Beranda / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 5 - Berdansa dengan Api

Share

Chapter 5 - Berdansa dengan Api

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 15:11:07

Lalu, selanjutnya apa?

Petanyaan kakek memantul di benak Rosa dan kali ini dia bisa menjawab dengan pasti, "Aku akan membuat Devon berubah pikiran."

Agar Rosa tetap berada di samping Devon, dia mengatakan mantap-mantap, "Aku akan mengusahakan yang terbaik."

Guratan-guratan halus di wajah kakek Haryanto tertarik karena senyumnya mengembang. Kakek berkata, "Yasudah jika itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan sungkan untuk bilang ke Kakek kalau kamu tidak mau lagi bersama Devon, ya. Nanti biar Kakek carikan suami baru yang lebih baik dari dia!"

Rosa tergelak. "Devon cucu Kakek, kan?"

"Iya. Tapi anak itu benar-benar tidak bisa diatur! Dia terlalu kaku jadi orang dan tidak ada lucunya sama sekali. Masih bagus Kakek jodohkan dengan kamu.”

Rama yang sedari tadi sibuk menyimak, tidak bisa menahan diri lagi untuk menyahut, "Kalo ada yang bilang Tuan Muda lucu, mungkin matanya katarak."

"Diam kamu!" hardik kakek Haryanto sembari mengayunkan tongkat jalannya untuk menggetok paha Rama yang sedang bersimpuh di lantai. Rama langsung mengaduh kencang karena sebenarnya kaki dia sudah kesemutan dan begitu digetok, rasanya seperti disetrum.

"Kamu juga sama aja! Sudah diingatkan berapa kali untuk mengawasi anak itu dengan baik, tapi kamu malah menuruti semua perkataannya," ujar kakek Haryanto.

Rama menciut setelah diomeli Kakek. Dia ingin menangis. Namun, tidak ada air mata yang bisa keluar. "... Tuan Muda mengancam saya ... supaya tidak melapor kepada Tuan ...."

Memang ini salah dia? Diancam sana-sini bagaikan dihimpit dua tank!

"Terus kamu dengerin?!" Tongkat kakek Haryanto melayang kembali menggebuk Rama.

"Aduuu-duu ...! Maaf Tuan ..." cicit Rama sambil menghindar, yang malah semakin membuat kakek naik pitam.

Sebelum keadaan menjadi makin kacau, Rosa mengubah pembicaraan. "Kakek hari ini nginep?"

"Tidak. Kakek mau pulang. Toh, anak itu tidak apa-apa," jawab kakek Haryanto dengan dada yang kerap naik dan turun karena emosi. Matanya sigap memelototi Rama agar tidak kabur.

Rosa tersenyum tipis. Ternyata kakek hanya ingin memastikan keadaan Devon, tetapi terlalu marah untuk menengok langsung cucunya di rumah sakit. "Yakin? Kakek nggak mau temenin Rosa?"

Kakek Haryanto menghela napas. "Kamu temani Devon saja. Waktu orang lagi sakit, mereka sering merasa kesepian. Siapa tahu, kali ini, anak itu bisa merasakan ketulusan kamu."

"Okay, aku ngerti," kata Rosa dengan anggukan kecil.

Kemudian, Rosa mengantar kakek ke mobil dan menatap kepergian mobil itu sampai menghilang di kelokan taman. Baru lah, Rosa masuk ke rumah. Kebetulan Rosa berpas-pasan dengan Rama yang berjalan terseok-seok keluar. Ringisannya terdengar menyedihkan bagi Rosa.

Rosa memandang Rama penuh simpati. "Asisten Rama nggak apa-apa?"

"Aman, Nona," ujar Rama yang diiringi senyum kaku di wajahnya. "Oh iya, barusan saya dapat kabar dari rumah sakit. Katanya Tuan Muda diperbolehkan pulang, besok pagi."

Rosa ternganga. Mata Rosa melebar dan nadanya meninggi sedikit. "Secepat itu?"

"Tuan Muda maunya begitu. Kayaknya nggak bisa jauh-jauh dari pekerjaannya di kantor. Ckckck, workaholic," sahut Rama seraya mengedikkan bahu.

"Tapi kalo secepat ini memangnya boleh?"

Rawa tertawa canggung. "Harus boleh."

Sudut bibir Rosa berkedut. Senyumnya tergantung kaku. “Ya … udah. Besok aku akan datang menjemput Devon.”

Rama mengangguk. “Siap, Nona.”

Selepasnya, mereka berdua berpisah arah. Rosa berjalan ke kamarnya dengan kerutan di dahi, merenungi kebiasaan Devon sang workaholic sebagai sebuah petaka.

Semakin gila dia bekerja siang dan malam, sebesar itu pula kesulitan Rosa untuk menggaet perhatiannya, yang mungkin nyaris sudah tak bersisa selain untuk memikirkan setumpuk dokumen menggunung itu dikepala Devon. 

Rosa membuka laptop, menggali-gali histori browser tersebut hingga ke saat pertama kali dia baru sampai di rumah ini dan tengah melewati malam pertama sendirian. Bahkan dari kiat-kiat menggugah selera pria, menyingkap nafsu pria, bagaimana membuat mereka bertekuk lutut dan memohon, di pencarian browsernya itu tak ada satupun yang bekerja. Memancing decihan sebal Rosa kala itu. 

Sebetulnya tak ada guna juga bernostalgia dengan artikel-artikel itu. Tapi bisa jadi petunjuk baru untuk TIDAK melakukan yang tertulis disana dan mencoba segalanya selain di isi artikel. 

Contoh, dikatakan untuk tak memaksa seorang pria dan memberinya ruang untuk bernapas. Okay, noted. Dia akan bertransformasi jadi super-glue atau berubah jadi spiderwoman dan menggunakan jaringnya agar terus terjerat pada Devon. 

Contoh kedua, para lelaki suka diperhatikan, diperlakukan baik dan lembut juga, sama dengan halnya wanita. Baiklah. Mulai besok panggil dia si kucing nakal! Rosa akan memoles tubuhnya se-seksi Lady Gaga. 

Karena wanita itu harus ditaklukan. Pria butuh tantangan!

Selagi bola matanya bergerak lincah mengulik kata per kata, kepala Rosa ikut manggut-manggut. Dia berkutat lamanya di depan layar dengan kesungguhan yang tak main-main. Ketika alarm beauty sleepnya berbunyi, Rosa menghirup napas dalam-dalam sekali hirup sebelum menghembuskannya dengan sekali hentak. 

Meski matanya berbinar cerah dan dada rasanya seperti meledak-ledak dalam letupan antusiasme, Dia masih harus tidur. Maka dari itu, setelah menutup laptop, mandi dan bebersih, kemudian menyelimuti dirinya dengan nyaman, Rosa bergumam 'Lihat aja kau, Devon'. 

Di tempat tidur lain, 

Devon yang telah lebih dulu mengistirahatkan matanya, spontan melonjak kaget. Alur napasnya agak kacau sambil terengah-engah. Dia semacam habis melihat iblis wanita mendekat berbisik. Kata-katanya terdengar buram, tetapi Devon tahu saja kalau itu bukan sesuatu yang dia harapkan. 

Devon mengerang geram. Terlalu banyak kejadian mistis di sekitarnya.

Besok dia harus minta Rama mencarikan orang pintar. 

---

Situasi rumah sakit tampak lenggang. Wajar, karena baru jam tujuh pagi saat ini. Tetapi Rosa dengan dedikasi tinggi, siap memulai pekerjaan, eh, tugas, melayani Devon yang ingin pulang sebentar lagi.

Rosa sempat bertemu Rama yang langsung pergi ke bagian administrasi dan tanpa banyak omong menyerahkan Devon kepadanya. Dari yang Rosa tangkap, Devon sepertinya ingin mengejar waktu masuk jam kantor. 

Tok. Tok. 

Dia mengetuk pelan. Setelah itu, membuka sedikit celah, melongokkan kepala masuk. 

Devon berdiri tegap membelakangi pintu. Dia sedang memakai kemeja putih yang membingkai bahu lebarnya hingga turun ke pinggang ramping nan seksi, dengan setiap lekukan otot yang terlatih dan terbentuk menawan makin meningkatkan kegagahan pria itu.

Ketika Devon menyimpang sedikit, Rosa hampir melotot penuh, mengira apakah pandangan ini membohonginya. Pasalnya, Rosa menangkap samar-samar garis V yang terpahat indah di bagian perut bawah Devon, membuat imajinasinya melayang macam-macam. 

'Rayuan lelaki gila!' pekik Rosa dalam hati. 

Gerakan tangan Devon berhenti sejenak, lalu melemparkan tatapannya ke samping. 

Devon sontak merinding hebat. Rosa kelihatan menggelikan sekaligus menyeramkan dengan wajah tomat dan mata yang terpaku lekat pada tubuhnya. Dia memberengut sebelum mempercepat gerakannya mengancing kemeja dan memakai jas. Terus, Devon berjalan mengambil dasinya di atas tempat tidur. 

Rosa terbatuk kecil, berusaha menutupi kejanggalannya. "Biar kubantu pasang dasinya."

"Tidak usah. Aku bisa sendiri," kata Devon sambil mengambil langkah mundur. Dia menghindari raihan tangan Rosa yang selangkah lebih cepat. 

"Jangan malu-malu, Sayang. Aku udah latihan di rumah supaya bisa pakaikan baju kamu. Yah, walau sekarang cuma dasi aja ... tapi yang lain menyusul," sahut Rosa. Suaranya dibuat lembut, intonasinya ditekan rendah, sementara jari jemarinya menjalari dada bidang Devon. Mengelana pelan, menelurusi garis otot lelaki itu dengan ujung telunjuk sebelum melebarkan telapak tangannya yang kemudian merapat di tengah perut Devon.

Pelipis Devon berdenyut-denyut, merasakan segelintir sensasi hangat menerpa di setiap usapan lembut Rosa. Sekarang, perutnya panas dari hantaran telapak tangan Rosa. Panas itu meresap naik sampai ke ubun-ubun Devon.

Hal berikutnya yang dia tahu, Devon telah menepis tangan Rosa. 

"Oh, maaf. Terlalu lama, ya?" tanya Rosa, tak merasa tersinggung sama sekali dengan perlakuan Devon. Kali ini, dia langsung memegang dasi yang teruntai di leher Devon dan mulai merapihkannya. 

Devon menengok ke bawah. Matanya terjatuh ke pucuk kepala Rosa yang setinggi pundaknya. Tatapan Devon mengecam Rosa, dingin tapi mengandung desir-desir kemarahan. Dia berkata dengan geraman teredam, "You did it on purpose."

"I don't know what you mean," jawab Rosa tenang. Ekspresinya terlihat serius, seolah sedang mengerjakan ujian nasional. 

Namun, pakaian yang dikenakan Rosa mencerminkan sebaliknya.

Menilai dari tinggi Devon yang mencapai 177 cm, Rosa tak bisa dibilang pendek. Jadi dress bodycon krem sepaha itu membuat kakinya semakin jenjang. Bagian pinggangnya meliuk sempurna dan gunung kembarnya menonjol tepat sasaran, mengundang dengki wanita-wanita lain. Warna kulitnya bersinar seputih susu, semulus kulit bayi. Rabut hitam panjangnya terurai luwes. Dengan cardigan sweater putih, Rosa menguarkan nuansa lemah lembut dan manis. 

Walaupun, menurut Devon tidak begitu. Devon mencibir pakaiannya yang tak pantas digunakan menjenguk pasien. Malah lebih senada jika dipakai menggoda orang. 

Devon segera menjauhkan mukanya dari Rosa disaat wanita itu mendongak, mencari-cari tatapannya. 

Rosa tersenyum simpul. "Aku nggak makan kamu, kok. Kenapa harus menghindar?"

Wajah rupawan Devon menggelap. Air mukanya berubah keruh seperti dasar got dan dia memberengut. Tapi dia tidak bicara apapun, selain, "Minggir."

"Um," Rosa melepas genggamannya dan menepi, hanya untuk berujar, "Aku ikut ke kantor ya."

"Tidak," jawab Devon singkat.

"Aku janji bakal duduk manis. Nggak ganggu kamu, nggak ajak ngobrol, dan nggak berisik. Kamu bahkan nggak akan ngerasain kehadiranku disitu, Sayang."

Devon tersenyum mengejek. "Kamu tau kenapa aku menolak?"

Rosa menginjak rem kakinya kuat-kuat, nyaris menabrak punggung Devon di depannya. Setelah mengusap-usap dada, Rosa menautkan alis, "Emang kenapa?"

"Itu karena aku tau kamu punya agenda lain."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 74 - Menyetir Opini Netizen

    "Masih kutahan beberapa berita di internet," jawab Devon jujur. Tatapannya bertengger lama dan penuh arti di Rosa. "Kamu tau siapa yang menghapusnya?"Rosa menghindari pandangan Devon dengan kikuk. Rosa tidak tahu pasti siapa, tapi dia punya gambaran jelas tentang kemungkinannya. Hanya ada dua orang yang bisa melakukan hal tersebut dan dengan mudahnya bersaing melawan bawahan Devon. Bisa jadi itu kakaknya. Sebab jika ada orang yang mau membela Rosa hingga sejauh itu, maka kakaknya akan berdiri di barisan terdepan. Sejak kecil, dia selalu overprotektif terhadap Rosa dan telah berpengalaman membereskan setiap kekacauan yang Rosa buat. Namun, sepertinya tidak masuk akal bila itu kakaknya. Rosa merinding sekilas membayangkan kakaknya. Arsen tidak bakal tinggal diam bila terjadi sesuatu padanya, tetapi selaras dengan itu, omelan Arsen tidak akan bisa direm juga. Sembari menghapus berita itu, Arsen paling menyeretnya pulang langsung dan memarahinya. Berhubung kehidupan Rosa masih damai

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 73 - Rival Devon

    Rosa tertidur lelap malam itu, meski dunia maya sedang gonjang-ganjing mengabarkan berita yang tidak-tidak mengenai cinta segitiga antara dia, Devon, dan Kirana. Dipikirannya, Rosa merasa tidak begitu dirugikan. Rosa tidak terlalu peduli dengan opini masyarakat yang tak berpengaruh langsung ke kehidupannya. Justru dari kesempatan ini, Rosa sangat penasaran bagaimana Devon akan menyikapinya walau dia bilang akan mengikuti arahan Rosa. Apa pada akhirnya Devon benar-benar berani mengacaukan adik sahabatnya? Bahkan sampai rela mengorbankan reputasi Rosa bila Brian memohon untuk melepaskan Kirana?Atau, Devon tetap memegang ucapannya dan menuruti keinginan Rosa hingga syuting selesai?Ini adalah tes penting yang harus Devon lewati.Jawabannya mungkin dapat mengubah keputusan Rosa.Netizen yang begadang, banyak memposting ulang berita yang mengaitkan antara Kirana dan Devon. Di satu sisi, Kirana adalah artis papan atas yang sedang naik daun, sedangkan Devon adalah CEO termuda dengan kekay

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 72 - Menunggu Saat yang Tepat

    Udara bagai membeku bersama kengerian yang ditunjukkan Devon. Refleks, Rosa melepaskan diri dari cekalan Devon, lalu bergabung dengan Rama untuk melipir ke sofa demi menjauhi aura menyeramkan Devon. Mereka berdua kompak terdiam dan menunggu rekasi Devon.Entah Devon akan meradang atau masih bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Rosa duduk seraya menghela napas, sementara Rama memilih untuk tetap berdiri di sebelah Rosa. Kerutan di dahi Devon tampak dalam dan bergelombang seperti ombak. Raut wajahnya tertekuk kaku. "Kenapa bisa keluar sebutan seperti itu?"Pertanyaan Devon merujuk pada panggilan Rosa di skandal tersebut yang digadang-gadang sebagai pelakor. Rama yang cepat tanggap, segera melontarkan jawaban lengkapnya, "Karena konten video tersebut, Tuan Muda. Editornya pintar, mengedit bagian-bagian tertentu yang menampilkan seolah-olah Nona telah memisahkan Tuan Muda dan Kirana."Rosa penasaran sekali ingin melihat videonya. Dia mencoba mencarinya sendiri. Tetapi, belum sem

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 71 - Rosa Viral!

    Melodi jazz melantun lembut. Api lilin berdansa manis, bagai menemani detak jantung Rosa yang melompat-lompat tak karuan. Cahaya di sekeliling mereka berseri temaram seakan menyokong suasana romantis ini hingga ke puncaknya. [Curang.]Devon hanya perlu bertanya langsung untuk Rosa menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan Rosa butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan setitik demi setitik informasi mengenai Devon. Dipikir-pikir, rasanya tidak adil. Namun, Rosa tak sanggup menolak permintaan tulus Devon. Lidahnya kelu dan hatinya tak rela membayangkan Devon akan mundur bila Rosa menolak. Rosa hanya mampu menggerutu dalam hati. [Nggak ada yang bisa kuajarkan. Ciuman Devon jauh lebih panas dan ahli. Mm ... penuh gairah dan memabukkan, sampai membuat lututku lemas.]Devon tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu mencondongkan badan ke depan dengan masing-masing siku di tepi meja. Tangannya terangkat ke atas, membentuk segitiga dengan jari-jemarinya yang saling bertaut di tengah—menutupi mu

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 70 - Ajari aku caranya

    Rosa nyaris gagal menyembunyikan senyumnya ketika melihat wajah tegang Devon. Begitu sisi usilnya muncul, Rosa tidak bisa berhenti. Senyumnya tersirat jenaka. "Menyenangkan, kok. Cuma ... sangat normal. Nggak seperti yang kukira."Air muka Devon meredup. Terlihat jelas kalau kejujuran Rosa mengusik pikirannya. Saat Devon kembali membuka mulut, dia terdengar seperti habis berpuasa seharian penuh—suaranya parau. "Emang yang kamu pikirkan itu seperti apa?"Berdasarkan sifat arogan Devon, Rosa sudah siap menerima penyangkalan Devon atau pembenaran bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi, Devon malah langsung masuk ke poin utamanya. Rosa yang tak menyangka akan ditanya balik itu, seketika membisu.[Aku juga nggak tau kayak gimana. Aku belum pernah pacaran!]Wajah mungil Rosa terlipat bimbang. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengerucut ke atas. “Um, seharian bersama?” Secara, mereka baru keluar nonton sebentar, belanja kilat, lalu makan. Dan bahkan, makan malam mereka

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 69 - Dinner

    "Setiap hari yang terlewat akan kukenakan denda karena terlambat."Devon memicingkan mata dan menyudutkan Rosa. "Sekarang sudah lebih dari dua hari."Rosa mengerjap. [Kamu hitung?]Walaupun Rosa terkesima dengan sifat perhitungan Devon dan merasa bersalah, dia tetap tak terima bila harus didenda. "Nggak usah pakai denda, kan, bisa," keluh Rosa."Kalau gitu, kamu harus kasih malam ini." Devon berkompromi, tetapi setengah memaksa. Alisnya bertaut seakan mendesak Rosa.[Segitu pengennya dikasih hadiah? Padahal dia udah dapat banyak kemarin.]"Bisa?" tanya Devon dengan penuh penekanan. Mau tak mau, Rosa mengangguk pasrah. "Okay."[Barang yang kubeli nggak seberapa, itupun juga pakai uangnya. Mungkin masih bagusan hadiah dari tamu yang lain.]Setelah merasa puas dengan jawaban Rosa, Devon menegakkan badan dan membelakangi mereka. Terdengar suaranya sayup-sayup berkata, "Hadiah dari kamu berbeda.""Apa?" tanya Rosa dengan nada meninggi karena tidak dengar. Rama yang berada di sebelah Dev

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status