Sinar matahari pagi masuk lewat jendela kamar dan menyentuh mata Anggi. Pagi itu Anggi merasakan badannya pegal-pegal, mungkin kecapean karena kemarin dia habis membersihkan rumah. Biasanya Mba Jum setiap pagi datang untuk membantunya mencuci dan menyetrika pakaian, juga untuk menyapu dan mengepel lantai. Tapi kemarin dia ijin karena anaknya sakit, terpaksa Anggi yang mengerjakan semuanya sendiri. Sekarang baru terasa capeknya. Badannya pegal-pegal semua. Rasanya malas untuk turun dan tempat tidurnya. Anggi membuka matanya, lalu dia terpejam lagi sambil menarik selimutnya.
"Bangun, sudah siang," terdengar suara berat suaminya.
"Badan aku sakit semua mas, biarkan aku tiduran sebentar lagi. Hari ini kan hari libur, kamu nggak ke restoran kan?"
"Aku mau ke stasiun jemput papa dan mama, hari ini kan mereka datang dari Bandung. Emang kamu lupa? Atau kamu sengaja nggak mau menyambut kedatangan orangtuaku?"
"Ya ampun, mas, aku bener-bener lupa. Kenapa sih kamu selalu berfikir jelek tentang aku? Orangtuamu kan orangtua aku juga, aku senang mereka mau datang dan menginap disini."
"Ya udah sekarang kamu beres-beres rumah dan masak yang enak buat menyambut mereka, jangan enak-enakan di tempat tidur aja, dasar pemalas!"
"Siapin kamar tamu, terus barang-barang kamu pindahkan ke kamarku, jangan sampai mereka tau kalau kita nggak tidur satu kamar," perintahnya. "Jangan sampai mereka tau masalah kita," lanjutnya lagi.
Anggi bersyukur dalam hati. Dia senang suaminya tidak menceritakan keadaan dirinya ke orangtuanya. Dia juga senang mertuanya menginap di rumah itu, karena rumah akan terasa ramai dan suaminya akan bersikap lebih baik padanya. Karena tidak mungkin Arga bersikap kasar di depan orangtuanya.
Dengan lambat Anggi turun dari tempat tidur. 'Aduh, badanku serasa hancur,' bathinnya. Tapi karena didorong rasa gembira dengan kedatangan mertuanya Anggi berusaha semangat mengerjakan semua pekerjaan. Dari mulai beres-beres rumah, membersihkan kamar tamu dan memasak.
Selesai sarapan Arga berangkat ke stasiun Gambir untuk menjemput orangtuanya. Kereta tiba di stasiun kira-kira pukul 9 pagi. Mereka naik kereta Argo Parahyangan yang berangkat pukul 6 dari stasiun Cimahi, Bandung. Ketika Arga sampai di stasiun, kereta yang di tunggu belum datang. Arga duduk-duduk di peron sambil memperhatikan keadaan stasiun. Banyak orang lalu lalang disana, ada yang baru turun dari kereta dan bergegas keluar peron. Ada juga yang mencari-cari keluarga yang menjemput. Dan ada juga yang langsung berpelukan saat bertemu orang yang dicari-cari. Mungkin melepas kangen karena sudah lama tidak bertemu. Tidak sedikit juga orang yang berebut naik ke kereta yang ditunggu. Cukup ramai keadaan stasiun, mungkin karena sedang libur panjang.
Setelah menunggu agak lama akhirnya datang juga kereta yang ditunggu. Arga mencari-cari orangtuanya diantara penumpang-penumpang yang turun dari kereta Argo Parahyangan. Akhirnya matanya menemukan orang yang dicari. Arga langsung menghampiri kedua orangtuanya. Dia langsung mencium tangan papa dan mamanya. Lalu bergegas mengambil tas yang dibawa oleh kedua orangtuanya.
"Bagaimana keadaan papa dan mama?"
"Alhamdulillah, baik," jawab mama sambil memeluk anak laki-laki satu-satunya itu. "Mama kangen sekali sama kamu, sayang."
"Aku juga kangen sama papa dan mama, tapi maaf aku belum bisa nengokin papa dan mama di Bandung"
"Tidak apa-apa, kebetulan papa dan mama yang ada waktu jadi kami yang nengokin kalian ke Jakarta".
"Oh iya, Anggi mana? Tidak kamu ajak?" Tanya mama kemudian
"Anggi tidak ikut, ma. Dia lagi beres-beres rumah dan memasak untuk makan siang kita semua"
"Kalau begitu ayo kita cepat pulang, kangen mama sama menantu mama itu. Mama kangen juga sama masakannya yang lezat," ajak mama sambil tersenyum.
Akhirnya mereka bertiga bergegas ketempat Arga memarkir mobilnya dan pergi meninggalkan stasiun untuk segera pulang ke rumah.
***
Sementara itu di rumah, Anggi sibuk merapikan rumah. Setelah itu dia sibuk memasak di dapur. Kebetulan kemarin dia belanja kebutuhan dapur. Hari itu Anggi hendak memasak pepes ikan mas dan tumis bunga pepaya kesukaan mertuanya. Harum bakaran pepesnya memenuhi seluruh dapur, membuat lapar yang mencium aromanya. Pasti senang papa dan mama menikmati makanan kesukaan mereka. Dan seperti biasa mama akan memuji masakannya. Anggi senyum-senyum sendiri membayangkannya. Istri Arga itu bersyukur mempunyai mertua yang sangat baik dan sangat menyayanginya.
Karena asyiknya Anggi melamun sampai-sampai hampir saja dia lupa dengan pepes ikan yang sedang dibakar. Segera dia membalik masakannya itu. 'Ahh, hampiri saja hangus,' batinnya.Akhirnya selesai juga masakannya. Semua sudah terhidang di meja makan. Tinggal mandi dan rapi-rapi untuk menyambut kedatangan mertuanya. Jangan sampai mereka datang dan dia masih kotor seperti ini. Masih bau masakan. Bisa marah suaminya nanti, bisa-bisa keluar kata-kata yang tidak enak didengar. Cepat-cepat Anggi ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi Anggi duduk-duduk santai di ruang tengah sambil membaca novel kesukaannya. 'Santai sebentar, ah, sambil menunggu papa dan mama datang,' gumam Anggi. Badannya masih terasa pegal-pegal, walau sudah agak berkurang setelah dia mandi. Sekarang sudah terasa agak segar. Sedang asyik dia menikmati kata demi kata di dalam novelnya, tiba-tiba dia mendengar ada suara mobil masuk pekarangan rumah. 'Itu pasti mas Arga,' pikirnya senang. Dia pun langsung keluar untuk menyambut kedatangan mertuanya.
Wira Adi Winata, seorang pengusaha kaya yang tinggal di Bandung. Badan tegapnya masih terlihat di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Senyumnya ramah. Tapi sorot matanya terlihat tajam mencerminkan kalau dia seorang yang tegas dan berwibawa. Sosok dan pembawaannya sangat mirip dengan Arga. Sedangkan istrinya Lusiana Andita, seorang wanita keibuan. Tutur katanya lemah lembut. Senyumnya semakin manis dengan lesung pipi di kedua pipinya. Anggi sangat mengagumi mama mertuanya itu. Dia ingin jadi istri dan seorang ibu seperti mama Lusi.Anggi bergegas keluar menyambut kedua mertuanya. Dia langsung mencium tangan papa dan mamanya. Dan Bu Lusi pun langsung memeluk menantu kesayangannya itu."Mama kangen sama kamu, sayang," bisik mama di telinga Anggi."Aku juga kangen banget sama mama, maaf ya ma, aku udah lama nggak nengokin mama sama papa," balas Anggi masih dalam pelukan mama mertuanya."Tidak apa-apa
Siang itu matahari sangat terik. Udara terasa sangat panas. Hari itu rencananya Anggi mau belanja bulanan ke supermarket. Tapi rasanya malas untuk keluar rumah di panas yang terik seperti ini. Akhirnya Anggi hanya duduk-duduk di kamar sambil membolak-balik halaman majalah yang daritadi ada di pangkuannya, tanpa sedikitpun dia baca. Pikirannya melayang kemana-mana. Dia teringat bapak dan ibu, tiba-tiba rasa kangen menyerang batinnya. Dia juga kangen Bimo. Laki-laki yang sangat lembut dan yang bisa membuat Anggi merasa sangat nyaman setiap ada di dekatnya. Ah, tanpa terasa dia mendesah untuk membuat hatinya sedikit lega. Bimo sangat berbeda dengan Arga. Arga dingin dan selalu berusaha membuat dia sakit hati. Apa karena dia merasa aku telah membohonginya sehingga dia bersikap seperti itu? Apa sebenarnya dia juga bisa bersikap hangat seperti Bimo? Ah sudahlah, jalani saja apa yang sudah jadi suratan takdirku. Mudah-mudahan saja nanti mas Arga bisa berubah. Batin Anggi pe
Beberapa menit melalui jalanan komplek perumahan tempat tinggalnya, mobil Arga mulai memasuki jalan raya. Saat itu jalanan masih agak padat. Mungkin banyak orang-orang yang baru pulang kerja, dan hampir semua dari kendaraan bermesin itu saling berebut celah sehingga menambah kemacetan lalulintas. Ada beberapa orang yang tidak sabar kemudian membunyikan klakson terus menerus. Belum lagi kendaraan umum yang mengambil dan menurunkan penumpang seenaknya, semua menambah kekacauan. Ada juga yang agak emosi dan selalu berdecak kesal. Mungkin karena mereka sudah lelah dengan pekerjaan kantor, ditambah lagi masalah-masalah di kantor yang bikin stres. Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan.Tapi berbanding terbalik dengan yang terjadi di hati Niki. Dia tidak mengerti dengan perasaannya. Kenapa dia merasa tenang dan nyaman berada di dalam mobil Arga. Apa mungkin karena mobilnya nyaman dan ber-AC sehingga membuat dia tidak terganggu dengan keadaan di jalan
Hari masih pagi ketika Niki sampai di restoran. Seperti biasa dia sampai lebih dahulu dari teman-temannya. Sengaja dia selalu datang lebih awal, 'biar bisa istirahat dulu' alasannya setiap ada yang bertanya kenapa dia selalu datang lebih awal. Dan juga dia bisa sarapan bubur ayam favoritnya yang setiap pagi mangkal di dekat restoran. Padahal setiap pagi mamanya selalu menyiapkan sarapan untuknya. Tapi dia tidak pernah menyantapnya."Kalau kenyang, nanti nggak enak saat di angkot, ma. Nanti aja sarapan di dekat restoran." Itu alasannya kepada mamanya setiap kali di suruh sarapan.Awalnya mama selalu memaksa sarapan di rumah, dengan alasan lebih higienis dan lebih hemat. Tapi karena alasan Niki cukup masuk akal, akhirnya mama mengalah dan membiarkan Niki sarapan di luar.Seperti pagi ini, Niki sedang duduk menunggu pesanan bubur ayamnya ketika dia melihat mobil Arga masuk ke parkiran restoran. Hatinya seketika itu juga
Anggi sampai dirumah orangtuanya masih agak pagi, karena memang dia berangkat pagi-pagi sekali tadi, biar tidak macet alasannya. Dan yang paling penting dia punya banyak waktu untuk bermanja-manja kepada kedua orangtuanya. Sudah kangen sekali dia dengan kedua orangtuanya, dan juga dengan masakan mamanya."Assalamualaikum." Anggi mengucap salam sesampainya di teras rumah orangtuanya. 'Sepi, pasti ibu sedang masak di dapur. Sedangkan bapak pasti sedang bermain dengan burung-burung peliharaannya,' pikir Anggi dalam hati. Ya, bapak memang memelihara beberapa jenis burung sejak bapak pensiun dan setiap pagi bapak rajin mengurus burung-burung peliharaannya, memandikan dan memberinya makan. Harum masakan dari dapur tercium sampai ke teras rumah, membuat Anggi makin kangen dengan masakan ibunya.Tidak ada yang menjawab salam Anggi. Tetapi Anggi tidak mengulanginya. Dia malah asik menikmati suasana halaman rumah. Ah, masih seperti
Selesai memasak mereka melanjutkan obrolan di ruang tamu. Sambil ditemani teh dan beberapa potong kue buatan ibu, mereka melanjutkan obrolan tadi. Salsa sudah bangun dan sekarang sedang asik menyedot botol susunya sambil duduk di pangkuan kakeknya. Salsa memang paling dekat dengan kakeknya. Mungkin karena kakeknya yang paling sering mengajaknya bermain. Ada-ada saja permainan kakek bersama cucunya."Sudah kamu tinggalkan saja laki-laki tidak bertanggung jawab itu. Apalagi yang dia cari?. Dia sudah punya segalanya. Istri cantik, sehat, bisa melayani dia lahir batin. Punya anak yang cantik dan sehat. Punya pekerjaan yang bagus. Rumah tangga juga baik- baik saja. Masih saja mencari perempuan lain. Dasar laki-laki brengsek!" Bapak bicara dengan penuh emosi."Sudahlah pak, jangan marah-marah terus! Ingat penyakit bapak!" Ibu berusaha menenangkan bapak."Benci aku dengan laki-laki yang tidak tau diri, tidak pernah bersyukur." Bapak masih saja marah-marah.
"Ayolah pulang, sayang," bujuk Dika kepada Gita, istrinya."Aku nggak akan pulang kalau kamu masih berhubungan dengan perempuan genit itu!" Gita berusaha menahan emosinya karena dia tidak mau orangtuanya mendengar pertengkaran mereka.Siang itu Dika datang ke rumah mertuanya untuk menjemput anak dan istrinya pulang. Tapi Gita berkeras tidak mau pulang, dan akhirnya terjadilah pertengkaran itu."Aku sudah bilang, aku akan bersikap adil dengan kalian berdua."Mendengar kata-kata Dika itu, Gita pun membulatkan matanya dan menatap suaminya itu dengan wajah penuh emosi. 'Aku nggak sudi kamu duakan! Lebih baik aku di sini dan kita cerai!" serunya dengan suara tertahan."Jangan mudah mengucap kata cerai, sayang," bujuk Dika dengan suara lembut."Jangan pernah kamu panggil aku sayang! Kalau kamu sayang denganku dan anak kita, kamu nggak akan selingkuh dengan perempuan murahan itu!
Pagi itu Arga dan Anggi sedang menikmati sarapan pagi dengan suasana yang kaku. Mereka tidak saling bicara. Mata Anggi masih terlihat sembab. Semalaman dia tidak bisa tidur. Pertengkaran semalam membuatnya menangis sepanjang malam. Kata-kata Arga selalu membuat hatinya terluka. Ingin sekali dia minta cerai karena sudah tidak tahan dengan sikap suaminya itu. Tapi lagi-lagi dia tidak mau rahasianya terbongkar. Dia tidak mau orang-orang tahu aibnya. Selama ini yang tahu hanya Arga dan Niki, sahabatnya.Arga memang tidak pernah bertindak kasar terhadapnya. Bicarapun tidak pernah membentak apalagi berteriak. Tapi kata-katanya selalu menyakitkan, seakan dia sengaja ingin menyakiti hati Anggi untuk membalas sakit hatinya itu, karena merasa di bohongi.Akhirnya Anggi tetap berusaha untuk bertahan. Dia berharap suatu hari nanti Arga akan memaafkannya dan mau bersikap baik kepadanya. Dan ketika waktu itu tiba, mungkin Anggi bisa mencintai Arga sepen