Beranda / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 4 - Perjaka Tua

Share

Chapter 4 - Perjaka Tua

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 15:11:00

Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh. 

"Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga. 

Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'

Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?" 

"Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.

Namun, siapa sangka Devon malah balik bertanya, "Emang kamu bisa dipercaya?"

"...." Rosa tertohok, tak bisa langsung menjawab.

"Kamu juga bukan tipeku," ujar Devon sadis. Tatapan yang luput akan perasaan itu menancap pada Rosa.

"!!!" Rosa terdiam seribu bahasa dengan mata membelalak. Dia tidak percaya Devon memberikan pukulan telak seperti ini. 

"Tapi lebih baik sama aku. Kamu udah kenal aku dari lama. Aku bukan orang yang kayak gitu," balas Rosa.

"Oh ya?"

"...."

'Tenang. Tarik napas, keluarin, tarikkk, keluarin. Membunuh itu dilarang.'

Devon menyeringai tipis sebelum bertanya tak acuh, "Kayak gitu gimana maksud kamu?"

"Yang jelas, aku nggak bermaksud jahat." Rosa dengan keras kepala menekankan, "Buktinya selama kita menikah kamu masih suci, nggak terjamah."

"Uhuk!" Devon tersedak ludahnya sendiri.

Wanita ini!

Devon menggeram marah. Tangan Devon gatal ingin membuka batok kepala Rosa dan melihat isi kepalanya. Yah, meski dia bisa mendengar suara pikiran Rosa tanpa perlu membuka apa-apa. Walaupun begitu, Devon tetap tercengang sewaktu Rosa tidak berpikir lebih dulu sebelum ucapannya mengalir begitu saja.

"Kau perempuan, bukan? Bagaimana bisa bicara seperti itu," ujar Devon seraya menggertakkan gigi.  

Rosa mengedip-ngedip cepat setelah mendengar keraguan Devon. Dalam hati, dia berpikir,  'Aku perempuan tulen. Beda sama Devon yang bukan lelaki sejati. Meski dia nggak senang dengan perjodohan kami, harusnya seorang laki-laki akan tetap meminta jatahnya.' 

Devon, "...!"

Pandangan Rosa berubah serius memikirkan kejantanan Devon. 'Jangan bilang dia impoten? 'Itu'nya tidak bisa berdiri?'

"Berhenti bicara." Devon mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Seluruh tubuhnya berguncang menahan amarah. 

"Aku belum ngomong ...." sahut Rosa sambil memiringkan kepala sedikit, tampak kebingungan.

Suara hatinya kembali bergema. Di tatapan Rosa tersirat rasa iba untuk Devon. '... Nafsu yang tak tersalurkan membuatnya gampang marah. Kasian, perjaka tua.'

SLASH!

Sebutan 'perjaka tua' menggores hati kecil Devon setajam silet, mengoyak-oyak harga dirinya sampai hampir tak bersisa. Dalam seketika, semburat merah menyala menjalar dari wajah hingga ke lehernya. Devon berusaha sekuat tenaga untuk tidak melempar Rosa keluar jendela. 

Urat-urat di pelipis Devon menonjol, berdenyut kencang. Matanya berkilat sengit. "Keluar."

"Hm?"

"Keluar!!" bentak Devon menggelegar. 

"Okay, okay!" Tanpa babibu, Rosa kabur meninggalkan Devon sendiri di kamar. Karena kelihatannya Devon murka sekali. Tetapi timing-nya pas.

Rosa sudah tak sanggup lagi berada di dekat pria itu. Dia takut ketularan judesnya Devon. Lagi pula, orang bijak itu tahu kapan harus mundur. 

---

Rosa menghabiskan waktu di perjalanan pulang dengan memandangi hiruk pikuk kendaraan lain melaju kencang dan melewatinya silih berganti. Pak Sopir memperhatikan suasana melankolis yang melekat pada Rosa dari kaca spion tengah. 

Pak Sopir dengan pengertian menyetel lagu galau. Rosa melirik sekilas ke arah sopir, kemudian termenung. Bukannya lebih baik mencari lagu penyemangat supaya dia tidak sedih?

Namun, Pak Sopir memegang teguh prinsipnya yang kalau sedang galau itu obatnya hanya mendengar lagu melow! Apalagi jika lagu itu berhasil membuat kita meneteskan air mata tersedu-sedu. Setelah menangis, dijamin, semangat kita akan menggebu lagi. Tetapi, justru karena itulah mood Rosa yang sudah buruk menjadi makin kacau seolah sedang terjun bebas ke jurang terdalam. 

Setengah jam kemudian, mobil memasuki kawasan perumahan elit Jakarta, yang biasa dihuni oleh para pejabat, artis papan atas, atau pengusaha sukses lain. 

Mobil Rolls-Royce hitam itu berhenti tepat di halaman rumah termegah perumahan. Begitu Rosa turun dan menginjakkan kaki, dia langsung disambut oleh pria paruh baya yang mengenakan setelan hitam rapi. Pak Sugi, sebagai kepala ART di rumah Devon, membungkuk sedikit dan menyapa Rosa, "Anda sudah pulang, Nona."

"Um ... Iya," sahut Rosa letih. Dia ingin cepat-cepat mandi dan beristirahat. 

Pak Sugi menangkap kelelahan Rosa, tetapi dirinya tetap harus menyampaikan, "Tuan Haryanto datang, Nona." Dia tersenyum pasrah, "Beliau mengkhawatirkan Tuan Muda Devon."

Langkah Rosa terhenti sesaat sebelum mengangguk kecil. Dia berjalan ke ruang tamu dengan Pak Sugi di belakangnya. Namun, sebelum mereka sampai, sudah terdengar suara Kakek Haryanto bergema, "Kamu itu, harusnya tahan dia dan jangan biarkan dia berbuat seenaknya."

Rosa mengernyit, lalu menoleh ke Pak Sugi. Dia bertanya melalui tatapannya, siapa yang sedang diomeli kakek. 

Pak Sugi kembali menunjukkan senyum pasrah. "Itu Rama. Dia ke sini untuk mengambil dokumen yang tertinggal di ruang kerja Tuan Muda Devon. Rama bilang ke saya agar tidak memberi tahu siapa-siapa. Tapi, dia tertangkap basah oleh Tuan Haryanto," jelas Pak Sugi.

"Terus kenapa kakek marah-marah?"

"Tuan ... mendengar kabar perceraian Nona ..." ujar Pak Sugi dengan raut wajah sedih. Tak elak, dirinya juga sangat terkejut mengetahui hal itu. Karena menurutnya, Rosa dan Devon adalah pasangan serasi. Sebetulnya, kepribadian mereka cocok sekali, jika mereka sama-sama berani membuka hati. 

Rosa terperanjat. "Kok, bisa tau?"

Pak Sugi mendesah panjang. "Nona serius ingin berpisah dengan Tuan Muda?"

Pria paruh baya itu enggan menjawab Rosa dan langsung melompat ke inti masalah. "Selama Nona menolak, saya yakin semua akan baik-baik saja. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Mungkin, Tuan Muda Devon hanya belum menyadarinya."

"Mungkin," sahut Rosa pelan.

Pak Sugi menutup mulutnya. Dalam hati, dia tahu perasaan Rosa yang sebenarnya. Pak Sugi juga tahu dia terlalu memaksakan Rosa, tetapi dia tak punya pilihan. Firasatnya berkata, cuma Rosa yang mampu bersanding dengan Devon. 

Mereka tiba di ruang tamu dengan pemandangan Rama yang tengah berlutut di lantai. Sedangkan Kakek Haryanto duduk di sofa sambil menunjuk-nunjuk Rama menggunakan tongkat yang dipakai untuk membantunya jalan. Begitu keduanya merasakan kehadiran Rosa, mereka segera berpaling. 

Senyum Kakek Haryanto merekah sempurna bak bunga mekar. "Ohh, cucuku yang cantik! Kemari, sayang."

Rosa duduk di samping Kakek Haryanto, lalu dengan lembut menangkup tangan kiri kakek dalam genggamannya. Kakek Haryanto bertanya dengan nada cemas, "Bagaimana kabarmu? Apa kamu terluka? Kejadian di restoran itu pasti menakutkan untukmu, kamu tidak apa-apa?"

Sepasang mata biru itu memandang Rosa dengan penuh kekhawatiran. Rosa sedikit terkejut. Namun, tak lama kemudian, dia berhasil mengontrol diri. Terkadang, Rosa lupa kalau kakek berasal dari luar negeri dan memiliki warna mata sebiru laut.

Sayangnya, Devon tidak mewarisi ciri khas kakek. Pria itu sangat berbanding terbalik dengan warna hitam legamnya yang seperti jelmaan Devil. 

Ngomong-ngomong soal asal kakek, Rosa jadi teringat cerita tentang masa lalu beliau sewaktu masih memiliki darah biru mengalir dalam dirinya. Tapi, karena pengkhianatan seseorang, kakek harus kehilangan seluruh keluarganya dan perusahaannya terpaksa gulung tikar. 

Untung nasib baik memihak kakek. Dengan pantang menyerah, kakek pindah ke Indonesia untuk mencoba peruntungannya sampai akhirnya dia bisa membangun kejayaannya di sini. Kakek juga mengubah namanya demi berbaur dengan pengusaha lokal. Tetapi, dia tidak akan pernah melupakan masa lalunya dan siapa dirinya. Maka dari itu, banyak ART yang menggunakan seragam hitam seperti pelayan-pelayan kerajaan sungguhan di rumah ini. Begitu pula dengan cara panggilan mereka terhadap kakek maupun Devon. Semua harus menggunakan 'Tuan'.

Rosa yang tenggelam dalam pikirannya, tidak sadar kalau sejak tadi diajak bicara kakek. Dia tersadar ketika kakek dengan kencang memarahi, "Karena ulah Devon, kamu jadi sedih seperti ini."

Rosa tersentak dan dengan cepat menyela, "Kakek, aku nggak apa-apa. Jangan marah."

"Kamu yakin? Wajah kamu pucat," ujar Kakek Haryanto dengan gusar. 

Rosa merasa dia sangat sehat. Tetapi, dia selalu tampak pucat bagi kakek. Oleh karena itu, dia berusaha meyakinkan kakek dengan berkata, "Iya, aku baik-baik aja. Tenanglah, Kakek nggak perlu khawatir."

"Ini semua salahku. Kakek tidak ingin membuatmu sedih, Rosa. Kakek berharap kamu bisa bahagia setelah menikahi Devon. Kamu akan dijaga dan disayangi sepenuh hati olehnya, sebagaimana nenek kamu menyayangimu," ucap Kakek Haryanto lemah lembut. 

Dia menggeleng. "Nyatanya, Kakek salah besar. Tidak seharusnya Kakek memaksakan perasaan kalian karena keegoisan Kakek yang ingin membalas budi kepada nenek kamu."

Pak Sugi menundukkan kepala karena merasa tertusuk kata-kata Kakek Haryanto. Dia telah melakukan hal yang sama.

Aih, apakah benar-benar sudah tak ada harapan?

Rosa tersenyum menenangkan dan dengan enteng berujar, "Jangan salahkan diri Kakek. Semua ini salah Devon."

Kakek Haryanto langsung tertawa kencang setelah mendengar candaan Rosa. "Hahaha! Kamu benar. Memang anak itu yang salah."

Roa ikut tertawa lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Iya, kan! Aku awalnya kesal banget. Tapi, sekarang udah nggak, hehe."

"Kenapa? Karena anak itu sudah dapat tulahnya, ya?"

"Betul. Hihihi," kekeh Rosa.

Penyesalan dan rasa bersalah kakek mulai sirna dengan senda gurau Rosa. Mereka berdua begitu antusias membicarakan detail kejadian di restoran. Rosa menceritakan kemalangan Devon dengan gestur dan ekspresif. Di sisi lain, kakek mendengarkan sungguh-sungguh dengan air muka yang serius. Kadang kala, keduanya tertawa terbahak-bahak saat membahas reaksi Devon.

Usai tawanya reda, mimik wajah Kakek Haryanto berubah khawatir lagi. Dia menggenggam erat tangan Rosa. "Katakan yang sejujurnya kepada Kakek."

"Mm?"

"Jika bersama Devon menyesakkanmu dan ... kebebasan adalah impianmu, maka hapuskan keraguan yang ada dan turutilah kata hatimu."

Kakek Haryanto mengangkat tangan, mengelus kepala Rosa dengan sayang. Suaranya lembut dan bersahaja. "Pergilah ke mana takdir membawamu. Tak harus gentar akan rintangan. Hiraukan segala batasan."

"Kakek mendukungmu. Bahkan bila kalian bercerai, kamu tidak usah takut hidup susah. Kakek selalu ada untukmu."

Rosa mengerjap-ngerjap cepat supaya genangan air matanya tidak tumpah. Kehangatan Kakek menyentuh lubuk hatinya, mengguncangkan pertahanan yang telah dia bangun dengan kokoh. Suara Rosa sedikit bergetar ketika berkata, "... Aku nggak mau pergi ke mana-mana, kok."

Kakek Haryanto menyunggingkan senyum. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 74 - Menyetir Opini Netizen

    "Masih kutahan beberapa berita di internet," jawab Devon jujur. Tatapannya bertengger lama dan penuh arti di Rosa. "Kamu tau siapa yang menghapusnya?"Rosa menghindari pandangan Devon dengan kikuk. Rosa tidak tahu pasti siapa, tapi dia punya gambaran jelas tentang kemungkinannya. Hanya ada dua orang yang bisa melakukan hal tersebut dan dengan mudahnya bersaing melawan bawahan Devon. Bisa jadi itu kakaknya. Sebab jika ada orang yang mau membela Rosa hingga sejauh itu, maka kakaknya akan berdiri di barisan terdepan. Sejak kecil, dia selalu overprotektif terhadap Rosa dan telah berpengalaman membereskan setiap kekacauan yang Rosa buat. Namun, sepertinya tidak masuk akal bila itu kakaknya. Rosa merinding sekilas membayangkan kakaknya. Arsen tidak bakal tinggal diam bila terjadi sesuatu padanya, tetapi selaras dengan itu, omelan Arsen tidak akan bisa direm juga. Sembari menghapus berita itu, Arsen paling menyeretnya pulang langsung dan memarahinya. Berhubung kehidupan Rosa masih damai

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 73 - Rival Devon

    Rosa tertidur lelap malam itu, meski dunia maya sedang gonjang-ganjing mengabarkan berita yang tidak-tidak mengenai cinta segitiga antara dia, Devon, dan Kirana. Dipikirannya, Rosa merasa tidak begitu dirugikan. Rosa tidak terlalu peduli dengan opini masyarakat yang tak berpengaruh langsung ke kehidupannya. Justru dari kesempatan ini, Rosa sangat penasaran bagaimana Devon akan menyikapinya walau dia bilang akan mengikuti arahan Rosa. Apa pada akhirnya Devon benar-benar berani mengacaukan adik sahabatnya? Bahkan sampai rela mengorbankan reputasi Rosa bila Brian memohon untuk melepaskan Kirana?Atau, Devon tetap memegang ucapannya dan menuruti keinginan Rosa hingga syuting selesai?Ini adalah tes penting yang harus Devon lewati.Jawabannya mungkin dapat mengubah keputusan Rosa.Netizen yang begadang, banyak memposting ulang berita yang mengaitkan antara Kirana dan Devon. Di satu sisi, Kirana adalah artis papan atas yang sedang naik daun, sedangkan Devon adalah CEO termuda dengan kekay

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 72 - Menunggu Saat yang Tepat

    Udara bagai membeku bersama kengerian yang ditunjukkan Devon. Refleks, Rosa melepaskan diri dari cekalan Devon, lalu bergabung dengan Rama untuk melipir ke sofa demi menjauhi aura menyeramkan Devon. Mereka berdua kompak terdiam dan menunggu rekasi Devon.Entah Devon akan meradang atau masih bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Rosa duduk seraya menghela napas, sementara Rama memilih untuk tetap berdiri di sebelah Rosa. Kerutan di dahi Devon tampak dalam dan bergelombang seperti ombak. Raut wajahnya tertekuk kaku. "Kenapa bisa keluar sebutan seperti itu?"Pertanyaan Devon merujuk pada panggilan Rosa di skandal tersebut yang digadang-gadang sebagai pelakor. Rama yang cepat tanggap, segera melontarkan jawaban lengkapnya, "Karena konten video tersebut, Tuan Muda. Editornya pintar, mengedit bagian-bagian tertentu yang menampilkan seolah-olah Nona telah memisahkan Tuan Muda dan Kirana."Rosa penasaran sekali ingin melihat videonya. Dia mencoba mencarinya sendiri. Tetapi, belum sem

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 71 - Rosa Viral!

    Melodi jazz melantun lembut. Api lilin berdansa manis, bagai menemani detak jantung Rosa yang melompat-lompat tak karuan. Cahaya di sekeliling mereka berseri temaram seakan menyokong suasana romantis ini hingga ke puncaknya. [Curang.]Devon hanya perlu bertanya langsung untuk Rosa menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan Rosa butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan setitik demi setitik informasi mengenai Devon. Dipikir-pikir, rasanya tidak adil. Namun, Rosa tak sanggup menolak permintaan tulus Devon. Lidahnya kelu dan hatinya tak rela membayangkan Devon akan mundur bila Rosa menolak. Rosa hanya mampu menggerutu dalam hati. [Nggak ada yang bisa kuajarkan. Ciuman Devon jauh lebih panas dan ahli. Mm ... penuh gairah dan memabukkan, sampai membuat lututku lemas.]Devon tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu mencondongkan badan ke depan dengan masing-masing siku di tepi meja. Tangannya terangkat ke atas, membentuk segitiga dengan jari-jemarinya yang saling bertaut di tengah—menutupi mu

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 70 - Ajari aku caranya

    Rosa nyaris gagal menyembunyikan senyumnya ketika melihat wajah tegang Devon. Begitu sisi usilnya muncul, Rosa tidak bisa berhenti. Senyumnya tersirat jenaka. "Menyenangkan, kok. Cuma ... sangat normal. Nggak seperti yang kukira."Air muka Devon meredup. Terlihat jelas kalau kejujuran Rosa mengusik pikirannya. Saat Devon kembali membuka mulut, dia terdengar seperti habis berpuasa seharian penuh—suaranya parau. "Emang yang kamu pikirkan itu seperti apa?"Berdasarkan sifat arogan Devon, Rosa sudah siap menerima penyangkalan Devon atau pembenaran bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi, Devon malah langsung masuk ke poin utamanya. Rosa yang tak menyangka akan ditanya balik itu, seketika membisu.[Aku juga nggak tau kayak gimana. Aku belum pernah pacaran!]Wajah mungil Rosa terlipat bimbang. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengerucut ke atas. “Um, seharian bersama?” Secara, mereka baru keluar nonton sebentar, belanja kilat, lalu makan. Dan bahkan, makan malam mereka

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 69 - Dinner

    "Setiap hari yang terlewat akan kukenakan denda karena terlambat."Devon memicingkan mata dan menyudutkan Rosa. "Sekarang sudah lebih dari dua hari."Rosa mengerjap. [Kamu hitung?]Walaupun Rosa terkesima dengan sifat perhitungan Devon dan merasa bersalah, dia tetap tak terima bila harus didenda. "Nggak usah pakai denda, kan, bisa," keluh Rosa."Kalau gitu, kamu harus kasih malam ini." Devon berkompromi, tetapi setengah memaksa. Alisnya bertaut seakan mendesak Rosa.[Segitu pengennya dikasih hadiah? Padahal dia udah dapat banyak kemarin.]"Bisa?" tanya Devon dengan penuh penekanan. Mau tak mau, Rosa mengangguk pasrah. "Okay."[Barang yang kubeli nggak seberapa, itupun juga pakai uangnya. Mungkin masih bagusan hadiah dari tamu yang lain.]Setelah merasa puas dengan jawaban Rosa, Devon menegakkan badan dan membelakangi mereka. Terdengar suaranya sayup-sayup berkata, "Hadiah dari kamu berbeda.""Apa?" tanya Rosa dengan nada meninggi karena tidak dengar. Rama yang berada di sebelah Dev

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status