Pujaan Hati
Hujan masih belum berhenti, sepertinya akan awet sampai malam. Sesuai dengan doa Rendra dari pagi, dia meminta pada Tuhan supaya menurunkan hujan tanpa henti. Karena satu alasan, supaya dia bisa menjemput sang pujaan hati.
Seringai terbit dari wajahnya, sebentar lagi jam dua. Dia harus bersiap-siap.
“Bu, Rendra izin bawa mobil lagi ya?” Laptop yang sedang di pakai sudah di tutupnya.
“Mau kemana lagi?” Bu Sukma bertanya.
“Biasa Bu, jemput calon istri.” Rendra menaik turunkan kedua alis mata.
“Iya kalau jadi istri, kalau gak…. gigit jari! Hayoo,” ujar Bu Sukma.
“Ish… Ibu kok seperti itu? Di doakan yang baik dong, Bu…. bukan doa yang jelek.” Rendra komplain dengan ucapan Sukma, dia lalu memakai jaketnya, meraih kunci mobil dan dengan semangat pergi untuk menjemput Dinda ke sekolah.
Rendra bersiul-siul kecil, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Tuhan sangat sayang kepada nya, kesempatan sudah di berikan, tinggal Rendra saja lagi yang berjuang sekuat tenaga.
Sebelum menjemput Dinda ke sekolah, Rendra ke rumah Dinda dulu meminta izin pada Mak untuk menjemput anak gadis nya.
“Halaaah, bilang aja suka, ya kan?” celutuk Uli saat Rendra menyampaikan alasan pada Mak kalau dia kasihan melihat Dinda yang kehujanan pulang sekolah.
“Itu juga, Li. Kayak gak tau aja!” sewot Rendra.
“Ya udah, buruan sana. Ntar si Dinda ketemu cowok lain yang lebih kece trus kamu di tinggal pergi? Mau?”
“Gak akan, Li. Dinda itu hanya punya Rendra seorang. Oke Mak… Dinda hanya untuk Rendra ‘kan, Mak?”
“Iyaaa… iyaaaa….” Mak menjawab sambil geleng kepala.
“Restu sudah di dapat dari Mak. Rendra permisi dulu. Dadah Maaak….. Dadah Uliiiiiii….” Rendra melambaikan tangan nya dan memberikan sun jauh untuk Mak dan Uli.
Sepeninggalnya Rendra.
"Mak kayaknya setuju aja si Rendra deketin Dinda," tanya Uli.
"Ya gimana lagi, Rendra anaknya baik, keluarganya juga baik," jawab Mak sambil menghela nafas.
"Apa Mak gak ingin Dinda melanjutkan kuliah? Aku juga gak kuliah...." Uli berkata pelan.
Wajah Mak mendadak pias, Uli merasa menyesal telah menanyakan hal tersebut.
"Gak ada biaya, Li... Mak dan Bapak hanya petani bawang. Kamu kan tahu berapa penghasilan kita setiap bulan."
"Maaf Mak." Uli mendekat dan memeluk Mak.
*
Di sekolah.
"Din, bawa payung?" Shinta sahabat Dinda bertanya.
"Bawa, kamu bawa?"
Shinta menggeleng lemah.
"Tadi di antar bapak pakai jas hujan," ucapnya kemudian.
"Kita berdua aja, hujannya gak deras lagi kok," tawar Dinda.
"Kamu gak keberatan?"
"Ya gak lah, lagian kalau kamu tunggu hujan berenti kayaknya bakalan lama. Kita langsung pulang aja."
Dinda mendekati Shinta dengan payung yang sudah terkembang, rumah Dinda dan shinta satu arah dan tidak begitu jauh, mereka sering pergi dan pulang sekolah bersama.
Tiiiin... tiiiin....
Suara klakson mobil menyapa Dinda dan Shinta.
"Dek, ayo naik. Abang dah jemput nih," teriak Rendra dari dalam mobil.
"Gak usah Bang, gak enak sama Shinta," tolak Dinda.
"Shinta bisa di ajak sekalian kok, Dek."
"Gak apa-apa, gak usah aja. Kami bisa jalan kaki. Lagian hujannya gak deras lagi kok," tolak Dinda.
"Din, kita naik aja. Lumayan irit capek," bisik Shinta.
"Gak, jalan kaki aja," balas Dinda juga dengan berbisik.
"Lumayan loh Din, kita lebih aman kalau nebeng Bang Rendra," ajak Shinta lagi.
"Kalau kamu mau naik, kamu naik aja. Aku bisa jalan kaki, sendirian juga gak apa-apa." Dinda bersikeras.
"Jangan gitu, Din. Yang di ajak kamu kok yang naik aku," cemberut Shinta.
"Gak usah, Bang. Kami jalan kaki aja." Dinda berteriak sekali lagi, menolak ajakan Rendra.
Tentu saja Rendra tidak kehilangan akal meskipun Dinda menolak ajakan nya, Rendra tetap memaksa supaya gadis pujaan hatinya itu mau menerima. Percuma saja Rendra menjemput kalau akhirnya dia pulang sia-sia.
“Dek, hujannya makin deres loh….” Rendra menjalankan mobil dengan sangat pelan, mengiringi Dinda dan Shinta yang sedang berjalan.
“Gak apa-apa, Bang. Kami ada payung.”
“Payungnya kekecilan Dek, tuh lihaaat…. Masih basah ‘kan?” tunjuk Rendra.
“Iya, Din… kita tetap basah meskipun pakai payung.” Shinta ikut-ikutan Rendra.
“Gak apa Shin, basah sedikit aja.” Dinda melirik bahu sebelah kanan nya yang kena tetesan air yang mengalir dari payung. Hujan memang tidak deras namun gerimis rapat yang jika terus berlanjut akan membuat tubuh basah juga pada akhirnya.
“Tapi kalau kita paksakan jalan kaki terus, kita akan basah beneran ini Din. Mana baju ini lagi yang akan kita pakai esok.” Shinta terlihat tidak enak hati karena menumpang di payung Dinda karena Dinda ikut basah karena menolong nya.
“Din… ya udah. Aku sendiri aja. Gak enak sama kamu yang punya payung.” Shinta lebih memilih mengalah. Dia membiarkan Dinda untuk pulang sendiri dengan payung milik nya.
“Lalu kamu?”
“Aku gak apa-apa kehujanan.”
“Tapi Shin?”
Rendra yang mendengar percakapan mereka tersenyum senang.
Pinter juga si Shinta baca situasi. Kalau jadi sama Dinda, dia orang pertama yang akan dapat TR-an nih…
“Sudah… sama Abang aja dua-dua nya. Abang jamin akan Abang antar sampai rumah dengan selamat,” bujuk Rendra dengan memanfaatkan situasi.
“Aku gak apa-apa basah Din. Suer deh.” Shinta berkata lagi.
Dinda terlihat menimbang permintaan Shinta.
“Ya udah, kita ikut Bang Rendra aja gimana?”
Shinta lalu tersenyum lebar mendengar keputusan Dinda.
“Ayo.” Sebenarnya itu yang Shinta mau. Dia ingin ikut Rendra tapi karena yang di ajak Dinda, Shinta tidak mungkin menawarkan diri.
“Ayo Dek, masuk. Karena Shinta yang duluan turun, jadi Dinda yang masuk duluan yaaa,” tutur Rendra.
Duh… si Rendra paling pintar mengambil kesempatan, dengan Dinda yang masuk duluan tentu saja duduk mereka semakin dekat. Doanya kembali di kabulkan Tuhan, Dinda ikut dan duduk paling dekat dengan Rendra.
Hati Rendra kembali berbunga-bunga.
*
“Cie… cie…. yang di antar pulang sama pujaan hati.” Uli menggoda Dinda yang baru saja turun dari mobil Rendra.
“Apaan sih Kak Uli,” protes Dinda. Gadis itu cemberut dan langsung berlari masuk ke kamarnya.
Rendra tersenyum simpul di teras rumah meskipun Dinda turun dari mobil tanpa mengucapkan terima kasih kepadanya. Pokoknya bagaimana pun sikap Dinda, Rendra akan tetap cinta.
“Rend, kamu gak apa-apain Dinda ‘kan?” selidik Uli.
“Apaan sih, Uli.” Rendra tidak terima dengan tuduhan Uli.
“Aku cuma mengingatkan aja, Dinda itu adik ku.”
“Terus?”
“Kamu gak boleh macam-macam sebelum nikahin dia,” desis Uli pura-pura garang.
“Jangan khawatir Li, Dinda itu akan terus aku jaga sampai waktunya.”
“Bagus!” Uli menepuk pelan pundak Rendra.
“Itu baru namanya calon adik ipar yang bertanggung jawab,” lanjutnya.
“Tapi Li….”
“Tapi apa?” Uli bertanya sambil mengusap perutnya.
“Dinda susah kali di dekati ya? Gak kayak kamu, langsung iya-iya aja.”
“Maksud mu apa?”
“Hehehe…. Gak ada.” Rendra nyengir kuda dan cepat berlalu dari sana. Bisa bahaya jika Uli mengamuk, Rendra tidak akan bisa menyelamatkan diri.
Rumah Tangga SAMARA“Ehemmm…. eheeemmm….”Dinda segera menarik diri dan Rendra pura-pura tidur dengan memejamkan mata.Mak, Bapak, Uli serta Zayn dan Ziya sudah berdiri di depan pintu masuk ruang inap Rendra. Ketiganya mengulum senyum di ikuti dengan tatapan jenaka sementara Zayn dan Ziya menatap heran keduanya.“Jadi… kami ganggu nih?” Seperti biasa, kata yang di lontarkan Uli selalu ucapan menggoda.“Heeh… gak ganggu kok, Kak.” Dinda segera mengatur detak jantung supaya kembali normal, nafasnya masih seperti orang yang selesai berolah raga.“Jadi… Mak sama Bapak boleh masuk?” Gantian Mak yang menggoda.“Boleeeh….” Setengah berlari Dinda menghampiri Mak dan Bapak kemudian membawa dua orang itu masuk ke dalam, mendekati Rendra.“Bang, ada Mak dan Bapak nih. Ada Kak Uli juga.” Dinda pura-pura membangunkan Rendra. Enak sekali menjadi Rendra, setelah apa yang di perbuatnya dia bisa pura-pura tidur dan membiarkan Dinda sendirian menghadapi tatapan jenaka keluarganya.Rendra membuka mata,
Terjadi yang di Harapkan. “Santi,” panggil Bu Sukma pelan.“Ya Bu.” Santi tersenyum lebar.“Duduk Sini,” ajak Bu Sukma.“Tapi Bu, nanti si Neng itu gangguin Bang Rendra. Bagaimana kalau Bang Rendra nanti terganggu dan bangun dari tidurnya?” Santi menolak, dia kemudian berusaha berjalan mendekati Rendra.“Biarkan saja Santi, dia istri Rendra. Dia yang lebih berhak duduk di sana.”Santi menghentikan langkah, terlihat sekali kalau dia sangat terkejut dengan yang di sampaikan Bu Sukma.“Istri Bang Rendra?” tanya Santi tidak percaya.“Iya, makanya kamu duduk sini sama Ibu.” Masih dengan kelembutannya Bu Sukma berkata.Santi melangkah ragu mendekati Bu Sukma, namun tatapan matanya masih mengarah pada Dinda yang sudah duduk di samping ranjang Rendra.“Santi, Rendra sudah menikah,” ucap Bu Sukma memberi tahu.“S-sudah menikah? Santi tidak percaya, Bu,” jawab Santi dengan terbata-bata, Dinda bisa melihat kalau kedua matanya sudah basah dengan air mata.“Tapi memang seperti itu kenyataan nya.
Siapa Wanita Itu?Uli segera memeluk Dinda, “Dek… Dek… tenang dulu.”“Bang Rendra, Kak… mana bisa Dinda tenang kalau kondisi Bang Rendra parah begitu….”“Jangan sedih dulu, sebaiknya kita ke susul ke rumah sakit untuk memastikan.”Dinda mengusap air matanya, dan mulai tenang setelah Uli mengatakan untuk menyusul Rendra ke rumah sakit.“Tadi teman Bang Rendra bilang apa sama Kakak?”“Rendra katanya mau pulang trus minjam motor temannya ini supaya cepat, kalau nunggu naik bis atau travel kan lama,” tutur Uli.Mendengar itu Dinda semakin merasa bersalah karena meminta Rendra untuk kembali.“Kalau Dinda tidak minta Bang Rendra untuk kembali… pasti Bang Rendra tidak akan kecelakaan seperti ini. Semua ini salah Dinda, Kak. Dinda yang bersalah karena terlalu egois seperti yang Kakak bilang. Seharusnya Dinda sabar saja menunggu Bang Rendra pulang.” Dinda masih merengek dalam pelukan Uli. Hatinya sakit karena masih belum bisa menerima berita kecelakaan Rendra.“Biar tenang, gimana kalau kita
Dek, yang Sabar Ya!Dinda berjalan mondar mandir kayak setrikaan di teras rumahnya, sudah hampir tiga puluh menit dia menunggu kedatangan Rendra namun yang di tunggu tak juga menampakkan batang hidungnya.“Bang Rendra… jadi pulang gak sih?” gumam Dinda yang semakin galau.“Dinraaa, lagi apa?” Uli datang menyapa. Zayn dan Ziya Uli pegang di kedua tangan nya.“Kak Uli, lagi apa?” Dinda balik bertanya, menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan yang Uli lontarkan kepadanya.“Ini mau bawa main Zayn dan Ziya, mereka berdua habis nangis karena di tinggal ayah nya.”Dinda menghentikan gerakannya, kemudian dia berlari mengejar Uli.“Kak Uli, Mas Reyhan sudah pergi ya?” tanya Dinda.“Sudah, barusan. Makanya anak kembar ini pada sedih lihat ayahnya pergi,” jawab Uli.“Ayo Sayang, kita main sama Nenek aja yuk,” ajak Uli sembari membawa dua anaknya masuk ke dalam rumah.“Kak Uli, Dinda bisa bicara gak?” Dinda menyejajarkan langkah nya dengan Uli.Uli menghentikan langkah, sesaat kedua alisnya te
Adek Rindu AbangDinda terduduk lemas di pinggir ranjang, untung saja dia tadi hanya berteriak di dalam hati saja. Jika dia tidak bisa mengontrol emosi, maka sudah di pastikan saat ini sudah banyak orang yang berlarian ke kamarnya.Gadis itu mengatur nafas yang menjadi sesak, lalu dengan pelan dia memukul dadanya.“Gila! Kenapa aku sampai berfikir Bang Rendra akan meninggalkan aku hanya karena masalah sepele itu?”“Tidak mungkin! Bang Rendra selama ini sangat bucin kepada ku. tidak mungkin dia semudah itu menjadikan aku janda sehari setelah menikahi aku.”Lalu Dinda memukul pelan pipinya setelah mengucapkan kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya.Setelah merasa sedikit tenang, Dinda bangkit dan berjalan menuju meja rias. Dia berkaca dan mematut penampilan nya, diambilnya sisir untuk merapikan rambutnya yang berantakan. Setelah dia merasa cukup cantik, dia pun berjalan ke luar kamar.“Dinda istri Rendra? Sudah bangun?” sapa Mak dengan tersenyum lebar.Mak masih saja bersikap biasa
Gak Mau Jadi JandaRendra membesarkan bola mata, lewat pancaran mata itu dia berkata, “Ada apa, Dek?”Tentu saja Dinda merasa salah tingkah, niatnya tadi hanya bercanda malah terdengar sama suaminya.“Hehehe… gak ada, Bang. Adek tadi becanda doang,” jawab Dinda nyengir kuda.“Abang ke masjid dulu, nanti Abang harus mendapatkan jawaban nya.” Rendra langsung berlari ke luar karena tidak mau ketinggalan shalat subuh berjamaah yang sebentar lagi akan di mulai.Mak keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah karena air wudhu, Dinda bernafas lega sambil mengurut dada dengan kedua tangan nya.“Makanya kalau ngomong tu hati-hati, jangan asal bicara,” celutuk Mak sambil lalu.“Iya Mak… iya…. Dinda ngerti.” Giliran Dinda yang masuk kamar mandi untuk menunaikan panggilan alam nya sebelum melaksanakan panggilan Tuhan.Rendra dan Pak Cahyo duduk di kursi depan usai pulang dari Mesjid. Mak meminta Dinda untuk mengantarkan dua gelas kopi dan pisang rebus ke sana.“Mak aja yang antar,” tolak Din