Lamaran untuk Dinda
Hari Minggu adalah hari yang paling Dinda suka. Selain tidak repot bangun pagi, Dinda juga lebih santai karena tidak harus buru-buru bersiap untuk pergi sekolah. Seperti pagi ini, Pak Cahyo sedang panen bawang. Biasanya kalau saat panen ini, Dinda dan Uli sangat bersemangat membantu Bapak dan Mak mereka.
Siapa yang tidak akan bersemangat kalau nanti setelah menjual hasil panen, kedua nya akan mendapatkan bonus tambahan uang jajan sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu meringankan pekerjaan Bapak dan Mak?
“Kakak capek, Dek. Kakak istirahat dulu ya?” Uli berpindah dan duduk menyandar di tiang teras rumah. Uli sedang hamil lima bulan namun perutnya sangat besar seperti hamil delapan bulan. Kata dokter, kemungkinan anak Uli kembar.
“Ya udah, kakak masuk kamar saja dan berbaring di ranjang,” ujar Dinda, kedua tangannya masih sibuk mengikat daun bawang.
“Biar Dinda yang lanjutkan semuanya,” lanjut gadis itu lagi.
“Tapi nanti uang jajan nya di bagi dua ya, Dek?” pinta Uli.
“Itu mah enak di Kak Uli ajaaa… yang kerja Dinda… uang jajan nya juga untuk Dinda dong….” Dinda tidak terima.
“Sesekali kasih Kakak napa?” Uli masih belum beranjak dari duduknya, Ibu yang sedang hamil muda itu masih menyandar di tiang teras.
“Tunggu Kak Uli lahiran dulu, baru Dinda kasih uang jajan. Tapi untuk anaknya Kakak, bukan untuk Maknya,” cetus Uli.
“Ish, jangan gitu lah Dek, masa anaknya aja yang dapat,” bujuk Uli.
“Sudah untung di kasih, Kak. lah Dinda… gak ada yang kasih jajan selain Mak dan Bapak.”
“Abang mau kok kasih Dek Dinda jajan.” Rendra yang sudah ada di sana langsung ikut nimbrung di percakapan Uli dan Dinda.
“Tapi Dinda gak mau terima uang jajan dari Abang,” cemberut Dinda.
“Kenapa Dek? Karena kita belum halal, ya? Makanya… hayuk lah nikah, Adek mau jajan berapa pun akan Abang berikan.” Rendra mendekat dan duduk antara Dinda dan Uli.
“Siapa sih yang mau nikah sama Abang?” Dinda semakin cemberut. Nih orang datang-datang langsung membuat mood Dinda memburuk untuk mengumpulkan beberapa batang bawang dan mengikat daun nya.
“Mau ya Dek, nikah sama Abang.” Rendra kembali mencoba peruntungan.
“Gak mau. Lagian Dinda gak cantik, Abang nanti rugi kalau ngajak Dinda nikah dan jadikan istri.” Kali ini Dinda sudah mulai kesal sehingga suaranya terdengar sedikit ketus.
“Gak apa-apa Dek, Abang juga gak ganteng-ganteng amat,” jawab Rendra dengan cepat.
Uli cekikikan mendengar jawaban Rendra, di tambah dia melihat raut wajah Dinda yang semakin cemberut membuat Uli tidak bisa menahan tawanya.
“Kamu kenapa, Li? Senang mendengar obrolan kami? Lucu ya?” Rendra bertanya tanpa dosa.
“Iya, lucu. Lanjutin aja ngajak nikah nya dan berdoa supaya Dinda menerima,” celutuk Uli.
“Gak akan!” Dinda langsung berdiri dan berlari kecil menuju kamarnya.
“Loh Dek, ini bawang-bawang gimana?” teriak Uli karena melihat Dinda mengamuk.
“Kerjakan aja sendiri sama Kakak dan Bang Rendra, Dinda udah gak bersemangat.” Dinda berkata sambil menutup pintu kamarnya.
“Ren… kayaknya kamu harus lebih aktif lagi deh,” ujar Uli setelah Dinda benar-benar tidak terlihat lagi dalam pandangan.
Rendra menatap pintu kamar Dinda yang sudah tertutup.
“Susah ya, Li. Tapi Dinda gak punya pacar ‘kan?”
Uli menggeleng, “Setau aku sih, gak ada.”
“Atau punya seseorang yang dia cinta?” tanya Rendra lagi.
Uli kembali menggeleng…. “Gak ada, paling dia cinta sama Mak dan Bapak aja.”
Rendra terdiam sejenak, lalu….
“Dinda… normal ‘kan Li?” Rendra bertanya lagi, kali ini dengan raut wajah ragu-ragu.
“Heh… kutu busuk! Ya jelas normal lah!” Uli tidak suka mendengar pertanyaan Rendra dan langsung membelalakkan mata pertanda tidak terima.
“Yang jelas, jika mau meraih hati Dinda mesti usaha lebih keras lagi. Jangan modal ngajak nikah doang. Nge-gombal kok murahan.” Uli melanjutkan.
“Murahan gimana? Justru langsung mengajak nikah itu yang lebih utama. Sudah jelas hubungan itu nanti mau di bawa kemana. Memang kamu mau Dinda cuma di gombalin hanya untuk pacaran aja?”
“Ini kenapa ribut-ribut? Loh… bawangnya kenapa belum selesai, Li? Dinda kemana?” Mak tiba-tiba muncul dengan membawa bawang yang baru di panen lagi dari ladang.
“Dinda mengamuk, Mak. Di godain Rendra terus,” kadu Uli.
Mak menatap horor pada Rendra tapi pria itu malah memperlihatkan deretan giginya yang putih pada Mak.
“Habis Dinda lucu, Mak,” ujarnya nyengir kuda.
*
Dua tahun kemudian.
“Lagi ngapain, Dek? Nunggu di ajak nikah?” ejek Uli karena melihat beberapa bulan terakhir ini Dinda sering melamun seorang diri.
Dinda mendelik, memancarkan kemarahan lewat tatapan mata.
Iya, beberapa bulan terakhir ini Dinda sering merindukan Rendra. Hidupnya sepi tanpa ajakan nikah Rendra. Sudah satu tahun sejak Dinda tamat SMA dan sekarang berstatus pengacara. Mak sama Bapak hanya bisa menyekolahkan Dinda sampai SMA.
Mungkin karena bosan dengan keadaan, Dinda sering memikirkan Rendra. Dulu, pria itu sering datang menggoda tapi satu tahun terakhir ini ia tidak pernah datang lagi. Dinda yang terbiasa dengan kehadirannya merasa kehilangan.
"Nyesel, ‘kan?" ejek Uli lagi.
"Gak!" ujar Dinda membela diri. Dinda gak mau ketahuan memikirkan Rendra oleh Kak Uli. Dinda takut di bully. Kakak nya itu sifatnya hampir sama dengan namanya, Uli dan bully. Gak beda jauh, ‘kan?
"Siap-siap gih, rombongan bentar lagi datang," perintah Uli kemudian.
Dengan malas Dinda bersiap. Mak bilang ada yang mau melamar Dinda malam ini.
"Kenapa gak melamar Kak Uli saja?" protes Dinda asal waktu itu. Bukannya menjawab, Mak malah memarahi dan memukul kepala Dinda.
"Jangan banyak tanya," teriak Mak dengan mata membesar. Kalau sudah begitu, Dinda pasti diam. Takut kalau mata Mak melompat keluar.
Uli cekikikan, "Mana ada orang yang mau melamar istri orang," sanggah Uli waktu itu.
“Siapa sih, Kak, yang melamar? Masa Dinda gak di kasih tahu,” sungut Dinda dengan malas.
Coba saja waktu itu Dinda menerima ajakan nikah Rendra, pasti sekarang dia tidak perlu lagi di repotkan dengan acara lamaran ini. Mana Rendra tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya,
‘Bang Rendra… tolong Dinda, Dinda akan di lamar orang, ’ jerit Dinda di dalam hati.
Benar saja, dalam hitungan menit sudah terdengar suara ribut-ribut di luar. Suaranya seperti pasar malam padahal ini hanya lamaran.
Dinda di bimbing Uli ke luar kamar. Mak sama Bapak sudah menunggu bersama rombongan. Dalam perjalanan dari kamar menuju luar, Dinda tidak mau mengangkat kepala, Dinda malu jika dia yang mau melamar melihat penampilan Dinda yang asal, sengaja Dinda berbuat demikian karena hati dan pikiran Dinda sekarang hanya untuk Rendra seorang.
Dinda duduk di tempat yang sudah disediakan, di depan Dinda duduk seorang pria yang Dinda yakini pria yang akan melamar.
"Gila, rombongannya satu RW." Dinda berkata di dalam hati. Meskipun Dinda menunduk dia bisa merasakan keramaian dalam ruangan ini. Aura ruangan terasa sangat padat dan merayap... ekh!
"Ehem... ehem...."
Deheman pria yang di depan Dinda itu membuat suasana mendadak hening, mereka yang tadi berbisik-bisik dan cekikikan segera menutup mulut mereka. Satu orangpun tidak ada yang bersuara. Dalam kesunyian, Dinda merasakan kejanggalan. Ada yang berbeda?
"Dek, nikah yuk!" Dia bersuara, Dinda mengangkat kepala.
"Bang Rendraaa...." Mata Dinda berkaca-kaca, ternyata yang melamar Rendra beserta seluruh tetangga.
Rumah Tangga SAMARA“Ehemmm…. eheeemmm….”Dinda segera menarik diri dan Rendra pura-pura tidur dengan memejamkan mata.Mak, Bapak, Uli serta Zayn dan Ziya sudah berdiri di depan pintu masuk ruang inap Rendra. Ketiganya mengulum senyum di ikuti dengan tatapan jenaka sementara Zayn dan Ziya menatap heran keduanya.“Jadi… kami ganggu nih?” Seperti biasa, kata yang di lontarkan Uli selalu ucapan menggoda.“Heeh… gak ganggu kok, Kak.” Dinda segera mengatur detak jantung supaya kembali normal, nafasnya masih seperti orang yang selesai berolah raga.“Jadi… Mak sama Bapak boleh masuk?” Gantian Mak yang menggoda.“Boleeeh….” Setengah berlari Dinda menghampiri Mak dan Bapak kemudian membawa dua orang itu masuk ke dalam, mendekati Rendra.“Bang, ada Mak dan Bapak nih. Ada Kak Uli juga.” Dinda pura-pura membangunkan Rendra. Enak sekali menjadi Rendra, setelah apa yang di perbuatnya dia bisa pura-pura tidur dan membiarkan Dinda sendirian menghadapi tatapan jenaka keluarganya.Rendra membuka mata,
Terjadi yang di Harapkan. “Santi,” panggil Bu Sukma pelan.“Ya Bu.” Santi tersenyum lebar.“Duduk Sini,” ajak Bu Sukma.“Tapi Bu, nanti si Neng itu gangguin Bang Rendra. Bagaimana kalau Bang Rendra nanti terganggu dan bangun dari tidurnya?” Santi menolak, dia kemudian berusaha berjalan mendekati Rendra.“Biarkan saja Santi, dia istri Rendra. Dia yang lebih berhak duduk di sana.”Santi menghentikan langkah, terlihat sekali kalau dia sangat terkejut dengan yang di sampaikan Bu Sukma.“Istri Bang Rendra?” tanya Santi tidak percaya.“Iya, makanya kamu duduk sini sama Ibu.” Masih dengan kelembutannya Bu Sukma berkata.Santi melangkah ragu mendekati Bu Sukma, namun tatapan matanya masih mengarah pada Dinda yang sudah duduk di samping ranjang Rendra.“Santi, Rendra sudah menikah,” ucap Bu Sukma memberi tahu.“S-sudah menikah? Santi tidak percaya, Bu,” jawab Santi dengan terbata-bata, Dinda bisa melihat kalau kedua matanya sudah basah dengan air mata.“Tapi memang seperti itu kenyataan nya.
Siapa Wanita Itu?Uli segera memeluk Dinda, “Dek… Dek… tenang dulu.”“Bang Rendra, Kak… mana bisa Dinda tenang kalau kondisi Bang Rendra parah begitu….”“Jangan sedih dulu, sebaiknya kita ke susul ke rumah sakit untuk memastikan.”Dinda mengusap air matanya, dan mulai tenang setelah Uli mengatakan untuk menyusul Rendra ke rumah sakit.“Tadi teman Bang Rendra bilang apa sama Kakak?”“Rendra katanya mau pulang trus minjam motor temannya ini supaya cepat, kalau nunggu naik bis atau travel kan lama,” tutur Uli.Mendengar itu Dinda semakin merasa bersalah karena meminta Rendra untuk kembali.“Kalau Dinda tidak minta Bang Rendra untuk kembali… pasti Bang Rendra tidak akan kecelakaan seperti ini. Semua ini salah Dinda, Kak. Dinda yang bersalah karena terlalu egois seperti yang Kakak bilang. Seharusnya Dinda sabar saja menunggu Bang Rendra pulang.” Dinda masih merengek dalam pelukan Uli. Hatinya sakit karena masih belum bisa menerima berita kecelakaan Rendra.“Biar tenang, gimana kalau kita
Dek, yang Sabar Ya!Dinda berjalan mondar mandir kayak setrikaan di teras rumahnya, sudah hampir tiga puluh menit dia menunggu kedatangan Rendra namun yang di tunggu tak juga menampakkan batang hidungnya.“Bang Rendra… jadi pulang gak sih?” gumam Dinda yang semakin galau.“Dinraaa, lagi apa?” Uli datang menyapa. Zayn dan Ziya Uli pegang di kedua tangan nya.“Kak Uli, lagi apa?” Dinda balik bertanya, menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan yang Uli lontarkan kepadanya.“Ini mau bawa main Zayn dan Ziya, mereka berdua habis nangis karena di tinggal ayah nya.”Dinda menghentikan gerakannya, kemudian dia berlari mengejar Uli.“Kak Uli, Mas Reyhan sudah pergi ya?” tanya Dinda.“Sudah, barusan. Makanya anak kembar ini pada sedih lihat ayahnya pergi,” jawab Uli.“Ayo Sayang, kita main sama Nenek aja yuk,” ajak Uli sembari membawa dua anaknya masuk ke dalam rumah.“Kak Uli, Dinda bisa bicara gak?” Dinda menyejajarkan langkah nya dengan Uli.Uli menghentikan langkah, sesaat kedua alisnya te
Adek Rindu AbangDinda terduduk lemas di pinggir ranjang, untung saja dia tadi hanya berteriak di dalam hati saja. Jika dia tidak bisa mengontrol emosi, maka sudah di pastikan saat ini sudah banyak orang yang berlarian ke kamarnya.Gadis itu mengatur nafas yang menjadi sesak, lalu dengan pelan dia memukul dadanya.“Gila! Kenapa aku sampai berfikir Bang Rendra akan meninggalkan aku hanya karena masalah sepele itu?”“Tidak mungkin! Bang Rendra selama ini sangat bucin kepada ku. tidak mungkin dia semudah itu menjadikan aku janda sehari setelah menikahi aku.”Lalu Dinda memukul pelan pipinya setelah mengucapkan kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya.Setelah merasa sedikit tenang, Dinda bangkit dan berjalan menuju meja rias. Dia berkaca dan mematut penampilan nya, diambilnya sisir untuk merapikan rambutnya yang berantakan. Setelah dia merasa cukup cantik, dia pun berjalan ke luar kamar.“Dinda istri Rendra? Sudah bangun?” sapa Mak dengan tersenyum lebar.Mak masih saja bersikap biasa
Gak Mau Jadi JandaRendra membesarkan bola mata, lewat pancaran mata itu dia berkata, “Ada apa, Dek?”Tentu saja Dinda merasa salah tingkah, niatnya tadi hanya bercanda malah terdengar sama suaminya.“Hehehe… gak ada, Bang. Adek tadi becanda doang,” jawab Dinda nyengir kuda.“Abang ke masjid dulu, nanti Abang harus mendapatkan jawaban nya.” Rendra langsung berlari ke luar karena tidak mau ketinggalan shalat subuh berjamaah yang sebentar lagi akan di mulai.Mak keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah karena air wudhu, Dinda bernafas lega sambil mengurut dada dengan kedua tangan nya.“Makanya kalau ngomong tu hati-hati, jangan asal bicara,” celutuk Mak sambil lalu.“Iya Mak… iya…. Dinda ngerti.” Giliran Dinda yang masuk kamar mandi untuk menunaikan panggilan alam nya sebelum melaksanakan panggilan Tuhan.Rendra dan Pak Cahyo duduk di kursi depan usai pulang dari Mesjid. Mak meminta Dinda untuk mengantarkan dua gelas kopi dan pisang rebus ke sana.“Mak aja yang antar,” tolak Din