Home / Rumah Tangga / Nikahi Aku atau Aku Mati / Janji Ketiga yang Kau Ingkari

Share

Janji Ketiga yang Kau Ingkari

Author: Gra_Violla
last update Last Updated: 2024-05-07 18:51:38

“Apa? Kamu belum bilang sama ibumu?”

Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa Ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka.

“Kamu sudah janji, Bee!” Tangisnya seketika pecah.

Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambruk, jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu.

“Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.”

Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi.

Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa.

“Kamu sudah ingkar janji berkali-kali, Bee! Huhuhu. Tiga kali kamu mengingkarinya. Teganya kamu perlakukan aku seperti gadis pengemis begini! Apa aku harus menabrakkan diri ke kereta api supaya kamu menyesal memperlakukanku seperti ini, hah?”

Mendengar kata-kata wanita yang telah bersamanya selama lima tahun itu, akhirnya Anggara pun bersuara, "kamu, datanglah kemari. Temui ibuku. Barangkali kalau bicara dengan sesama wanita, ibuku akan mendengarnya dan luluh.”

“Apa? Aku harus mengemis ke situ? Ya ampun, Bee, aku ini cewek! Di mana harga diriku jika harus memohon pada ibumu untuk mau mengawinkan kita? Kau ini benar-benar pengecut!”

Klik!

Nirmala tidak kuasa lagi berbicara. Ia memutus telepon sepihak. Jika permbiacaraan ini dilanjutkan, yang ada hanya jantungnya yang rontok.

Melihat sahabatnya begitu lemas dan menangis sejadi-jadinya, Fitonia segera memeluk.

“Tenangkan dirimu, Mala. Tenang dan sabar, ya.” Tangan lembut Fitonia membelai punggung sahabatnya.

“Bagaimana aku bisa tenang, Nia? Gara itu benar-benar pengecut! Dia ingkar lagi hendak melamarku! Sementara di rumah, aku terus dikejar harus menikah secepatnya. Kalau tidak, maka akan segera dijodohkan sama orang yang sama sekali tidak aku suka. Huhuhu.” Nirmala tergugu tiada jeda. Bayangan perjodohan oleh sang ayah dengan salah satu anak temannya itu membuatnya muak.

“Dia sudah janji, bahkan ini janjinya ketiga kali akan melamar dan secepat mungkin meminangku. Dia ingkar, Nia! Bagaimana aku tidak stres?”

Saking stres-nya, serta merta Nirmala menghadapkan kedua telapak tangan yang membeku ke arah Fitonia—yang juga kaget melihat sahabatnya itu seperti begitu menderita. Dan, sudah menjadi hal biasa bagi Nirmala, jika dia sedang stress, depressi dan menangis terus menerus, maka jari-jari tangannya akan mengalami kelumpuhan sesaat. Ia pun sudah menyadari itu, tapi mengabaikannya.

“Jari-jarimu kambuh lagi, Mala?” Fitonia sangat cemas melihat jari-jari sahabatnya kaku. Ia berusaha untuk memegang, tapi ditolak.

“Biarkan, Ni. Biarkan aku mati sekalian!” Nirmala semakin kacau.

Ia berusaha menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah, lalu mengibas-ngibaskannya ke berbagai arah. Tangis pun semakin kencang.

Untung saja, di rumah itu hanya mereka berdua. Sementara tetangga pun cukup jauh, sehingga tidak ada yang mendengar keributan yang terjadi di sini.

Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bisa Nia lakukan lagi, kecuali memberikan waktu untuk sahabatnya itu bisa menenangkan diri. Segera ia keluar mengambil air putih dan meletakkannya di sebuah meja.

“Minumlah, Mala. Tenangkan dirimu. Sebentar lagi aku ke luar. Ada urusan bentar. Kamu aku tinggal dulu, nggak pa-pa, ya?” Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Fitonia membelai punggung sahabatnya.

“Pokoknya, hapeku selalu bisa kamu hubungi. Kontak aku kalau kamu butuh sesuatu. Oke?”

Di tengah-tengah kegelisahannya, Nirmala mengangguk.

Suasana mendadak sepi. Sisa air mata masih menetes walau lambat. Kedua netra Nirmala menatap ke luar jendela yang gordennya masih tersibak. Memorinya menari-nari mengajak menghitung kenangan-kenangan indah dan mengharukan bersama sang kekasih.

Sebenarnya tidak sedikit teman dan rekan kerjanya yang mempertanyakan kenapa ia masih anteng-anteng saja pacaran dan belum mau melenggang ke pernikahan bersama sang pacar, padahal hubungan sudah tergolong lama. Bisikan-bisikan pun sudah tidak terhitung lagi,, yang meragukan keseriusan sang kekasih. Apalagi, diketahui bahwa sosok kekasihnya itu belum pernah sekali pun bertandang ke rumah.

Saat ditanya mengenai hal demikian, Nirmala lebih memilih diam, karena ingat dengan kata-kata kekasih, “kalau kamu percaya padaku, sabarlah menunggu. Aku akan datang setelah mengantongi restu Ibu. Itu tidak mudah. Kamu tau bagaimana sifat Ibuku, ‘kan?”

Setiap mengingat kalimat tersebut, kesedihannya selalu membuncah. Selama ini ia sudah berusaha sabar. Tapi, demi mengingat di rumah dikejar-kejar untuk segera menikah, rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan kesabarannya. Namun, jika menyerah, sudah barang tentu ia akan kehilangan sosok yang selama ini selalu berpihak pada dan banyak berkorban untuknya.

Anggara memang pemuda pemalu dan pendiam, tapi dia satu-satunya pria yang selama ini ada untuk dirinya, kapan pun. Saat ia cek-cok dengan sang bapak, rekan kerja atau bahkan tetangga pun, Anggara yang selalu setia mendengarkan keluh kesah dan mencarikan win-win solution. Ya, meskipun pria itu tidak selalu fast respond.

Salah satu yang membuatnya sering terharu adalah saat ia kekurangan uang. Gaji yang kadang tak cukup untuk mencukupi kebutuhan, Anggara-lah sang penolong yang siap menyodorkan ATM-nya. Ia juga tidak pernah lupa dengan pengorbanan sang kekasih yang rela membantu biaya kuliahnya dulu.

Itu hanya beberapa nilai plus Anggara yang jarang atau mungkin tidak dimiliki pria lain. Maka, jika ia harus kehilangan Anggara, rasanya tidak mungkin. Dunia pasti akan terasa hambar dan runtuh.

Malam semakin larut. Nirmala masih hanyut dalam kesedihannya yang mendalam. Jika sedang begini, lantas wanita melankolis itu menyalakan musik dari ponsel, lalu mengambil diary yang selalu dibawa kemana pun ia pergi.

Persetan mengenai persepsi orang di zaman ini masih mengandalkan diary. Karena bagi dirinya, diary seperti rumah. Di sana lah tempat terbaik bisa mencurahkan segala permasalahan hidup tanpa sensor apa pun. Ia berharap suatu saat bisa membuat sebuah novel berdasarkan kisah nyatanya itu.

Sayang, semakin lama menyibak lembaran diary, tangisnya semakin tidak terkendali. Pun, kepala terasa pening, berat, panas seperti hendak pecah. Akhirnya, Nirmala tidak bisa menahan untuk tidak menjambak-jambak rambut yang sudah acak-acakan sambil berteriak.

###

Fitonia baru saja hendak beranjak, tapi intro sebuah lagu membuatnya urung. Ia sudah berdiri, tapi kembali duduk demi ingin mendengarkannya.

“Semoga siapa pun yang punya kenangan dengan lagu ini, senantiasa sehat dan bahagia. Hiduplah dengan baik, sekali pun takdir tidak selalu baik-baik saja. Enjoy the music.”

Suara vocalis yang lembut semakin membuat Fitonia betah. Espresso panas yang ia pesan memang sudah dingin dan tersisa sedikit. Tapi, ia ingin menikmati lagu itu.

“Baiklah. Setelah lagu ini selesai, aku pulang," bisik hatinya menguatkan.

Sang vocalis band itu memiliki suara yang lembut dan mendayu—sangat pas dan menjiwai lagu Kahitna yang berjudul ‘Aku, Dirimu, Dirinya’. Fitonia pun sangat menikmati sembari sedikit demi sedikit menyeruput minuman yang tinggal berapa tetes saja.

Wanita tinggi semampai itu hampir mengangkat tangan ke waiter untuk memesan menu lagi, tapi urung setelah menyadari sebuah panggilan telepon masuk.

Dari layar ponsel tertera nama sang pemanggil, “ My Mala”. Namun, ia tidak langsung menerima panggilan tersebut, melainkan hanya memperhatikan ponsel layar yang berkelip-kelip.

“Kenapa kamu datang saat aku sedang menikmatinya, Mala?” Tidak bisakah kamu biarkan aku menikmati kopi pahit yang kupesan ini? Meskipun sudah dingin, aku sangat menikmatinya.”

Senyum Fitonia sangat dipaksakan, cenderung kecut. Ia teringat seseorang yang entah sedang apa di sana. Tapi yang pasti, janjinya sedang ditunggu.

Panggilan demi panggilan yang ia abaikan menumpuk. Hingga panggilan ke empat kali, berhenti. Fitonia masih menatap ponselnya yang gelap. Ada rasa bersalah di dada. Di sisi lain, ia masih ingin duduk menikmati alunan lagu kenangannya.

“Bolehkah aku egois? Sekali saja.” Wanita yang duduk sendirian di pojok cafe itu berbicara pada seruputan kopi terakhirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Yang Meninggalkan dan Ditinggalkan

    “Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras sembari

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Rembuk Tua

    Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilakan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan kam

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Tamu Mengejutkan

    “Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat.Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum....Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Peran Pak Johan

    Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil saat bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu sedang membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa santri

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Kembalinya Sang Ayah

    “Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil, sebelum pada akhirnya sang kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah yang kini ia tempati. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia in

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Sang Ayah dan Buah Hatinya

    “Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, Ma

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Perenungan yang Dalam

    “Bapak ...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang, ayo,

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Runyam

    “Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, lho. Kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatn

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Kejutan di Klinik Bersalin

    Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memerdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-bena

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status