Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh.
"Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga.
Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'
Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?"
"Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.
Namun, siapa sangka Devon malah balik bertanya, "Emang kamu bisa dipercaya?"
"...." Rosa tertohok, tak bisa langsung menjawab.
"Kamu juga bukan tipeku," ujar Devon sadis. Tatapan yang luput akan perasaan itu menancap pada Rosa.
"!!!" Rosa terdiam seribu bahasa dengan mata membelalak. Dia tidak percaya Devon memberikan pukulan telak seperti ini.
"Tapi lebih baik sama aku. Kamu udah kenal aku dari lama. Aku bukan orang yang kayak gitu," balas Rosa.
"Oh ya?"
"...."
'Tenang. Tarik napas, keluarin, tarikkk, keluarin. Membunuh itu dilarang.'
Devon menyeringai tipis sebelum bertanya tak acuh, "Kayak gitu gimana maksud kamu?"
"Yang jelas, aku nggak bermaksud jahat." Rosa dengan keras kepala menekankan, "Buktinya selama kita menikah kamu masih suci, nggak terjamah."
"Uhuk!" Devon tersedak ludahnya sendiri.
Wanita ini!
Devon menggeram marah. Tangan Devon gatal ingin membuka batok kepala Rosa dan melihat isi kepalanya. Yah, meski dia bisa mendengar suara pikiran Rosa tanpa perlu membuka apa-apa. Walaupun begitu, Devon tetap tercengang sewaktu Rosa tidak berpikir lebih dulu sebelum ucapannya mengalir begitu saja.
"Kau perempuan, bukan? Bagaimana bisa bicara seperti itu," ujar Devon seraya menggertakkan gigi.
Rosa mengedip-ngedip cepat setelah mendengar keraguan Devon. Dalam hati, dia berpikir, 'Aku perempuan tulen. Beda sama Devon yang bukan lelaki sejati. Meski dia nggak senang dengan perjodohan kami, harusnya seorang laki-laki akan tetap meminta jatahnya.'
Devon, "...!"
Pandangan Rosa berubah serius memikirkan kejantanan Devon. 'Jangan bilang dia impoten? 'Itu'nya tidak bisa berdiri?'
"Berhenti bicara." Devon mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Seluruh tubuhnya berguncang menahan amarah.
"Aku belum ngomong ...." sahut Rosa sambil memiringkan kepala sedikit, tampak kebingungan.
Suara hatinya kembali bergema. Di tatapan Rosa tersirat rasa iba untuk Devon. '... Nafsu yang tak tersalurkan membuatnya gampang marah. Kasian, perjaka tua.'
SLASH!
Sebutan 'perjaka tua' menggores hati kecil Devon setajam silet, mengoyak-oyak harga dirinya sampai hampir tak bersisa. Dalam seketika, semburat merah menyala menjalar dari wajah hingga ke lehernya. Devon berusaha sekuat tenaga untuk tidak melempar Rosa keluar jendela.
Urat-urat di pelipis Devon menonjol, berdenyut kencang. Matanya berkilat sengit. "Keluar."
"Hm?"
"Keluar!!" bentak Devon menggelegar.
"Okay, okay!" Tanpa babibu, Rosa kabur meninggalkan Devon sendiri di kamar. Karena kelihatannya Devon murka sekali. Tetapi timing-nya pas.
Rosa sudah tak sanggup lagi berada di dekat pria itu. Dia takut ketularan judesnya Devon. Lagi pula, orang bijak itu tahu kapan harus mundur.
---
Rosa menghabiskan waktu di perjalanan pulang dengan memandangi hiruk pikuk kendaraan lain melaju kencang dan melewatinya silih berganti. Pak Sopir memperhatikan suasana melankolis yang melekat pada Rosa dari kaca spion tengah.
Pak Sopir dengan pengertian menyetel lagu galau. Rosa melirik sekilas ke arah sopir, kemudian termenung. Bukannya lebih baik mencari lagu penyemangat supaya dia tidak sedih?
Namun, Pak Sopir memegang teguh prinsipnya yang kalau sedang galau itu obatnya hanya mendengar lagu melow! Apalagi jika lagu itu berhasil membuat kita meneteskan air mata tersedu-sedu. Setelah menangis, dijamin, semangat kita akan menggebu lagi. Tetapi, justru karena itulah mood Rosa yang sudah buruk menjadi makin kacau seolah sedang terjun bebas ke jurang terdalam.
Setengah jam kemudian, mobil memasuki kawasan perumahan elit Jakarta, yang biasa dihuni oleh para pejabat, artis papan atas, atau pengusaha sukses lain.
Mobil Rolls-Royce hitam itu berhenti tepat di halaman rumah termegah perumahan. Begitu Rosa turun dan menginjakkan kaki, dia langsung disambut oleh pria paruh baya yang mengenakan setelan hitam rapi. Pak Sugi, sebagai kepala ART di rumah Devon, membungkuk sedikit dan menyapa Rosa, "Anda sudah pulang, Nona."
"Um ... Iya," sahut Rosa letih. Dia ingin cepat-cepat mandi dan beristirahat.
Pak Sugi menangkap kelelahan Rosa, tetapi dirinya tetap harus menyampaikan, "Tuan Haryanto datang, Nona." Dia tersenyum pasrah, "Beliau mengkhawatirkan Tuan Muda Devon."
Langkah Rosa terhenti sesaat sebelum mengangguk kecil. Dia berjalan ke ruang tamu dengan Pak Sugi di belakangnya. Namun, sebelum mereka sampai, sudah terdengar suara Kakek Haryanto bergema, "Kamu itu, harusnya tahan dia dan jangan biarkan dia berbuat seenaknya."
Rosa mengernyit, lalu menoleh ke Pak Sugi. Dia bertanya melalui tatapannya, siapa yang sedang diomeli kakek.
Pak Sugi kembali menunjukkan senyum pasrah. "Itu Rama. Dia ke sini untuk mengambil dokumen yang tertinggal di ruang kerja Tuan Muda Devon. Rama bilang ke saya agar tidak memberi tahu siapa-siapa. Tapi, dia tertangkap basah oleh Tuan Haryanto," jelas Pak Sugi.
"Terus kenapa kakek marah-marah?"
"Tuan ... mendengar kabar perceraian Nona ..." ujar Pak Sugi dengan raut wajah sedih. Tak elak, dirinya juga sangat terkejut mengetahui hal itu. Karena menurutnya, Rosa dan Devon adalah pasangan serasi. Sebetulnya, kepribadian mereka cocok sekali, jika mereka sama-sama berani membuka hati.
Rosa terperanjat. "Kok, bisa tau?"
Pak Sugi mendesah panjang. "Nona serius ingin berpisah dengan Tuan Muda?"
Pria paruh baya itu enggan menjawab Rosa dan langsung melompat ke inti masalah. "Selama Nona menolak, saya yakin semua akan baik-baik saja. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Mungkin, Tuan Muda Devon hanya belum menyadarinya."
"Mungkin," sahut Rosa pelan.
Pak Sugi menutup mulutnya. Dalam hati, dia tahu perasaan Rosa yang sebenarnya. Pak Sugi juga tahu dia terlalu memaksakan Rosa, tetapi dia tak punya pilihan. Firasatnya berkata, cuma Rosa yang mampu bersanding dengan Devon.
Mereka tiba di ruang tamu dengan pemandangan Rama yang tengah berlutut di lantai. Sedangkan Kakek Haryanto duduk di sofa sambil menunjuk-nunjuk Rama menggunakan tongkat yang dipakai untuk membantunya jalan. Begitu keduanya merasakan kehadiran Rosa, mereka segera berpaling.
Senyum Kakek Haryanto merekah sempurna bak bunga mekar. "Ohh, cucuku yang cantik! Kemari, sayang."
Rosa duduk di samping Kakek Haryanto, lalu dengan lembut menangkup tangan kiri kakek dalam genggamannya. Kakek Haryanto bertanya dengan nada cemas, "Bagaimana kabarmu? Apa kamu terluka? Kejadian di restoran itu pasti menakutkan untukmu, kamu tidak apa-apa?"
Sepasang mata biru itu memandang Rosa dengan penuh kekhawatiran. Rosa sedikit terkejut. Namun, tak lama kemudian, dia berhasil mengontrol diri. Terkadang, Rosa lupa kalau kakek berasal dari luar negeri dan memiliki warna mata sebiru laut.
Sayangnya, Devon tidak mewarisi ciri khas kakek. Pria itu sangat berbanding terbalik dengan warna hitam legamnya yang seperti jelmaan Devil.
Ngomong-ngomong soal asal kakek, Rosa jadi teringat cerita tentang masa lalu beliau sewaktu masih memiliki darah biru mengalir dalam dirinya. Tapi, karena pengkhianatan seseorang, kakek harus kehilangan seluruh keluarganya dan perusahaannya terpaksa gulung tikar.
Untung nasib baik memihak kakek. Dengan pantang menyerah, kakek pindah ke Indonesia untuk mencoba peruntungannya sampai akhirnya dia bisa membangun kejayaannya di sini. Kakek juga mengubah namanya demi berbaur dengan pengusaha lokal. Tetapi, dia tidak akan pernah melupakan masa lalunya dan siapa dirinya. Maka dari itu, banyak ART yang menggunakan seragam hitam seperti pelayan-pelayan kerajaan sungguhan di rumah ini. Begitu pula dengan cara panggilan mereka terhadap kakek maupun Devon. Semua harus menggunakan 'Tuan'.
Rosa yang tenggelam dalam pikirannya, tidak sadar kalau sejak tadi diajak bicara kakek. Dia tersadar ketika kakek dengan kencang memarahi, "Karena ulah Devon, kamu jadi sedih seperti ini."
Rosa tersentak dan dengan cepat menyela, "Kakek, aku nggak apa-apa. Jangan marah."
"Kamu yakin? Wajah kamu pucat," ujar Kakek Haryanto dengan gusar.
Rosa merasa dia sangat sehat. Tetapi, dia selalu tampak pucat bagi kakek. Oleh karena itu, dia berusaha meyakinkan kakek dengan berkata, "Iya, aku baik-baik aja. Tenanglah, Kakek nggak perlu khawatir."
"Ini semua salahku. Kakek tidak ingin membuatmu sedih, Rosa. Kakek berharap kamu bisa bahagia setelah menikahi Devon. Kamu akan dijaga dan disayangi sepenuh hati olehnya, sebagaimana nenek kamu menyayangimu," ucap Kakek Haryanto lemah lembut.
Dia menggeleng. "Nyatanya, Kakek salah besar. Tidak seharusnya Kakek memaksakan perasaan kalian karena keegoisan Kakek yang ingin membalas budi kepada nenek kamu."
Pak Sugi menundukkan kepala karena merasa tertusuk kata-kata Kakek Haryanto. Dia telah melakukan hal yang sama.
Aih, apakah benar-benar sudah tak ada harapan?
Rosa tersenyum menenangkan dan dengan enteng berujar, "Jangan salahkan diri Kakek. Semua ini salah Devon."
Kakek Haryanto langsung tertawa kencang setelah mendengar candaan Rosa. "Hahaha! Kamu benar. Memang anak itu yang salah."
Roa ikut tertawa lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Iya, kan! Aku awalnya kesal banget. Tapi, sekarang udah nggak, hehe."
"Kenapa? Karena anak itu sudah dapat tulahnya, ya?"
"Betul. Hihihi," kekeh Rosa.
Penyesalan dan rasa bersalah kakek mulai sirna dengan senda gurau Rosa. Mereka berdua begitu antusias membicarakan detail kejadian di restoran. Rosa menceritakan kemalangan Devon dengan gestur dan ekspresif. Di sisi lain, kakek mendengarkan sungguh-sungguh dengan air muka yang serius. Kadang kala, keduanya tertawa terbahak-bahak saat membahas reaksi Devon.
Usai tawanya reda, mimik wajah Kakek Haryanto berubah khawatir lagi. Dia menggenggam erat tangan Rosa. "Katakan yang sejujurnya kepada Kakek."
"Mm?"
"Jika bersama Devon menyesakkanmu dan ... kebebasan adalah impianmu, maka hapuskan keraguan yang ada dan turutilah kata hatimu."
Kakek Haryanto mengangkat tangan, mengelus kepala Rosa dengan sayang. Suaranya lembut dan bersahaja. "Pergilah ke mana takdir membawamu. Tak harus gentar akan rintangan. Hiraukan segala batasan."
"Kakek mendukungmu. Bahkan bila kalian bercerai, kamu tidak usah takut hidup susah. Kakek selalu ada untukmu."
Rosa mengerjap-ngerjap cepat supaya genangan air matanya tidak tumpah. Kehangatan Kakek menyentuh lubuk hatinya, mengguncangkan pertahanan yang telah dia bangun dengan kokoh. Suara Rosa sedikit bergetar ketika berkata, "... Aku nggak mau pergi ke mana-mana, kok."
Kakek Haryanto menyunggingkan senyum. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"
Telepon itu berakhir dengan tak mengenakkan. Rosa menutup matanya. Keningnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Ekspresi wajahnya seolah menahan memori-memori yang sedang berusaha mati-matian berenang ke permukaan untuk mengacaukan hari Rosa. Dia merasakan di suatu sudut hatinya bagai tertusuk jarum pentul. Tak terlalu sakit, tapi tetap meninggalkan bekas setiap kali dia mengingat kejadian-kejadian menyedihkan itu. Rosa tidak sembarangan bicara saat berkata temannya akan menemukan jasadnya nanti kalau dia tak mau menolong. Semoga saja apa yang dia inginkan berjalan lancar. Rosa berdoa dengan segenap sisa-sisa harapannya. ---Ketika rapat usai, Devon kembali ke ruangan dan melihat Rosa duduk manis di sofa, tampak serius. Entah mungkin membaca novel picisan tadi. Devon berhenti di depan Rosa, terpisahkan oleh meja di antara mereka. Namun, Rosa masih belum sadar. Devon sudah memikirkannya selama rapat. Dia tidak nyaman bekerja ditemani Rosa begini. Lebih baik pulang dan meneruska
"Kenapa ... mendadak?" Devon mengangguk ringan. "Sesekali aku harus pulang menengok keadaan rumah."Rosa serta merta menghembuskan napas panjang dan lega. 'Mungkin dia cuma mau nginap semalam. Nggak apa-apa. Aku masih tahan kalo sehari doang.'Namun, Devon seperti tak puas. Dia melemparkan bom berikutnya. "Aku akan tinggal di rumah sampai waktunya kita cerai."Air muka Rosa berubah keruh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kaku saat berkata, "Sayang, aku bahagia banget kamu mau pulang. Tapi, apartemen kamu gimana? Tempat tinggal yang lama dibiarkan kosong bakal memancing hawa buruk."Devon menaikkan sedikit sebelah alisnya. Dia bertanya skeptis, "Sirkulasi udaranya bagus. Apanya yang hawa buruk?""Sayang, setan.""Kamu ngatain aku setan?""Bukan, Sayang. Setan suka tempat-tempat kosong tak berpenghuni," ucap Rosa sambil memasang ekspresi meyakinkan. Devon lantas mencibir, "Kebanyakan nonton film horor.""Kamu belum ngalamin kejadian mistis, jadi nggak tahu seberapa menakutkannya hal
'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati. Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti. 'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan
Lalu, selanjutnya apa?Petanyaan kakek memantul di benak Rosa dan kali ini dia bisa menjawab dengan pasti, "Aku akan membuat Devon berubah pikiran."Agar Rosa tetap berada di samping Devon, dia mengatakan mantap-mantap, "Aku akan mengusahakan yang terbaik."Guratan-guratan halus di wajah kakek Haryanto tertarik karena senyumnya mengembang. Kakek berkata, "Yasudah jika itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan sungkan untuk bilang ke Kakek kalau kamu tidak mau lagi bersama Devon, ya. Nanti biar Kakek carikan suami baru yang lebih baik dari dia!"Rosa tergelak. "Devon cucu Kakek, kan?""Iya. Tapi anak itu benar-benar tidak bisa diatur! Dia terlalu kaku jadi orang dan tidak ada lucunya sama sekali. Masih bagus Kakek jodohkan dengan kamu.”Rama yang sedari tadi sibuk menyimak, tidak bisa menahan diri lagi untuk menyahut, "Kalo ada yang bilang Tuan Muda lucu, mungkin matanya katarak.""Diam kamu!" hardik kakek Haryanto sembari mengayunkan tongkat jalannya untuk menggetok paha Rama yang sedang b
Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh. "Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga. Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?" "Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.Namun, siapa sangka Devon malah b
Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya. Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya. Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya. 'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?'