bekerja menjadi perobek roti, memberikan selai berbagai ras. Ada yang tukang membuat selai, tugasnya mengoperatori mesin pencampur adonan krim, gula dan susu. Pekerjaan berat membuat roti, mencampur adonan raksasa dikerjakan oleh kaum adam, mereka akan meletakkan adonan yang sudah dibentuk rapi ke loyang kemudian memasukkan ke dalam oven raksasa bertegangan tinggi.

Pekerjaan mereka tidak pernah berubah, serupa mesin yang tenaganya dituntut konstan dan stabil.

"Sore nanti ada acara nggak?" tanya Anggi kemudian.

"Sepertinya senggang, kenapa?"

"Temani aku mampir ke suatu tempat."

Entah tempat apa yang disebutkan, tetapi sebelum mengantar Anggi, Shofi harus mampir ke pondok terlebih dahulu untuk mengambil kontak sekaligus sepeda motornya. Sewaktu jam istirahat karyawan ia membuka ponsel, ada pesan masuk di akun I*-nya, dari @Farhan maksudnya Gus Farhan.

'Fi, ini Yumna, kontak motormu sudah ditemukan sama Gus Farhan, ada di kantor pondok putra, segera diambil ya, motor bututmu mengganggu pemandangan!'

Anggi menunggu di luar gapura, ia enggan diajak masuk karena malu tidak memakai jilbab. Sementara Shofi memang selalu menutup rambut ke manapun ia pergi karena Bunda mewajibkannya. Itu merupakan syarat mutlak Shofi jika tidak mau tinggal di pesantren.

Shofi langsung menuju kantor yang dimaksudkan, ia tidak mengucap salam, hanya ungkap permisi di ambang pintu. Ada santri dewasa yang sedang menjaga kantor, mencatat-catat sesuatu di atas kertas. Santri itu membenarkan letak pecis yang miring kemudian mempersilakan Shofi masuk dan duduk.

"Kepripun Mbak? Ada yang bisa dibantu?" tanya santri tersebut ramah dan sopan.

"Saya mau ketemu Farhan, tolong panggilkan!"

"Farhan?" Santri itu berkerut kening, kemudian menelusuri penampilan Shofi dari ujung kaki sampai kepala. Dia bukan golongan santriwati yang mondok di asrama belakang, lalu akalnya menafsirkan bahwa sosok perempuan muda yang ada di depannya itu adalah wali santri yang ingin menjenguk santri bernama Farhan.

Ia keluar dari kantor, mengutus salah santri yang sedang asyik bermain bola di halaman masjid. Santri itu disuruh memanggil Farhan.

"Ada apa, Kang? Katanya memanggil saya,"

"Ada orang yang hendak bertemu denganmu, duduklah!" jawab santri yang dipanggil 'Kang' itu, tepatnya Kang Zaki.

Farhan—santri yang masih terbilang kecil dengan pecis miring dan sarung terlipat tidak rapi itu melangkah masuk dengan ragu-ragu. Pasalnya jarang ada keluarga yang menemuinya di hari efektif, biasanya pembesuk santri akan datang di hari minggu atau sabtu, dan memang hanya di waktu-waktu itulah keluarga boleh menjenguk.

"Silakan Mbak, Farhan sudah ada di sini, saya tinggal ke belakang sebentar."

Shofi menatap lekat sosok Farhan yang duduk di seberang kursinya.

"Hei, bukan bocah ingusan ini!"

"Astagfirullahal'adzim," Kang Zaki mengucapkan istighfar. Ia tidak yakin jika yang dimaksud perempuan ketus itu adalah Gus Farhan. Berani sekali memanggil putra kyai langsung nama tanpa gelar, 'Gus.'

"Saya mencari Farhan, guru ngaji yang kemarin ngajar di kelas itu!" Shofi menunjuk keluar, tepat pada sebuah gedung yang disebut sebagai kelas.

Hari itu pintunya tertutup karena memang belum waktunya mengaji, khusus hari jumat diniyah libur, maka kelas itu akan menutup sampai malam. Para santri sedang menghabiskan waktu senggang sebelum asar. Ada yang bermain bola, main bulu tangkis, ada juga yang duduk-duduk tongkrong menciptakan obrolan renyah sambil menatap langit dan hamparan sawah.

"Maksudnya Gus Farhan, Mbak?"

"Iya!"

"Ya Allah Gusti, Mbak. Beliau merupakan putra ndalem, nggak sopan kalau langsung memanggilnya begitu," Kang Zaki meluruskan.

"Tidak apa-apa, Kang. Gus atau tidak, saya tetap Farhan, hamba Allah." Suara Gus Farhan melengking nyaring dari luar.

Ia baru saja selesai menemani santri olahraga, celana training panjang menggantikan sarungnya, ia juga tidak memakai kemeja putih maupun baju koko, melainkan kaos yang menyerap keringat. Bulir-bulir peluh terpeciki cahaya matahari sore. Ada satu fakta yang membuat dada Shofi bergemuruh detik itu, Gus Farhan sangat tampan.

Farhan yang bertitle santri buru-buru pamit karena merasa canggung. Kang Zaki mengiyakan.

"Mana kontak saya?" Shofi langsung to the poin.

"Astagfirullah, Mbak. Bicaranya yang sopan, nggak baik seorang perempuan bicara kasar apalagi dengan seorang putra kya…."

"Sudah, Kang. Tidak apa-apa, Kang Zaki kembali mengerjakan amanah pondok saja, mbak ini hanya mau mengambil kontak sepeda motor."

"Masya Allah, terima kasih, Gus. Saya permisi." Kang Zaki undur diri, melangkah pelan menuju bilik sebelah yang tersekat dinding kaca.

Shofi memperhatikan wajah Gus Farhan sekali lagi, masih sama seperti kemarin, meneduhkan. Ada gelenyar aneh yang diam-diam singgah di hatinya. Tetiba perihal kontak motor lenyap dalam benak, hati serta pikiran merajuk hendak mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.

Gus Farhan melangkah menuju etalase kantor yang berisi berbagai macam kitab-kitab, di sanalah kemarin malam ia menyimpan kontak motor Shofi.

"Ini kontaknya, Mbak." Gus Farhan mengulurkan tangan demi memberikan obyek yang membuat santri putra gempar.

Tetapi … hal di luar dugaan itu terjadi.

"Saya Shofi, karyawan pabrik roti sebelah, kamu bisa menemui saya selepas kerja, atau sepuluh menit sebelum saya scan finger," ujar Shofi tanpa pikir panjang. Keketusannya mendadak lenyap. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat. "Saya bertugas packing roti, sudah lebih dari setahun, mungkin bagi kamu itu usia ranum, tetapi percayalah saya lebih setia dari mesin."

Gus Farhan tersenyum, ia bukannya tidak ingin membalas jabatan tangan Shofi, tetapi hanya menjaga diri dari hal-hal yang belum dikehendaki. Gus Farhan mengangkat kedua tangan di depan dada kemudian menangkupkannya lekat-lekat serupa kuncup bunga.

"Maaf, saya Farhan dan ini kontak sepeda motormu." Gus Farhan meletakkan benda yang dimaksud ke atas meja.

"Ya Allah, kau membuat diriku seperti najis." Shofi salah paham. Ia bergegas meraih kunci kemudian keluar menaiki sepeda motornya yang sudah semalaman parkir di depan kantor pondok putra.

"Maaf saya tidak bermaksud …,"

Ucapan Gus Farhan tidak selesai, sosok yang diajak bicara telah hilang dari pandangan. Keluar dari gapura pondok. Gus Farhan termenung, ia merasa telah melakukan tindakan benar, justru demi melindungi kesucian Shofi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikah Yuk, Gus!   Extra Chapter

    Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki

  • Nikah Yuk, Gus!   Di Suatu Pagi

    Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel

  • Nikah Yuk, Gus!   Ambil Keputusan

    Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase

  • Nikah Yuk, Gus!   Tertarik

    Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe

  • Nikah Yuk, Gus!   Suara Netizen

    Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit

  • Nikah Yuk, Gus!   Penilaian

    "Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status