Home / Rumah Tangga / Nikahi Aku atau Aku Mati / Obrolan Bapak Setelah Sekian Lama Tak Pernah Berkomunikasi

Share

Nikahi Aku atau Aku Mati
Nikahi Aku atau Aku Mati
Author: Gra_Violla

Obrolan Bapak Setelah Sekian Lama Tak Pernah Berkomunikasi

Author: Gra_Violla
last update Last Updated: 2024-05-07 18:37:41

“Berhenti, La. Bapak mau ngomong.”

Nirmala kaget setengah mati mendengar suara bapaknya yang rela menghentikan suapan makanan, manakala ia pulang kerja dan melewati ruang makan.

Bukan hanya karena sang bapak yang selama ini dikenal tak mau diganggu pas makan, tapi yang membuat jantung wanita dua puluh tujuh tahun itu deg-deg ser adalah karena ini kali pertama pria berkumis di hadapannya itu sudi berbicara padanya.

Ia ingat betul, sejak bapak memergoki dirinya diantar pulang oleh pacarnya setahun-an yang lalu, beliau marah besar dan tidak mau lagi berbicara padanya. Bahkan, permintaan maaf yang berkali-kali dengan cara apa pun, tak pernah digubris. Alhasil, hubungan bapak dan anak itu menjadi renggang, basi dan tanpa komunikasi sama sekali.

“Ngomong apa, Pak?” Demi ingin mengetahui apakah ini nyata atau mimpi, Nirmala duduk sambil diam-diam mencubit paha kanannya. Ternyata sakit, barulah ia yakin bahwa ini nyata. Pasti ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan, sampai rela seseorang yang terkenal egois dan otoriter itu mau membuka suara terlebih dahulu.

“Nanti malam dandan yang cantik dan formal. Pak Jaksa, teman Bapak, mau datang sama keluarganya.”

Pak Harsono tak mau bertatap mata dengan putri bungsunya. Pria enam puluhan tahun-an itu kembali menyendok makanan di piring, lalu memakannya. Terlihat sekali jika ia tidak nyaman, meski cara duduknya yang jegang masih menandakan keangkuhan.

“Temen Bapak yang mau ke sini, kenapa harus dandan? Apa hubungannya sama aku?”

Nirmala pura-pura cuek, meski dalam batin, dirinya girang betul setelah berbulan-bulan tanpa bersapa dengan sang kepala rumah tangga.

“Ya, ke sini mau melamar kamu, lah. Jadi perempuan lemot betul kamu, ini!” Entah kenapa Pak Harsono nyolot.

Sang istri yang berada di samping berdehem, mengisyaratkan untuk tidak terlalu keras dan kasar pada putrinya.

“Apa, Pak? Aku nggak salah denger?” Seperti disambar petir di terik siang bolong, Nirmala menatap sang bapak tajam saking kagetnya.

Yang diajak bicara pura-pura cuek, tetap melanjutkan santapan makannya.

“Aku nggak mau nikah. Lebih tepatnya belum mau nikah.”

Karena tidak mau mendengar kata apa pun lagi, Nirmala berdiri dan bersiap melenggang pergi menuju kamarnya.

Pak Harsono yang merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga diabaikan, langsung meloncat dari kursi dan menyusul putrinya.

“Kenapa? Apa mau jadi perawan tua?”

Pertanyaan pak Harsono berhasil menaikkan darah Nirmala. Saking gregetannya, wanita penyuka musik balada itu menghentikan langkah, lalu membalikkan badan.

“Aku capek, Pak. Mau istirahat. Kupikir Bapak mau bicara hal menyenangkan, setelah lama kita tidak pernah sekali pun bersapa.”

“Apa kamu nggak malu, teman-teman seumuran kamu sudah berumah tangga, sementara kamu masih saja luntang-lantung tidak jelas seperti itu?”

Bukannya menanggapi perkataan sang putri, Pak Harsono justru menembakkan pertanyaan yang membuat mood Nirmala semakin buruk.

Hubungan bapak dan anak yang sedari dulu tidak pernah akur pun semakin keruh. Bagi Nirmala, perkara jodoh dan menikah adalah hal yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sekali pun itu adalah orang tua. Namun, rupanya hal sensitif itu tidak dimengerti oleh Pak Harsono.

Pria yang kepalanya nyaris botak itu masih mendelik dengan kedua tangan berkacak pinggang.

“Pak, sekali lagi aku bilang. Urusan aku mau nikah kapan dan dengan siapa, jangan pernah ikut campur. Aku bukan anak kecil lagi lagi. Aku bisa memilih sendiri.”

Nirmala bertekad untuk melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar yang tinggal enam langkah itu, tapi pertanyaan Pak Harsono kembali berhasil mengurungkan niat itu.

“Apa masih berhubungan dengan si tulang presto itu?”

“Namanya Anggara, Pak. Anggara Aji Pamungkas,” ucap Nirmala dengan nada kesal. Ia sungguh tidak terima jika sang bapak menyebut pacarnya dengan sebutan si tulang presto.

“Apa pun namanya. Toh, memang benar kalau perawakannya klemar-klemer dan nggak lakik.”

Tanpa rasa berdosa dan tak mau kalah, Pak Harsono terus menyerang dengan menjelekkan pacar putrinya. Tidak mau terpancing emosi lebih dahsyat lagi, Nirmala mengambil langkah cepat masuk kamar dan menguncinya.

“Cowok muka bayi yang cemen itu mana bisa menjamin masa depan kamu? Bapak berani bertaruh kalau kamu masih berhubungan dengan dia, hidupmu tidak akan bahagia.”

Pak Harsono sangat tersinggung dan emosi dengan tingkah yang diambil putrinya. Ia masih tidak terima dicuekin dan ingin terus mengeluarkan sumpah serapah. Namun, istrinya yang sedari tadi was-was dan memilih untuk hanya memantau, kali ini mencoba untuk memegang lengan kiri suaminya yang hendak menggedor pintu sang putri.

“Sudah, Pak. Sudah,” ucapnya lirih. Sekali pun lirih, Nirmala yang sudah berurai air mata di dalam sana mampu mendengar suara sang ibu.

“Ah, minggir!” Pak Harsono mengibaskan tangan sang istri. Saking kuatnya, hingga Bu Harsono terpelanting. “Ini juga gara-gara kamu yang suka melindungi dia. Makin gede, makin nglunjak, berani sama orang tua. Nggak becus urus anak!” Dengan nada putus asa dan jengkel, Pak Harsono pergi.

Bu Harsono baru saja mau berdiri, tapi kaget melihat suaminya berbalik arah dan dengan cepat sudah berada di hadapannya.

“Pastikan nanti malam dia dandan untuk menemui tamuku. Kalau tidak, kalian berdua harus tanggung konsekuensinya.”

Setelah mengucapkan dua kalimat panjang itu, Pak Harsono benar-benar lenyap dari hadapan wanita ayu—yang masih dalam posisi setengah terduduk. Ia hanya bisa ber-istighfar di dalam hati sembari mengelus dada.

Ini memang bukan pemandangan kali pertama suami dan anaknya bertengkar hebat, kedua insan yang wataknya mirip sekali itu kerap adu mulut sejak putri semata wayang mereka menginjak baligh.

Sementara Nirmala yang mendengar suara di luar pintu kamarnya itu mulai kewalahan menahan bendungan di pelupuk matanya. Ia kira, hubungan dirinya dengan sang bapak akan mencair suatu hari. Namun, hari ini, mimpi itu seolah lenyap.

Jika dulu, perseteruan keduanya sebatas kengeyelan seperti anak-anak biasa, semenjak sang bapak mengetahui hubungan backstreet-nya, masalah mengerucut pada prinsip hidup. Diam-diam pak Harsono tidak menyukai Anggara dari awal melihat sosok pacarnya tersebut.

Selain karena prinsip hidup yang ia pegang bahwa anaknya harus menikah dengan keluarga yang dikenal baik dari bibit, bebet hingga bobotnya, pak Harsono menilai Anggara sebatas dari penampilannya yang terlihat lemah dan ringkih.

Di saat menyedihkan seperti ini, tiada orang lain yang akan Nirmala hubungi, kecuali kekasihnya. Sayang, ia perlu bersabar jika menghubungi sosok anak rumahan itu.

Setelah dua panggilan tak disahut, akhirnya laki-laki bersuara merdu itu mengangkat telepon,” Ya, Bee. Ada apa? Maaf, barusan bikinin kopi Ibu di belakang.”

“Kamu pernah janji dan itu bukan sekali dua kali. Bahkan aku inget, kamu janji udah tiga kali mau melamar aku. Apa kamu sudah siap untuk melunasi janjimu itu?”

Tanpa basa-basi, sekuat tenaga Nirmala merangkai kata yang mewakilkan masalahnya saat ini. Dan, dengan penuh rasa penasaran, ia menunggu respon dari seberang telepon sana.

Sayangnya, respon yang diharapkan tidak sesuai. Tiba-tiba Anggara terdiam seribu bahasa. Ia sangat kaget, mengapa tiba-tiba kekasihnya itu menagih janji?

“Bee? Apa kamu mendengar suaraku?” Nirmala ingin memastikan jika sambungan teleponnya baik-baik saja.

“I-iya. Maaf, aku harus ke toko dulu, ya. Sambung nanti.”

Setelah berpamitan, dengan cepat Anggara memutus telepon. Hal ini tentu membuat Nirmala sangat kecewa. Biasanya, jika ia sedih dan butuh dihibur atau dicarikan solusi, Anggara selalu ada dan siap untuk dirinya. Namun, kali ini kenapa berbeda? Kenapa di saat genting macam ini? Tiba-tiba saja dunia Nirmala seolah runtuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Yang Meninggalkan dan Ditinggalkan

    “Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras sembari

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Rembuk Tua

    Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilakan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan kam

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Tamu Mengejutkan

    “Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat.Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum....Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Peran Pak Johan

    Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil saat bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu sedang membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa santri

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Kembalinya Sang Ayah

    “Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil, sebelum pada akhirnya sang kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah yang kini ia tempati. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia in

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Sang Ayah dan Buah Hatinya

    “Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, Ma

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Perenungan yang Dalam

    “Bapak ...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang, ayo,

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Runyam

    “Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, lho. Kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatn

  • Nikahi Aku atau Aku Mati   Kejutan di Klinik Bersalin

    Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memerdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-bena

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status