"Saya ingin melamar Mbak, buat suami saya," kata perempuan berhijab itu kepada Arini, matanya berkaca-kaca.
Arini terkejut dibuatnya, sesaat dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.
"Apakah Mbak bersedia?" Perempuan itu memastikan. Arini menatap wajah perempuan itu, matanya masih berkaca-kaca.
"Mbak ini siapa? Kenapa tiba-tiba ingin melamar saya buat suami Mbak, apakah saya kenal dengan suami Mbak?" tanya Arini memastikan.
"Nama saya Syarifah, saya, istri dari Gazza."
Tertegun Arini sesaat, specles dibuatnya. Harus Arini akui, jika dadanya jadi berdebar-debar mendengar nama Gazza di sebutkan.
"Silahkan di minum, Mbak." Arini menawarkan minuman kepada tamunya tersebut. Dia pun ikut minum. Minuman teh manis hangat yang sudah Lasmi siapkan, sekaligus untuk menenangkan dadanya yang masih berdebar. Setelah dirasa tenang, Arini kembali bicara.
"Mbak tidak salah ingin melamar saya buat Gazza? Mbak benar-benar ikhlas berbagi suami dengan saya?" Arini menatap mata perempuan itu dalam.
Perlahan air mata jatuh dari kedua matanya. Sesama perempuan, Arini bisa merasakan ketidak relaan yang perempuan itu rasakan, tetapi perempuan itu bersikap seolah-olah tegar.
"Apakah Gazza yang menyuruh Mbak untuk melamar saya?" Tatapan dalam Arini tetap tak lepas dari matanya.
Syarifah diam saja, tidak langsung menjawab pertanyaan Arini. Dia menarik nafas sejenak.
"Aku seperti istri yang tak di anggap, Mbak." Bobol sudah pertahanannya, terisak-isak dia.
"Dua tahun sudah aku menjadi Istrinya Gazza, tetapi seperti hidup di bawah bayang-bayangmu Mbak Arini?" Syarifah mengusap air matanya. Batinnya pasti sangat terluka.
"Tubuhnya memang milikku, tetapi hatinya tidak. Tersiksa aku, Mbak." Sesak sekali dada Arini melihat tangisan Syarifah.
"Maafkan, jika sudah membuat hidupmu menderita, saya sungguh tidak menyangka, akan seperti ini," terang Arini pada Syarifah. Dia benar-benar tidak enak hati.
"Apalagi setelah kehadiran Mbak kembali ke rumah ini, kami benar-benar seperti orang asing yang tinggal bersama. Setiap saat Gazza selalu bicara tentang Mbak Arini, statusku sebagai istrinya benar-benar tidak dianggap."
Dialihkan tatapan matanya ke arah pintu masuk rumah."Aku benar-benar tulus mencintai Gazza, mencoba ikhlas untuk dimadu, asalkan Gazza tidak menceraikan Aku."
Ketulusan cinta Syarifah, mungkin sama dengan ketulusan cinta Arini kepada Hendra. bisik hati Arini.
"Apakah Mbak Arini bersedia jika menjadi maduku?" Syarifah menatap wajah Arini, matanya mulai terlihat sembab kemerahan.
"Tidak, saya tidak bersedia. Katakan! Jika ini atas keinginan Gazza, bahwa Saya tidak bersedia menerima lamarannya. Lagipula, mungkin saya dan suami akan rujuk kembali." Arini membuat alasan untuk menolak lamaran dan sekaligus membuat Syarifah tenang.
"Bilang pada Gazza yah Mbak Syarifah, untuk tidak lagi berkunjung ke rumah saya.
Saya tidak ingin, jika nanti Mas Hendra tahu dan menjadi salah paham terhadap saya."Arini tidak ingin menjadi duri dalam daging pada hubungan mereka.Tidak beberapa lama, Syarifah ijin pamit. Arini menasehatinya, agar harus terus bersabar, dan meyakinkan kepada istri dari Gazza tersebut, bahwa Arini tidak akan bersedia menjadi madunya. Walaupun Gazza sendiri yang akan meminta nantinya.
Arini percaya akan ketulusan cinta Gazza terhadapnya, dan pasti Gazza akan berusaha membuatnya bahagia. Namun tidak mungkin kiranya, jika kebahagiaan terjadi di atas penderitaan perempuan lain yang sama seperti dirinya, sangat egois sekali. Arini berpikir, bagaimana jika dia ada di posisinya Syarifah.
÷÷÷
Matahari mulai bersinar dari ufuk timur, di saat Arini sedang menyiram tanaman depan halaman rumah. Pak Suganda--tetangganya, pria paruh baya yang genit, lewat di jalan depan rumahnya. Selalu saja begitu setiap paginya, jika Arini sedang menyiram tanaman. Sepertinya dia tahu jadwal keseharian Arini setiap pagi.
"Pagi Neng Arini?" tegur Suganda kepada Arini.
"Waalaikum salam, Pak Suganda," jawab Arini,
agak memerah wajahnya, tetapi tidak lama."Jangan panggil bapak, atuh Neng? Panggil akang saja yah?" tanyanya genit menggoda.
Arini hanya tersenyum saja, sambil terus menyiram tanaman."Jika ada waktu, kapan-kapan kita jalan-jalan yuk, Neng?" tanyanya lagi, semakin memuakkan saja ucapannya. Tetapi Arini hanya tersenyum saja, sembari berjalan mematikan keran air.
Tidak beberapa lama, Kang Usman, yang mungkin usianya lima tahun di atas Arini datang dan ikut nimbrung berdua Suganda.
Mereka berdua sama saja, Upin Ipin dalam soal kegenitan dan kecentilan. Dan status Arini yang seorang janda, menjadi sasaran kegenitan mereka berdua."Wabah penyakit datang." Tertawa Arini dalam hatinya.
"Pagi- pagi makan bubur yuk, Neng? Di alun-alun kota," ajak Usman kepada Arini.
"Jangan mau Neng, ntar si Usman malah minta dibayarin," jawab Pak Suganda meledek Usman. Arini hanya tertawa saja.
"Ya Allah, Neng Arini ... ketawanya merdu banget, mirip Ashanti." Menggoda Suganda, sambil tertawa.
"Iya, suara istri Pak Ganda sendiri mirip Anang yah," celetuk Usman, tertawa keras dia, dan Arini pun ikut tertawa. Suganda cemberut sebentar, kemudian ikut tertawa terbahak.
Tidak lama, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan depan rumah Arini, dan mereka bertiga pun menoleh kearah mobil tersebut.
Orang tersebut turun, lalu menyalami Suganda dan Usman, kemudian segera menghampiri Arini.
"Mbak Arini masih ingat saya ngga?" tanya pria tersebut kepada Arini.
"Mas Adrian, kan? Yang belum lama dapat orderan pesanan makanan dari sini," jawab Arini memastikan.
"Hari ini kan saya libur Mas. Sepertinya aplikasi pemesanan pun tidak saya aktifkan." Suganda dan Usman melongo saja ikut mendengarkan.
"Begini, Mbak Arini. Saya ingin pesan kue ulang tahun untuk anak saya nanti," jawab Adrian
"Boleh, Mas, tapi ngga bisa hari ini yah," jawab Arini.
"Ngga ko Mbak, buat empat hari lagi."
"Yuk Mas Adrian, kita bicara di teras saja, biar saya buatkan kopi," jawab Arini pada Adrian, sambil melangkah ke arah dalam rumah
"Mari Pak Suganda, kang Usman, saya tinggal dulu yah," pamit Arini pada mereka berdua.
"Kami ngga ditawarin kopi juga, Neng?" tanya Suganda. Arini dan Adrian hanya tertawa saja, lalu segera meninggalkan kedua pria genit tersebut.
÷÷÷
Beberapa hari kemudian, di saat Arini sedang membuat adonan kue. Terdengar seperti suara ribut-ribut di depan halaman rumahnya. Ada suara Lasmi yang terdengar olehnya. Rasa penasaran membuat Arini segera menuju ke halaman depan rumah. Baru saja dia keluar pintu rumahnya.
"Dasar janda gatel! Tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang."
"Dasar janda gatel! tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang." Makian dan sumpah serapah mengarah kepada Arini. Kaget dan shock, Arini dibuatnya.Mientarsih. Biasa dipanggil Mbok Mien, tidak ada hujan tidak ada angin, langsung melabrak dan memaki-maki Arini.Paras wajahnya menyiratkan kemarahan besar, emosi yang tertahan. Lasmi mencoba menghalangi Mbok Mien, untuk mendekati Arini.Perlahan, Arini mulai bisa menguasai diri, dan kembali bersikap tenang. "Mbok Mien salah paham." Pikir Arini."Kamu yah, Arini! Jangan mentang-mentang janda! Seenaknya saja merayu-rayu suami orang. Dasar perempuan tidak punya kehormatan!" Emosinya masih tinggi sekali.Arini terus bersabar untuk mengendalikan emosinya. Sejujurnya dia sangat tersinggung atas segala tuduhan dan hinaan Mbok Mien. Tetapi jika dia meladeni, maka tidak ada beda antara dirinya dan Mbok Mien, manusia yang sedang dikuasai nafsu amarah."Mbok Mien jangan s
Malam ini, Hendra ada pertemuan penting dengan salah satu pejabat daerah, yang sedang kunjungan kerja di Jakarta.Beliau menawarkan sejumlah proyek penting di daerah beliau menjabat.Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya, Hendra bekerja sama dengannya. Ada beberapa proyek yang sudah dia selesaikan lewat kerja sama sebelumnya, dan mungkin dia puas dengan hasil kerja dan cara Hendra memberikan servis plus kepadanya.Susan sang sekretaris pribadi Hendra mendampingi dalam pertemuan bisnis penting ini.Meluncur ke lokasi pertemuan di sebuah hotel mewah di bilangan Jalan Sudirman, Pusat Bisnis kota Jakarta."Ini proyek penting, jangan sampai proyek ini lepas," jelas Hendra pada Susan, di dalam Sedan mewahnya, duduk berdua di kusi belakang."Iya, Mas Hendra sayang," sembari Susan mencium pipi Hendra mesr
Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku.Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lanta
Asap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Hendra memasuki kamar, dan aku hanya menguntitnya dari belakang. Postur tubuhnya malah terlihat lebih menggairahkan, menyeret angan keinginan mendekap, terlelap hangat beralaskan kulit punggungnya, setelah lelah berkeringat memadu hasrat."Susan ...?""Saya, Pak Hendra." Sedikit terkejut juga aku dibuatnya saat bosku itu memanggilku secara tiba-tiba di saat aku sedang menghayalkan dirinya."Tolong rapihkan barang-barang bawaan saya yah, saya ingin secepatnya mandi. Sudah lengket rasanya seluruh badan ini." Sembari menuju kamar mandi."Baik, Pak." Aku pun secepatnya, membuka-buka barang bawaannya, untuk segera kurapihkan."Mau dipesankan makanan atau minuman, Pak?!" tawarku, agak sedikit berteriak."Saya sudah makan di luar, tapi tolong pesankan saya kopi
Tiga hari di Sepinggan, rasanya seperti bulan madu buat kami berdua. Aku dan mas Hendra. Di luar urusan kepentingan kantor, saat ada waktu-waktu tersisa, kami lalui dengan kebersamaan dan bercinta. Tuan berparas tampan pemilik perusahaan konstruksi itu memang luar biasa dalam segala hal. Cakap dalam berbisnis dan bernegosiasi, termasuk dalam urusan hasrat. Benar-benar membuatku terpesona.Sore sebelum malam kami sudah tiba kembali di ibukota.P
Masa I'dah Arini sudah hampir berakhir, dan selama itu, tidak pernah sekalipun Hendra menghubunginya. Tidak lewat telepon, WA atau apapun."Sudah tidak perdulikah, Mas Hendra padaku. Sebegitu bencinya Mas Hendra, hingga untuk menghubungiku saja dia tidak mau."Berkecamuk semua pertanyaan di dalam hati dan pikiran Arini.Matanya nanar menatap derasnya hujan dari balik jendela kamar.Hujan sore ini, benar-benar membawa kepedihan di dalam hatinya.Sakit rasanya.Jika Hati masih memendam rindu."Kamu sedang apa, Mas?""Tidak rindukah engkau denganku?"Mengapa kau lebih percaya orang lain, di banding aku. Lima tahun kebersamaan kita, tidak cukupkah untuk engkau meyakini, jika aku tidak mungkin berkhianat padamu. Ba