Share

Meminta Restu Papa Mama

Narendra dan Aura sudah menikahkan empat anaknya, jadi mereka sudah terbiasa memperlakukan besannya dengan baik.

Seperti saat ini, walau semestinya papa dari Zhafira yang menjamu calon menantu dan calon besan tapi malah Narendra dan Aura yang memfasilitasi pertemuan tersebut.

Bagi mereka tidak masalah siapa yang harus menjamu, yang terpenting adalah anaknya bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai.

Sebuah resto mewah di hotel tersebut menjadi pilihan Aura bertemu calon besan.

Herry-papanya Zhafira datang tepat waktu bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil.

Narendra dan Aura menyambut kedatangan calon besan dengan sangat ramah dan tangan terbuka.

“Saya Narendra dan ini istri saya Aura,” kata Narendra memperkenalkan diri lebih dulu.

“Saya Herry dan ini Arum istri saya lalu dua anak saya Zivanya dan Zahra.” Gantian Herry memperkenalkan diri.

Keduanya saling berjabat tangan lalu Herry beralih pada Aura dan Narendra bersalaman dengan Arum.

Dua putri Herry dan Arum tidak luput dari sapaan Narendra dan Aura.

“Kalau anak saya yang itu pasti Pak Narendra udah kenal ya karena datang bersama Bapak,” sambung Herry berkelakar.

“Ah ya, kami juga baru kenalan tadi malam dan saya langsung jatuh cinta.” Narendra membalas.

Pipi Zhafira memanas, hatinya seakan ingin berjingkrak saking bahagia.

Pernyataan Narendra itu semakin membuat Zhafira lega.

Arum-istri dari Herry sedang berusaha menunjukan keramahannya.

Wanita yang hanya terpaut umur tujuh tahun lebih tua di atas Zhafira itu tumben sekali mau memeluk Zhafira tidak lupa memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan.

“Saya Kaivan, Om ... saya yang akan menjadi suami Fira,” ujar Kaivan memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri.

Herry tersenyum lebar. “Apakabar Nak Kaivan, saya dengar dari Fira kalau Nak Kaivan adalah pria yang baik.”

“Kabar saya baik, Pa ... dan saya akan selalu memperlakukan Fira dengan baik dan lebih baik lagi,” sahut Kaivan mantap.

Semua tertawa tercetus seketika, mereka pun duduk di kursi yang telah tersedia.

Herry mengamati, jika dari gesture tubuh, pemilihan tempat pertemuan dan semua melekat yang di tubuh calon besan dan calon menantunya sudah bisa dipastikan jika mereka adalah orang kaya.

Herry merasa lega karena Zhafira tidak akan hidup susah dari segi materi di masa depan.

“Jadi ... kedatangan kami ke sini bertemu Pak Herry adalah mewakilkan anak kami yang ingin meminta restu untuk meminang Fira,” cetus Narendra setelah mereka berbasa-basi sepanjang menu makan siang appetizer dan main course, sekarang mereka sedang berada pada menu dessert.

“Baiklah, langsung saja ya ....” Herry menjeda.

“Papa memberikan restu untuk Fira dan Kaivan, Papa senang karena akhirnya ada pria yang serius ingin menikahi Fira,” sambung Herry memberikan restu.

Senyum Zhafira terkembang sama halnya dengan senyum di bibir Kaivan.

Seolah semesta mendukung, restu itu dengan mudah mereka dapatkan.

“Terimakasih, Pa ... Kai janji akan menjaga putri Papa dengan baik ... Kai akan jadikan Ratu di hati Kai.” Kaivan mengucapkan janji dengn mantap dan sorot mata penuh keyakinan.

Semua kembali tertawa tidak terkecuali Zhafira yang wajahnya sudah memerah.

Kaivan tidak berhenti membuatnya tersipu.

Roman-romannya proses pernikahan mereka akan lancar dan biduk rumah tangga mereka akan langgeng.

Diam-diam di bawah meja, Kaivan menggenggam tangan Zhafira erat memberitau Zhafira jika ia sangat bahagia setelah mendapat restu.

“Tapi maaf ya Fir, papa kamu enggak bisa membuat pesta yang meriah untuk pernikahan kamu karena sekarang uang sekolah adik-adik kamu naik trus kami juga harus bayar gaji orang kerja,” ujar Arum membuat Zhafira malu.

Wajah Zhafira seketika memerah, ia menoleh menatap sang papa yang diam saja tidak memberi bantahan seolah membenarkan ucapan istrinya.

“Enggak apa-apa, Bun ... biar semua Kaivan yang siapkan termasuk akomodasi Papa Herry dan Bunda Arum dari Surabaya,” pungkas Kaivan cepat.

“Betul itu, sama aja ‘kan ya Fir?” Aura yang merasakan perubahan ekspresi Zhafira lantas menegurnya agar Zhafira tidak kecil hati.

Zhafira mengangguk kaku disertai senyum terpaksa. “I-iya Bunda,” sahut Zhafira melirih.

Meski begitu tetap saja Zhafira kadung dirundung malu dengan ucapan terang-terangan ibu tirinya.

Ah, perempuan itu ternyata tidak berubah masih menyebalkan.

Zhafira jadi tidak banyak bicara hingga pertemuan itu selesai karena kecewa kepada papanya.

Tapi Zhafira berterimakasih kepada Herry karena tidak mempersulit restu.

“Pa, makasih ya udah dateng.” Zhafira berujar basa-basi sebelum papa beserta keluarga beliau pergi.

“Ya masa Papa enggak dateng ... sekarang kamu enggak sendiri lagi, Fir.”

Zhafira mengangguk dengan senyuman lalu mengecup punggung tangan papanya sebelum kemudian sang papa dan keluarganya meninggalkan restoran.

“Bunda ... Ayah, maafin ucapan istrinya papa tadi ya,” ucap Zhafira dengan raut wajah menyesal.

“Enggak apa-apa, jangan dipikirin ... sekarang kamu harus fokus sama pesta pernikahan kamu, pikiran kamu harus positif ya.” Aura memberi semangat.

Melihat senyum dan ekspresi juga nada suara Aura—Zhafira tau jika Aura tulus mengatakannya.

Dan pernyataan Aura itu mendapat anggukan setuju dari Narendra dan Kaivan.

Kaivan juga diam-diam memberikan usapan di punggung Zhafira, pria itu paling pandai membuat hati Zhafira tentram.

Masih ada kota lain yang harus mereka kunjungi jadi tanpa berlama-lama langsung menuju Bandara.

Kali ini mereka menggunakan privat jet milik Narendra.

Zhafira baru ingat jika keluarga suaminya kaya raya, ia jadi semakin insecure.

“Kenapa diem aja?” Kaivan mencondongkan tubuhnya ke samping untuk mengecek kondisi Zhafira lebih dekat.

Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti meter, Zhafira sampai harus melirik ke arah kedua orang tua Kaivan yang duduk di kabin lain dalam privat jet—memastikan mereka tidak melihat posisi meresahkan ini.

“Nanti Mama mau ajak suaminya ketemu kita, Fira malu sama orang tua Mas Kai ... suami Mama kaya preman, urakan.”

Zhafira mengungkapkan apa yang mengganjal di hati.

“Jangan dipikirin, ayah sama bunda udah tau ... mereka juga enggak mempermasalahkan.”

Zhafira memang pernah menceritakan tentang mama dan keluarga barunya dan informasi tersebut langsung diteruskan kepada keluarga Gunadhya.

Dan Kaivan meminta mereka semua untuk memaklumi.

FLASH BACK ON

“Pokoknya Kai minta kalian tutup mata sama keadaan keluarga Fira ... Fira bukan berasal dari keluarga kaya seperti menantu-menantu Ayah dan Bunda yang lain jadi Kai mohon sekali lagi ... terima Firanya aja, dia baik kok ... Kai jamin enggak akan malu-maluin keluarga kita.”

Kaivan setengah memelas dalam rapat keluarga terakhir.

“Bro!” kayanya kita harus ketemu sama nih cewek, soalnya sampai bisa buat si Kai bucin gini,” cetus Edward-kakek dari pihak bundanya kepada Kallandra-kakek dari pihak ayah Kai.

“Setuju!” balas Kallandra singkat tapi penuh rasa ingin tau.

“Gue tes dulu donk Kai, jangan sampe kecolongan kaya yang kemarin.” Kalila-sang Kakak mengancam.

“Kagak ada ya, Kak ... lo mah jutek, lo enggak usah dateng lah ke pesta gue ... gue enggak mau Fira takut liat muka lo yang judes,” sergah Kaivan tidak santai.

“Wooo, santai Bro! Lo ngehina wajah istri gue yang cantik ...,” timpal King-suami dari Kalila.

“Ya habis ... masa Kak Lila mau ngetes-ngetes segala.” Kaivan menggerutu, memajukan bibirnya dengan nada pelan.

“BUCIN!!!” seru seluruh anggota keluarganya bersamaan.

FLASH BACK OFF

Kaivan menegakan tubuhnya tapi meraih tangan Zhafira untuk ia genggam, menyalurkan kenyamanan dan rasa aman agar Zhafira tenang.

“Kalau kepala kamu mau bersandar di pundak aku juga enggak apa-apa kok, Fir.”

Zhafira menoleh kemudian tertawa pelan. “Malu Mas, ada orang tua Mas Kai.”

“Ya udah, pegangan tangan aja.” Kaivan mengeratkan genggaman tangannya tapi Zhafira malah menutup tangan mereka yang saling bertaut dengan bantal sofa.

Zhafira tersenyum menggemaskan hingga mengerucutkan pangkal hidung setelah melakukannya.

“Gemesin banget sih kamu,” kata Kaivan seraya mengusak kepala Zhafira tapi kenyataannya malah hati Zhafira yang berantakan.

***

Raut wajah Zhafira berubah muram saat hendak bertemu sang mama.

Sudah lama mereka tidak bertemu karena setiap kali bertemu akan melahirkan pertengkaran.

Dan sekarang Zhafira harus bertemu dengan beliau untuk mengenalkan calon suami dan kedua calon mertuanya.

“Ma,” sapa Zhafira ketika Dewi datang setelah terlambat hampir satu jam.

Luar biasa sekali bukan, Dewi membuat seorang Narendra Gunadhya menunggu lama.

Zhafira tidak tau saja, berulang kali Aura mengusap punggung suaminya agar sabar dan tidak memperlihatkan emosi di depan Zhafira meski ia sendiri kesal.

“Fir, gemukan kamu ... hamil duluan ya?” celetuk Dewi santai.

Ingin rasanya Zhafira tenggelam di Palung Mariana saat ini juga.

Zhafira malu.

Narendra dan Kaivan langsung melirik ke arah Zhafira, mereka iba karena tau Zhafira pasti tidak nyaman dengan ucapan mamanya barusan.

Sedangkan Aura menaikan satu alisnya. “Kok seorang ibu ngomongnya gitu,” batin Aura menilai.

“Kenalin Ma ... ini Ayah Narendra dan ini Bunda Aura ... kalau ini Mas Kai, calon suami Fira.”

Berbeda halnya dalam memperlakukan Herry-papa dari Zhafira—kali ini Narendra dan Aura tampak dingin menyambut Dewi-mamanya Zhafira apalagi ketika mereka berjabat tangan dengan Jo-suami Dewi.

Narendra dan Aura menjaga jarak begitu juga dengan Kaivan.

Lucunya Dewi tampak tidak berdosa, tidak ada ucapan permintaan maaf kepada calon besan karena ia telah datang terlambat.

“Pasti udah ketemu papanya Zhafira ya?” tebak Dewi bertanya yang dibalas anggukan pekan Aura karena Narendra sudah malas menanggapi.

“Saya sama papanya Fira bercerai sewaktu Fira masih SMP ... dia pemalas, enggak mau kerja ... sekalinya kerja ya apa adanya, enggak mau berusaha ... buat apa laki-laki kaya gitu,” celoteh Dewi membuat Zhafira menatap mamanya lama.

Zhafira memberi kode dengan matanya tapi Dewi tidak peka.

Pertemuan kali ini bersama mama dari Zhafira hanyalah perkenalan dan meminta restu tapi tidak terlalu mendesak seperti pertemuan dengan Herry karena nanti beliau lah yang akan menjadi wali dalam pernikahan Zhafira dengan Kaivan.

Suasana menjadi sangat canggung, Narendra dan Aura bertahan dengan menjaga jarak tidak terlalu banyak bicara dan menjawab sekenanya.

Zhafira merasakan perubahan dari calon mertuanya tersebut dan ia merasa tidak enak hati.

Tiba-tiba ingin membatalkan pernikahan ini karena merasa tidak pantas bersanding dengan Kaivan dan menjadi menantu Gunadhya.

Ekspresi wajah Zhafira mulai cemas dengan wajahnya yang memerah.

Lagi, tangan Kaivan bergerak menggenggam tangan Zhafira membuatnya menoleh menatap pria itu.

Pendar di mata Zhafira menyiratkan banyak kekhawatiran yang bisa ditangkap dengan baik oleh Kaivan.

“Mama dukung kamu cepet nikah, memang udah waktunya ... dari pada hidup sendiri, biar kamu tau bagaimana brengseknya berumah tangga.” Dewi berujar kembali yang tentunya itu tidak sopan diutarakan di depan calon besan.

Zhafira memejamkan mata sekilas, mengembuskan napas untuk menata hatinya.

Beruntungnya Narendra dan Aura adalah pribadi yang berpikiran terbuka, keduanya sudah melihat ekspresi Zhafira yang tertekan semenjak bertemu mamanya.

Meski Zhafira memiliki mama yang slengean seperti itu tapi tidak mengubah perasaan mereka pada Zhafira terlebih Zhafira adalah gadis yang dicintai putra mereka.

Pertemuan itu tidak berlangsung lama, Narendra yang mengakhiri terlebih dahulu dengan alasan akan kembali ke Vietnam karena besok harus memimpin rapat.

Usai mengantar kepergian Dewi dan Jo, Zhafira menahan Aura dan Narendra sebentar.

“Ayah ... Bunda, makasih ya udah meluangkan waktunya ... Fira minta maaf sekali lagi kalau ada kata atau sikap orang tua Fira yang enggak berkenan di hati Ayah sama Bunda.”

Zhafira adalah customer service priority tentu ia pandai dalam berkomunikasi dan mengetahui jika ada ketidaknyamanan dengan hanya melihat seseorang dari ekspresinya saja.

“Enggak apa-apa, inget pesan Bunda ya ... jangan overthinking ... kamu harus fokus untuk pernikahan nanti.”

Aura berpesan seperti itu agar kejadian di masa lalu tidak terulang lagi.

Ia tidak tega melihat Kaivan merana karena ditinggal calon istri.

Zhafira mengangguk meski sorot matanya tidak yakin bisa mengikuti perkataan Aura.

Aura melangkah mendekat lalu memeluk Zhafira. “Berbahagialah Fir, kamu begitu dicintai Kai ... Bunda titip jangan kecewain Kai ya ... kamu hanya harus memikirikan diri kamu sendiri dan Kai, jangan pikirin yang lain ... ya?” Aura menegaskan kembali sambil mengusap kepala Zhafira lembut.

Lama Zhafira diam berpikir lantas mengangguk kaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status