"Siapa dia Hen?" tanya Anita, dan Hendra sempat tergagap dan terdiam.
"Saya Susan, Mbak, saya sekretarisnya Mas Hendra. Oh maaf, Pak Hendra maksudnya,"
jawab Susan, sembari menjulurkan tangannya kearah Anita. Hendra melihat matanya Susan seperti berkaca-kaca."Saya Anita, teman dekatnya Hendra." Anita membalas jabat tangan Susan.
"Kamu sedang apa San, ada di sini?" tanya Hendra kepada Susan.
"Mamah!" Seorang gadis kecil usia lima tahunan berlari ke arah Susan, dengan seorang pria berjalan di belakang anak tersebut, dan Hendra tahu itu Vijar suaminya Susan, dan setau Hendra, mereka juga dalam proses mengajukan perceraian.
Susan yang menggugat cerai Vijar.
"Aku hanya tinggal menunggu surat-surat resminya turun, Mas. Semua prosesnya sudah kulewati." Begitu yang pernah Susan bilang kepada Hendra.
"Kami pergi dulu yah." Anita menarik tangan Hendra untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.
"Kami duluan ya, San." Sembari Hendra bergegas mengikuti langkah Anita.
"Aku kira siapa, sekretarismu ternyata," ucap Anita di dalam mobil, sembari tangannya mengelus-elus lembut pahaku. Nafsu sudah membakar dirinya. Kendaraan Hendra menembus malam, menuju tempat pertempuran hasrat.
Hendra--sang petualang. sedang mencari kesenangan sesaat.
÷÷÷
Pagi di saat baru tiba di kantor, sengaja Hendra memanggil Susan untuk segera menemuinya. Agak canggung Susan sepertinya, tidak seperti biasanya.
"Duduk San, ada yang ingin aku bicarakan pada mu," ucap Hendra, mempersilahkan Susan duduk di kursi depan mejanya.
"Bagaimana pendapatmu tentang pertemuan kita semalam, ada yang ingin kau katakan?" tanya Hendra, to the points saja. Susan menatap Hendra sekilas, lalu kembali merunduk.
"Saat ini, aku belum mau terikat dengan siapa pun. Dan pengacaraku sedang mengurus surat-surat perceraianku dengan Arini. Sekarang terserah padamu, mau melanjutkan hubungan ini atau tidak?" Sambil tangan Hendra membolak balik berkas yang ada di atas meja. Tatapannya beralih ke berkas-berkas tersebut.
Susan masih terdiam, dan Hendra kembali melanjutkan pembicaraan. Tatapannya tajam ke arah Susan.
"Aku hanya ingin menyalurkan hasrat dengan siapapun yang memang bisa membangkitkan gairahku, termasuk denganmu salah satunya." Hendra berhenti sejenak berbicara, masih menatap mata Susan dengan tajam.
"Sebelum-sebelumnya, aku sudah memberikan apapun yang kamu butuhkan. Bahkan aku akan memberikan lebih lagi, termasuk menaikkan kembali pendapatanmu jika masih mau melanjutkan dan meneruskan hubungan denganku. Sekarang ... terserah dirimu saja."
Hendra menyandarkan tubuhnya ke kursi kerjanya.
Susan masih diam saja, matanya menatap tajam ke arah Hendra. Dia berdiri perlahan, berjalan menuju pintu keluar ruangan kerja Hendra yang luas. Yang terpisah sendiri di lantai yang berbeda dengan staf-staf yang lainnya.
Dikuncinya pintu ruangan Hendra dari dalam, dan Susan berbalik menatap tajam.
"Aku sudah terlanjur jatuh kepadamu Mas, dan mumpung kau masih berhasrat kepadaku. Aku mampu melayani nafsumu, bahkan jauh lebih baik dari wanita yang semalam bersamamu."
Susan melucuti seluruh pakaiannya, tersenyum nakal. Perlahan langkahnya mendekat, dan Hendra pun sudah terbakar hasrat birahi.
÷÷÷
Malam ini, Hendra ada pertemuan dengan seseorang yang ingin menawarkan bisnis kerja sama. Seorang warga keturunan, yang mengharapkan Hendra mau berinvestasi di perusahaan miliknya. dijamunya Hendra di sebuah restoran mewah di hotel berbintang lima.
Wijaya namanya, dia sibuk mempresentasikan tentang bisnisnya, dan keuntungan-keuntungan apa saja, jika Hendra mau berinvestasi di perusahaannya. Dia benar-benar meyakinkan Hendra, jika peluang bisnis ini dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar untuk perusahaan mereka berdua.
Wijaya ditemani oleh dua orang wanita, yang keduanya seperti Warga Negara Asing. Berparas cantik, bertubuh tinggi semampai dan kulit yang putih mulus dan berbody bagus, dengan rambut tergerai. Mereka berdua hanya diam saja memperhatikan pembicaraan Hendra dengan Wijaya.
"Silahkan disantap hidangannya Pak Hendra." Wijaya mempersilahkan Hendra untuk makan-makanan mewah yang sudah siap di hidangkan. Kedua wanita warga negara asing itu segera berpindah duduk di samping kiri dan kanan Hendra.
Ada map di tangan mereka. Dan Hendra tahu, itu map kontrak kerjasama yang Wijaya harapkan darinya. Agar Hendra mau menandatangani kontrak tersebut.
Kedua Wanita itu pun adalah santapan berbeda yang sudah Wijaya persiapkan. Hendra pun begitu dalam berbisnis, dan itu salah satu seni dan trik tersendiri dalam berbisnis, untuk memuluskan dan mendapatkan tender proyek ataupun kerja sama.
"Semua sudah diselesaikan dan dipersiapkan untuk Pak Hendra. Dan Bapak tinggal menikmati saja," kata Wijaya kepada Hendra, sambil menyodorkan sebuah SIM Card kunci kamar di hotel berbintang lima tersebut.
"Saya mohon izin pamit Pak, dan selamat menikmati." Wijaya segera berdiri, dan Hendra pun berdiri s mengambil alih tangan itu.
Wijaya segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Hendra segera melanjutkan makannya yang belum selesai, ditemani kedua wanita cantik tersebut. berdua tahu dan paham, bagaimana memperlakukan pelanggan, karena ada misi yang mereka jalani. Dan jika misi itu tembus, bonus yang akan diberikan kepada Wijaya untuk mereka akan jauh lebih besar lagi.
Ternyata langkah Hendra dalam Berbisnis, tidak berbeda dengan Wijaya. Bergumam Hendra dalam hati. Lalu menggandeng kedua Wanita itu menuju ke sebuah kamar yang sudah Wijaya mempersiapkan.
Hendra pernah sang petualang yang belum tersadarkan, atau mungkin tidak akan sadar sama sekali.
"Saya ingin melamar Mbak, buat suami saya," kata perempuan berhijab itu kepada Arini, matanya berkaca-kaca.Arini terkejut dibuatnya, sesaat dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa."Apakah Mbak bersedia?" Perempuan itu memastikan. Arini menatap wajah perempuan itu, matanya masih berkaca-kaca."Mbak ini siapa? Kenapa tiba-tiba ingin melamar saya buat suami Mbak, apakah saya kenal dengan suami Mbak?" tanya Arini memastikan."Nama saya Syarifah, saya, istri dari Gazza."Tertegun Arini sesaat, specles dibuatnya. Harus Arini akui, jika dadanya jadi berdebar-debar mendengar nama Gazza di sebutkan."Silahkan di minum, Mbak." Arini menawarkan minuman kepada tamunya tersebut. Dia pun ikut minum. Minuman teh manis hangat yang sudah Lasmi siapkan, sekaligus untuk menenangkan dadanya yang masih berdebar. Setelah dirasa tenang, Arini kembali bicara."Mbak tidak salah ingin melamar saya buat Gazza? Mbak benar-benar ikhlas berbagi
"Dasar janda gatel! tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang." Makian dan sumpah serapah mengarah kepada Arini. Kaget dan shock, Arini dibuatnya.Mientarsih. Biasa dipanggil Mbok Mien, tidak ada hujan tidak ada angin, langsung melabrak dan memaki-maki Arini.Paras wajahnya menyiratkan kemarahan besar, emosi yang tertahan. Lasmi mencoba menghalangi Mbok Mien, untuk mendekati Arini.Perlahan, Arini mulai bisa menguasai diri, dan kembali bersikap tenang. "Mbok Mien salah paham." Pikir Arini."Kamu yah, Arini! Jangan mentang-mentang janda! Seenaknya saja merayu-rayu suami orang. Dasar perempuan tidak punya kehormatan!" Emosinya masih tinggi sekali.Arini terus bersabar untuk mengendalikan emosinya. Sejujurnya dia sangat tersinggung atas segala tuduhan dan hinaan Mbok Mien. Tetapi jika dia meladeni, maka tidak ada beda antara dirinya dan Mbok Mien, manusia yang sedang dikuasai nafsu amarah."Mbok Mien jangan s
Malam ini, Hendra ada pertemuan penting dengan salah satu pejabat daerah, yang sedang kunjungan kerja di Jakarta.Beliau menawarkan sejumlah proyek penting di daerah beliau menjabat.Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya, Hendra bekerja sama dengannya. Ada beberapa proyek yang sudah dia selesaikan lewat kerja sama sebelumnya, dan mungkin dia puas dengan hasil kerja dan cara Hendra memberikan servis plus kepadanya.Susan sang sekretaris pribadi Hendra mendampingi dalam pertemuan bisnis penting ini.Meluncur ke lokasi pertemuan di sebuah hotel mewah di bilangan Jalan Sudirman, Pusat Bisnis kota Jakarta."Ini proyek penting, jangan sampai proyek ini lepas," jelas Hendra pada Susan, di dalam Sedan mewahnya, duduk berdua di kusi belakang."Iya, Mas Hendra sayang," sembari Susan mencium pipi Hendra mesr
Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku.Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lanta
Asap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Hendra memasuki kamar, dan aku hanya menguntitnya dari belakang. Postur tubuhnya malah terlihat lebih menggairahkan, menyeret angan keinginan mendekap, terlelap hangat beralaskan kulit punggungnya, setelah lelah berkeringat memadu hasrat."Susan ...?""Saya, Pak Hendra." Sedikit terkejut juga aku dibuatnya saat bosku itu memanggilku secara tiba-tiba di saat aku sedang menghayalkan dirinya."Tolong rapihkan barang-barang bawaan saya yah, saya ingin secepatnya mandi. Sudah lengket rasanya seluruh badan ini." Sembari menuju kamar mandi."Baik, Pak." Aku pun secepatnya, membuka-buka barang bawaannya, untuk segera kurapihkan."Mau dipesankan makanan atau minuman, Pak?!" tawarku, agak sedikit berteriak."Saya sudah makan di luar, tapi tolong pesankan saya kopi
Tiga hari di Sepinggan, rasanya seperti bulan madu buat kami berdua. Aku dan mas Hendra. Di luar urusan kepentingan kantor, saat ada waktu-waktu tersisa, kami lalui dengan kebersamaan dan bercinta. Tuan berparas tampan pemilik perusahaan konstruksi itu memang luar biasa dalam segala hal. Cakap dalam berbisnis dan bernegosiasi, termasuk dalam urusan hasrat. Benar-benar membuatku terpesona.Sore sebelum malam kami sudah tiba kembali di ibukota.P