Setelah pemakaman Bimo, Anggi terus mengurung diri di kamarnya. Dia terus menangis. Dunianya seakan sudah hancur. Gadis itu terus meratapi kepergian orang yang sangat dia cintai. Sudah tidak ada lagi orang yang akan menjemputnya setiap pagi ke kampus. Sudah tidak ada lagi orang yang akan menemaninya makan di kantin. Dan sudah tidak ada lagi orang yang selalu setia mendengarkan ceritanya tentang kesedihannya setiap kali dia sedang ada masalah.
'Bimo...,' desah Anggi menyebut nama kekasihnya. 'Aku kangen kamu, kak. Aku mau kamu ada disini, selamanya. Aku mau kamu menemani sedih dan bahagiaku.'
Dalam tangisnya Anggi juga meratapi nasibnya. Dia takut kejadian kemarin akan berakibat fatal. Bagaimana jika dia hamil? Bagaimana jika dia menikah nanti dan suaminya menuntut kesuciannya yang telah direnggut Bimo?
Gadis itu terus menangis sampai akhirnya tertidur.***
Akhirnya Anggi memutuskan untuk menutup hatinya dari laki-laki manapun. Tidak sedikit laki-laki yang mendekatinya, tapi dia selalu menolak. Bapak dan ibu Sampai bingung dibuatnya. Mereka takut anak gadisnya akan jadi perawan tua. Sudah ratusan kali orang tuanya membujuknya tapi Anggi tidak merubah keputusannya. Sudah beberapa kali orangtuanya mengenalkan dia dengan anak-anak dari teman-teman mereka, tapi tak ada satupun yang Anggi terima. Hati Anggi seolah benar-benar tertutup sudah.
Bapak dan ibu sudah pasrah, mereka sudah kehabisan kata-kata untuk membuat anak satu-satunya itu merubah keputusannya dan mau membuka hatinya untuk laki-laki lain. Sampai akhirnya Arga datang untuk melamar Anggi.
Arga putra perwira, adalah atasan Anggi di tempatnya bekerja. Dia pemilik restoran dimana Anggi bekerja sebagai kasir. Sudah lama Arga diam-diam mencintai karyawannya tersebut, tapi dia ragu untuk mengungkapkannya. Sampai akhirnya dia nekat menemui orangtua Anggi setelah mendapat dukungan dari orangtuanya.
Orangtua Anggi senang sekali menerima niat baik bos anaknya tersebut. Sedangkan Anggi bingung sekali dibuatnya. Sebenarnya hatinya sangat ingin menolak lamaran atasannya tersebut, tapi sepertinya kondisinya tidak memungkinkan. Penyakit bapaknya saat itu sedang kambuh, Anggi takut keadaan bapaknya makin parah kalau dia menolak. Tapi untuk menerima rasanya hatinya sangat berat. Akhirnya Anggi meminta waktu untuk berfikir.
'Aku akan meminta saran dari Niki dulu,' bathin Anggi dalam hati. Nikita adalah sahabat Anggi dari mereka masih sama-sama duduk di bangku SMP. Mereka bersekolah di sekolah yang sama. Nikita Agustina, gadis lincah yg cantik. Anggi biasa memanggilnya Niki.
***
Niki sedang menikmati suasana pagi di taman depan rumahnya. Secangkir teh hangat dan sepiring kue pastel kesukaannya menemaninya menikmati udara pagi. 'Aahh, segarnya udara pagi ini, aku suka mendengar suara kicau burung yang beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya.' Niki benar-benar menikmati hari liburnya. Ya, hari ini memang dia sedang libur dari pekerjaannya, di restoran tempat dia bekerja bersama Anggi.
Matahari di ufuk timur belum keluar dengan sempurna. Masih malu-malu mengintip dari balik awan. Sinarnya lembut menyentuh kulit Niki. Gadis cantik itu sangat menikmati suasana pagi yang cerah ini. Sisa-sisa embun masih bergelayut manja di atas dedaunan. Kabut juga belum hilang sempurna, melayang tipis di udara bebas. Niki menarik nafas dalam-dalam. Paru-parunya terasa segar menghirup udara pagi itu. Niki memang senang menikmati suasana pagi setiap dia mendapatkan giliran libur. Penat rasanya setiap hari bergaul dengan perabotan memasak dan makanan-makanan di tempat dia bekerja. Ya, karena Niki bekerja sebagai chef di tempat yang sama dengan Anggi.
Sedang asyik-asyiknya Niki menikmati kesejukan di pagi hari itu, tiba-tiba dia di kejutkan dengan kedatangan Anggi yang sangat dia tidak sangka-sangka.
"Lo nggak kerja, Nggi?" tanya Niki dengan wajah bingung, nggak biasanya Anggi bolos kerja. Sahabatnya ini adalah karyawan paling rajin. Tidak pernah sekalipun dia bolos kecuali dia benar-benar sakit. "Lo sakit?" lanjut Niki masih dengan wajah bingung.
Tanpa bicara apa-apa Anggi langsung menarik tangan Niki ke kamarnya.
"Gawat!" Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya.
"Gawat kenapa?" Niki tambah bingung melihat tingkah Anggi.
Dengan wajah bingung dan panik Anggi menjawab pertanyaan Niki. "Pak Bos ngelamar gue, ternyata kata-katanya di restoran waktu itu nggak main-main."
"Di lamar bos kok gawat? Bukannya harusnya lo seneng bakal jadi nyonya bos?" goda Niki menutupi kegundahan hatinya, karena diam-diam Niki sudah lama mengagumi bosnya tersebut.
"Gue nggak bercanda, Nik." Anggi langsung cemberut mendengar candaan Niki. "Lo kan tau keadaan gue," lanjutnya sedih.
"Maaf, Nggi. Gue lupa," jawab Niki menyesal sambil mengelus lengan sahabatnya itu. "Gue nggak bermaksud menyinggung perasaan lo."
"Gue bener-bener bingung dan nggak tau mau ambil keputusan apa." Anggi menunduk sedih dan hampir menangis karena bingung dan takut. Dia takut Arga menuntut kesuciannya. Dia takut kalau orangtua dan mertuanya nanti tau keadaannya.
"Jadi sekarang gimana keputusan lo? Lo tolak lamaran Pak Arga?" Ada sedikit harap dalam ucapan Niki, gadis itu cemburu dan berharap sahabatnya itu menolak lamaran Pak Arga.
Lirih Anggi menjawab, "Pengennya sih gitu, tapi itu nggak mungkin. Kondisi bapak lagi ngedrop, gue takut terjadi apa-apa sama bapak kalau gue menolak keinginannya. Karena gue lihat bapak sangat bahagia menerima kedatangan Pak Arga. Bapak berharap banget gue mau menikah," lanjutnya.
"Kalau saran gue, lo terima aja lamaran Pak Arga, demi kebaikan orangtua lo. Masalah gimana keadaan lo bisa pelan-pelan lo jelasin ke Pak Arga nanti." Niki terus mengelus lengan sahabatnya itu, untuk menenangkan hatinya. "Gue yakin Pak Arga bisa ngertiin, toh lo melakukan itu nggak sengaja dan cuma sekali," ucap Niki dengan lirih. Suaranya bergetar menahan tangis. Dia tidak sanggup membayangkan sahabatnya itu bersanding bersama orang yang dia cintai. Niki berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak.
"Tapi gue takut, Nik." Anggi benar-benar takut dan gelisah.
"Semua demi kebaikan orangtua lo, Nggi. Lo harus berani ambil resiko. Lo nggak mau kan terjadi apa-apa sama mereka?" saran Niki lagi.
Anggi diam mendengar saran dari Niki. Dia masih bingung walau sekarang sudah sedikit agak tenang.
Setelah beberapa saat berfikir akhirnya Anggi mengambil keputusan.
"Baiklah, gue ikutin saran lo. Mungkin emang udah begini jalannya. Apapun yang akan terjadi nanti gue akan hadapi." Karena rasa bingung dan takut, Anggi tidak menyadari kesedihan hati sahabatnya. Dia tidak menyadari ada bulir air bening keluar dari sudut mata sahabatnya itu."Makasih ya atas sarannya. Lo emang sahabat gue yang paling baik." Anggi langsung memeluk sahabat terbaiknya itu, tanpa dia tau betapa hancur hati Niki menerima kenyataan pahit itu.
***
Dan inilah yang terjadi sekarang. Sudah satu bulan pernikahan, tapi Anggi belum pernah merasakan kebahagiaan. Belum pernah dia merasakan indahnya jadi seorang istri. Seharusnya dia bahagia jadi nyonya Arga. Seharusnya dia bangga punya suami setampan dan sekaya Arga. Banyak di luar sana gadis-gadis yang mengharapkan ada di posisinya tersebut. Tapi apa yang terjadi sekarang pada pernikahan mereka? Pernikahannya itu bagai neraka baginya. Setiap hari hanya sakit hati dan hinaan yang dia dapat. Tapi dia bersyukur Arga tidak membuka rahasianya ke siapapun. Mungkin dia juga menjaga harga dirinya. Dia tidak mau malu, jika sampai orang tau kalau perempuan yang dinikahinya sudah tak suci lagi. Kotor!
Sinar matahari pagi masuk lewat jendela kamar dan menyentuh mata Anggi. Pagi itu Anggi merasakan badannya pegal-pegal, mungkin kecapean karena kemarin dia habis membersihkan rumah. Biasanya Mba Jum setiap pagi datang untuk membantunya mencuci dan menyetrika pakaian, juga untuk menyapu dan mengepel lantai. Tapi kemarin dia ijin karena anaknya sakit, terpaksa Anggi yang mengerjakan semuanya sendiri. Sekarang baru terasa capeknya. Badannya pegal-pegal semua. Rasanya malas untuk turun dan tempat tidurnya. Anggi membuka matanya, lalu dia terpejam lagi sambil menarik selimutnya."Bangun, sudah siang," terdengar suara berat suaminya."Badan aku sakit semua mas, biarkan aku tiduran sebentar lagi. Hari ini kan hari libur, kamu nggak ke restoran kan?""Aku mau ke stasiun jemput papa dan mama, hari ini kan mereka datang dari Bandung. Emang kamu lupa? Atau kamu sengaja nggak mau menyambut kedatangan orangtuaku?""Ya ampun, mas, aku bener-bener lupa. Kenapa sih kamu s
Wira Adi Winata, seorang pengusaha kaya yang tinggal di Bandung. Badan tegapnya masih terlihat di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Senyumnya ramah. Tapi sorot matanya terlihat tajam mencerminkan kalau dia seorang yang tegas dan berwibawa. Sosok dan pembawaannya sangat mirip dengan Arga. Sedangkan istrinya Lusiana Andita, seorang wanita keibuan. Tutur katanya lemah lembut. Senyumnya semakin manis dengan lesung pipi di kedua pipinya. Anggi sangat mengagumi mama mertuanya itu. Dia ingin jadi istri dan seorang ibu seperti mama Lusi.Anggi bergegas keluar menyambut kedua mertuanya. Dia langsung mencium tangan papa dan mamanya. Dan Bu Lusi pun langsung memeluk menantu kesayangannya itu."Mama kangen sama kamu, sayang," bisik mama di telinga Anggi."Aku juga kangen banget sama mama, maaf ya ma, aku udah lama nggak nengokin mama sama papa," balas Anggi masih dalam pelukan mama mertuanya."Tidak apa-apa
Siang itu matahari sangat terik. Udara terasa sangat panas. Hari itu rencananya Anggi mau belanja bulanan ke supermarket. Tapi rasanya malas untuk keluar rumah di panas yang terik seperti ini. Akhirnya Anggi hanya duduk-duduk di kamar sambil membolak-balik halaman majalah yang daritadi ada di pangkuannya, tanpa sedikitpun dia baca. Pikirannya melayang kemana-mana. Dia teringat bapak dan ibu, tiba-tiba rasa kangen menyerang batinnya. Dia juga kangen Bimo. Laki-laki yang sangat lembut dan yang bisa membuat Anggi merasa sangat nyaman setiap ada di dekatnya. Ah, tanpa terasa dia mendesah untuk membuat hatinya sedikit lega. Bimo sangat berbeda dengan Arga. Arga dingin dan selalu berusaha membuat dia sakit hati. Apa karena dia merasa aku telah membohonginya sehingga dia bersikap seperti itu? Apa sebenarnya dia juga bisa bersikap hangat seperti Bimo? Ah sudahlah, jalani saja apa yang sudah jadi suratan takdirku. Mudah-mudahan saja nanti mas Arga bisa berubah. Batin Anggi pe
Beberapa menit melalui jalanan komplek perumahan tempat tinggalnya, mobil Arga mulai memasuki jalan raya. Saat itu jalanan masih agak padat. Mungkin banyak orang-orang yang baru pulang kerja, dan hampir semua dari kendaraan bermesin itu saling berebut celah sehingga menambah kemacetan lalulintas. Ada beberapa orang yang tidak sabar kemudian membunyikan klakson terus menerus. Belum lagi kendaraan umum yang mengambil dan menurunkan penumpang seenaknya, semua menambah kekacauan. Ada juga yang agak emosi dan selalu berdecak kesal. Mungkin karena mereka sudah lelah dengan pekerjaan kantor, ditambah lagi masalah-masalah di kantor yang bikin stres. Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan.Tapi berbanding terbalik dengan yang terjadi di hati Niki. Dia tidak mengerti dengan perasaannya. Kenapa dia merasa tenang dan nyaman berada di dalam mobil Arga. Apa mungkin karena mobilnya nyaman dan ber-AC sehingga membuat dia tidak terganggu dengan keadaan di jalan
Hari masih pagi ketika Niki sampai di restoran. Seperti biasa dia sampai lebih dahulu dari teman-temannya. Sengaja dia selalu datang lebih awal, 'biar bisa istirahat dulu' alasannya setiap ada yang bertanya kenapa dia selalu datang lebih awal. Dan juga dia bisa sarapan bubur ayam favoritnya yang setiap pagi mangkal di dekat restoran. Padahal setiap pagi mamanya selalu menyiapkan sarapan untuknya. Tapi dia tidak pernah menyantapnya."Kalau kenyang, nanti nggak enak saat di angkot, ma. Nanti aja sarapan di dekat restoran." Itu alasannya kepada mamanya setiap kali di suruh sarapan.Awalnya mama selalu memaksa sarapan di rumah, dengan alasan lebih higienis dan lebih hemat. Tapi karena alasan Niki cukup masuk akal, akhirnya mama mengalah dan membiarkan Niki sarapan di luar.Seperti pagi ini, Niki sedang duduk menunggu pesanan bubur ayamnya ketika dia melihat mobil Arga masuk ke parkiran restoran. Hatinya seketika itu juga
Anggi sampai dirumah orangtuanya masih agak pagi, karena memang dia berangkat pagi-pagi sekali tadi, biar tidak macet alasannya. Dan yang paling penting dia punya banyak waktu untuk bermanja-manja kepada kedua orangtuanya. Sudah kangen sekali dia dengan kedua orangtuanya, dan juga dengan masakan mamanya."Assalamualaikum." Anggi mengucap salam sesampainya di teras rumah orangtuanya. 'Sepi, pasti ibu sedang masak di dapur. Sedangkan bapak pasti sedang bermain dengan burung-burung peliharaannya,' pikir Anggi dalam hati. Ya, bapak memang memelihara beberapa jenis burung sejak bapak pensiun dan setiap pagi bapak rajin mengurus burung-burung peliharaannya, memandikan dan memberinya makan. Harum masakan dari dapur tercium sampai ke teras rumah, membuat Anggi makin kangen dengan masakan ibunya.Tidak ada yang menjawab salam Anggi. Tetapi Anggi tidak mengulanginya. Dia malah asik menikmati suasana halaman rumah. Ah, masih seperti
Selesai memasak mereka melanjutkan obrolan di ruang tamu. Sambil ditemani teh dan beberapa potong kue buatan ibu, mereka melanjutkan obrolan tadi. Salsa sudah bangun dan sekarang sedang asik menyedot botol susunya sambil duduk di pangkuan kakeknya. Salsa memang paling dekat dengan kakeknya. Mungkin karena kakeknya yang paling sering mengajaknya bermain. Ada-ada saja permainan kakek bersama cucunya."Sudah kamu tinggalkan saja laki-laki tidak bertanggung jawab itu. Apalagi yang dia cari?. Dia sudah punya segalanya. Istri cantik, sehat, bisa melayani dia lahir batin. Punya anak yang cantik dan sehat. Punya pekerjaan yang bagus. Rumah tangga juga baik- baik saja. Masih saja mencari perempuan lain. Dasar laki-laki brengsek!" Bapak bicara dengan penuh emosi."Sudahlah pak, jangan marah-marah terus! Ingat penyakit bapak!" Ibu berusaha menenangkan bapak."Benci aku dengan laki-laki yang tidak tau diri, tidak pernah bersyukur." Bapak masih saja marah-marah.
"Ayolah pulang, sayang," bujuk Dika kepada Gita, istrinya."Aku nggak akan pulang kalau kamu masih berhubungan dengan perempuan genit itu!" Gita berusaha menahan emosinya karena dia tidak mau orangtuanya mendengar pertengkaran mereka.Siang itu Dika datang ke rumah mertuanya untuk menjemput anak dan istrinya pulang. Tapi Gita berkeras tidak mau pulang, dan akhirnya terjadilah pertengkaran itu."Aku sudah bilang, aku akan bersikap adil dengan kalian berdua."Mendengar kata-kata Dika itu, Gita pun membulatkan matanya dan menatap suaminya itu dengan wajah penuh emosi. 'Aku nggak sudi kamu duakan! Lebih baik aku di sini dan kita cerai!" serunya dengan suara tertahan."Jangan mudah mengucap kata cerai, sayang," bujuk Dika dengan suara lembut."Jangan pernah kamu panggil aku sayang! Kalau kamu sayang denganku dan anak kita, kamu nggak akan selingkuh dengan perempuan murahan itu!