"Dian ... Diandra! Cepat ambilkan sepatuku! Dasar Istri gak becus!" Reza terus memarahi istrinya yang yang masih sibuk membereskan sisa sarapan mereka.
"Sebentar, Mas. Dian baru selesai beresin meja makan. Sepatunya kan sudah Dian siapkan di rak depan. Jadi, Mas Reza tinggal pakai saja, kaos kaki juga sudah ada di dalamnya." terang Diandra.
"Kamu kan tahu saya duduk di sini. Ya Kamu ambilkan lah sepatu itu ke sini. Gimana sih jadi Istri kok malas-malasan," gerutu Reza.
"Tapi kan lantai ini sudah Dian pel, Mas. Nanti kotor lagi kalau Mas Reza pakainya di sini." Meski suaminya sudah marah-marah, namun Diandra tetap menghadapinya dengan sabar.
"Kalau kotor kan tinggal di pel lagi gimana sih! Dasar Istri nggak guna!" Reza berjalan keluar dengan menghentakkan kakinya. Ia bahkan sempat mendorong Dian hingga istrinya terjatuh dan meringis kesakitan.
Begitulah keseharian Diandra dan suaminya, selalu terlibat percekcokan meski hanya dalam masalah ringan. Meski begitu, Diandra tak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkan suaminya.
"Kenapa kamu berubah, Mas? Kenapa kamu sudah tak sehangat dulu lagi? Apa Mungkin kamu sudah bosan?" batin Dian menatap suaminya yang tengah memakai sepatu.
"Mas, salim dulu," ucap Diandra saat melihat Reza sudah mau masuk ke dalam mobil.
"Nggak perlu! Aku jijik sama tangan kotormu yang setiap hari bau terasi. Kamu lihat tuh istri tetangga, setiap pagi mereka terlihat cantik dan rapi, tubuhnya pun wangi, nggak kayak kamu yang bau ketek! Gimana aku bisa betah di rumah, kalau istriku aja jorok kaya gitu?!"
Bagaikan pisau belati yang mengoyak-oyak hati. Sudah mendapat penolakan Diandra masih juga mendapat hinaan dari suaminya.
Perlahan air mata Diandra pun menetes, namun tak pernah sekalipun ia melawan ucapan suaminya. Karena baginya, selama suaminya tidak melakukan pengkhianatan, semua kesalahan yang masih bisa dimaafkan.
"Hati-hati di jalan, Mas," ucap Diandra saat mobil yang ditumpangi Reza sudah mulai berjalan menjauhinya.
"Sabar, Dian. Kamu pasti bisa melewati semua ini." Diandra terus menguatkan dirinya meski ia tahu saat ini ia sudah mulai kehabisan kesabarannya.
"Ya ampun! Itu kan ponsel Mas Reza. Aku harus mandi terus siap-siap anterin ponsel ini. Sebelum nanti Mas Reza marah-marah lagi." Dengan gerakan cepat, Dian bergegas ke kamar dan mandi secepat mungkin. Selesai mandi, tak lupa ia memilih pakaian yang menurutnya paling bagus. Karena ia tak ingin mempermalukan suaminya di depan rekan kerjanya.
"Oh, iya! Aku harus pakai parfum yang wangi biar gak bau badan. Pokoknya aku nggak boleh bikin malu Mas Reza." Dian menyemprotkan parfum beberapa kali ke tubuhnya hingga aroma wangi tercium. Tak lupa ia memoles sedikit make up di wajahnya.
"Nah sudah siap, sekarang aku mau berangkat. Mudah-mudahan Mas Reza nggak marah," monolog Diandra.
Diandra berjalan keluar komplek rumahnya untuk menaiki kendaraan umum. Sebab ia tak mungkin menaiki taksi karena tarif yang terlalu mahal.
"Mau pakai taksi tapi uangnya nggak cukup, kalau pakai angkot nanti takut kelamaan. Gimana ya?" Diandra menoleh ke kanan kiri berharap menemukan kendaraan lain.
"Nah itu ada tukang ojek, lebih baik aku naik ojek biar cepat sampainya." Dengan langkah tergesa-gesa Diandra menghampiri jajaran tukang ojek yang tengah menunggu penumpang datang.
"Bang, tolong anterin ke alamat ini ya," ucap Diandra sambil menyodorkan alamat pada tukang ojek yang akan ia tumpangi.
"Siap, Neng. Jangan lupa pakai helmnya ya. Biar nggak diapelin pak polisi," ucap tukang ojek tersebut.
"Haha, Abang ini bisa aja."
Dengan menaiki kendaraan roda dua, Diandra menembus jalanan ibukota yang tengah padat oleh lalu lalang kendaraan.
"Berapa, Bang?" tanya Diandra setelah mereka sampai di tempat tujuan.
"Ceban aja, Neng. Makasih ya."
Setelah mendapat bayaran, si tukang ojek langsung berlalu meninggalkan Diandra sendiri.
Dengan langkah percaya diri Diandra berjalan menuju resepsionis untuk menanyakan ruangan suaminya.
"Permisi, Mbak. Saya mau tanya ruangan Mas Reza di mana ya?" tanya Diandra.
"Maaf, kalau boleh tahu Anda siapa ya?" tanya resepsionis tersebut.
"Saya Diandra istrinya," ucap Diandra.
"Oh, begitu. Silahkan tunggu sebentar, biar saya hubungi Pak Reza terlebih dulu," ujar sang resepsionis yang kemudian terlihat menghubungi seseorang.
"Hallo, Pak. Di lobby ada seorang perempuan bernama Diandra yang mengaku sebagai Istri Bapak sedang menunggu di bawah," ucap resepsionis yang diketahui bernama Rina.
"Oh, baik." Setelah itu Rina menutup sambungan telepon dan meminta Diandra untuk tetap menunggu.
"Maaf, Mbak. Kata Pak Reza Mbak disuruh menunggu saja di sini. Beliau sebentar lagi akan turun," terang Rina.
"Baik, terima kasih ya, Mbak," ucap Diandra.
Tak lama kemudian Reza tampak datang menghampirinya. Namun raut wajah ramah sama sekali tak terpampang di wajahnya. Dengan kasar Reza menarik lengan Diandra menjauh dari resepsionis.
"Kamu ngapain ke sini? Pakai pakaian lusuh kayak gitu lagi. Bikin malu aja!" ucap Reza.
"Ma-maaf, Mas. Dian cuma mau antar ponsel Mas aja. Tadi ponsel Mas Reza ketinggalan di ruang makan," ujar Diandra. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya karena tak sengaja mendengar sentakan dari mulut Reza.
"Kamu kan bisa kirim lewat orang atau enggak taruh aja di sini. Nggak perlu kamu yang antar ke sini terus nemuin aku. Aku malu tau punya istri kayak kamu yang nggak bisa dandan. Coba kamu ngaca deh, lihat kayak apa penampilan kamu sekarang. Rambut berantakan, muka kusam, pakaian lusuh, badan bau keringat kayak gitu berani nemuin aku di kantor besar kayak gini?!" Reza terus memaki Diandra hingga wanita itu mulai terisak.
"Hiks, hiks, maafin Dian kalau udah bikin Mas malu. Dian pulang sekarang." Namun saat Diandra hendak meraih tangan suaminya, lagi-lagi ia harus mendapat penolakan.
"Udah sana buruan pergi. Nggak perlu cium tangan juga, nanti keringat kamu nempel di tanganku." Reza terus mencibir Diandra.
"Ya sudah kalau begitu Dian pamit pulang dulu ya, Mas."
Tanpa menghiraukan ucapan istrinya Reza langsung pergi begitu saja.
Beberapa karyawan terlihat berbisik-bisik membicarakan dirinya.
"Eh, lihat tuh istri Pak Reza. Masa istri manajer penampilannya kumal kayak gitu. Pantas aja Pak Reza marah-marah terus. Lihat tuh bajunya yang norak. Muka kusam, rambutnya juga acak-acakan. Itu sih pantasnya jadi, babu," ucap salah satu resepsionis rekan Rina.
"Hust, nggak boleh ngomongin orang kayak gitu. Tadi sih aku lihat dia ke sini naik ojek. Mungkin karena itu dia jadi acak-acakan penampilannya," ucap Rina.
"Tapi emang kamu nggak nyium apa? Tadi itu badannya bau banget tahu. Kalau aku jadi Pak Reza, udah aku tinggalin tuh cewek."
Sang resepsionis laki-laki turut membicarakan keburukan tentang Diandra tanpa mereka tahu kehidupan seperti apa yang Diandra alami.
"Ya wajar kali kalau bau, namanya juga naik ojek. Panas terik matahari, belum lagi polusi, badan keringatan jadi bau ya wajar dong. Kamu juga kalau naik ojek pasti kayak gitu. Kita aja yang sekarang nasibnya beruntung kerjanya nggak kepanasan, jadi bisa jaga penampilan tiap saat. Ditambah lagi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan kita buat rapih dan wangi," ucap Rina.
"Kamu itu kenapa sih, Rin? Perasaan dari tadi kamu belain tuh perempuan terus?" ucap rekan Rina.
"Aku nggak belain siapa-siapa, aku cuma memposisikan gimana kalau aku jadi dia. Udah susah payah ke sini, sampai sini malah diomongin terus sama orang," ucap Rina.
"Udah,udah, ayo kita kerja. Nanti malah ditegur," ucap resepsionis laki-laki yang tadi ikut membicarakan Diandra.
Tanpa mereka sadari, jika apa yang mereka lakukan tak luput dari perhatian seseorang yang sejak tadi mengawasi mereka diam-diam. Ia bahkan mendengar jelas makian Reza pada wanita malang yang baru saja berjalan melewatinya dengan wajah sembab. Sosok itu terus menatap kepergian Diandra dengan pandangan yang sulit diartikan.
Saat malam tiba, Diandra tak kunjung bisa memejamkan matanya. Ia terus berjalan mondar-mandir menunggu kepulangan suaminya. Ini merupakan kesekian kalinya Reza pulang terlambat. Setiap kali ditanya, Reza selalu menjawab lembur karena pekerjaan."Mas Reza kemana ya? Kok udah malam belum pulang juga? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu sama Mas Reza? Atau lembur lagi?" ucap Diandra.Berkali-kali ia menghubungi suaminya, akan tetapi nomornya tidak aktif. Tentu saja hal itu membuat Diandra semakin gelisah.Hingga tepat pukul 10.00 malam, deru mesin mobil suaminya terdengar di garasi. Dengan tergesa-gesa Diandra berlari menyambut suaminya."Mas, kok tumben baru pulang? Mas Reza lembur lagi?" tanya Diandra."Hem. Gak usah banyak tanya! Sekarang siapin air hangat, aku mau mandi!" ucap Reza dingin.Tanpa menjawab lagi, Diandra dengan cekatan menyiapkan air dan baju tidur untuk suaminya."Mas, airnya sudah Dian siapin. Bajunya juga ada di kasur. Makan malamnya biar Dian panasin dulu ya," ucap Dia
Diandra terus memandangi baju suaminya dengan air mata yang mulai mengalir. Ingatannya Kembali berputar pada kejadian pagi tadi, dimana suaminya salah menyebut namanya“Apa mungkin Mas Reza tadi bukan salah panggil, tapi memang itu nama Wanita lain yang selama ini menemaninya?”monolog Diandra.Ia pun sadar, jika sejak setahun belakangan suaminya mulai jarang menyentuhnya. Bahkan Reza mulai jarang pulang dan beralasan jika ia menginap di kantor karena banyak kerjaan.Tak ingin berburuk sangka, akhirnya Diandra memutuskan akan menyelidiki kegiatan suaminya akhir-akhir ini secara diam-diam. Ia tak ingin hal yang selama ini menjadi momok menakutkan baginya benar-benar terjadi.“Ya ampun, mikir apaan sih aku ini? Semoga semua itu gak benar. Aku bisa tahan denngan makianmu, Mas. Tapi tidak dengan pengkhianatan kamu, Mas!" ujar Diandra.“Lebih baik sekarang aku selesaikan tugas rumah dulu, kalau sudah aku mau belanja. Daripada mikirin yang bukan-bukan. Soal baju, aku bisa tanyakan nanti kal
Saga berlari ke arah kerumunan orang-orang guna memastikan keadaan putri semata wayangnya. Ketegangan terpampang jelas diwajahnya, khawatir jika putri tercinta dari hasil pernikahannya lima tahun lalu terluka.“Bella!” teriak Saga sembari menerobos kerumunan.Saat ia berhasil sampai di depan, ia bernafas lega melihat keadaan putrinya yang baik-baik saja berada dalam pelukan seorang wanita. Namun, sayangnya wanita itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Karena penasaran dengan sosok penolong putrinya, Saga langsung membalikkan badan wanita tersebut.Alangkah terkejutnya ia melihat sosok itu. Sosok yang baru kemarin ia lihat, sosok yang selama ini masih tersimpan dalam ingatan.“Diandra,” lirih Saga.Tanpa pikir panjang ia langsung menggendong Diandra ala bridal style dan membawanya ke mobil, tak lupa Saga meminta Bella mengikuti langkahnya sekaligus meminta orang untuk membukakan pintu mobilnya.“Tolong bukakan pintunya, saya mau bawa Wanita ini ke rumah sakit,” pinta Saga.“Bella, kamu
Saga Mahesa, seorang CEO dari SM COMPANY yang berstatus duda dan memiliki kekayaan yang cukup membuat iri banyak orang.Saga merupakan anak pertama dari pasangan Arya Mahesa dan Susanti. Sementara adiknya bernama Sinta Mayesa, adalah dokter OBGYN di rumah sakit yang dibangun keluarga mereka.Saga adalah satu-satunya penerus SM COMPANY, perusahaan yang sudah dibesarkan oleh papanya selama ini. Sebab tuan Arya sendiri saat ini memutuskan untuk pensiun dan menghabiskan waktunya di rumah bersama istrinya. Sinta sendiri enggan melanjutkan perusahaan papanya lantaran ia sudah memilii cita-cita tersendiri sejak kecil.Bermula sejak mereka masih bertatus sebagai pelajar SMP, Saga dan Diandra sudah memiliki hubungan yang dekat. Awalnya mereka hanya berteman biasa. Saga, Diandra, Kevin dan Rania memiliki ikatan persahabatan yang kuat. Namun, semua berubah setelah mereka lulus dan melanjutkan kejenjang SMA.Sejak saat itu, Saga dan Diandra sudah mulai menjalin hubungan asmara, bahkan hubungan m
“Kamu apa kabar?” tanya Diandra. “A-aku baik. Maaf, pertemuan kita harus diawali dengan keadaan kaya gini,” ucap Saga. Saat ini mereka tengah berada di ruangan hanya berdua, lantaran Bella dibawa Sinta ke ruangannya untuk istirahat. “Bukan masalah besar. Lagi pula aku gak kenapa-napa. Cuma luka sedikit yang sebentar lagi juga sembuh,” ujar Diandra sembari tersenyum. “Kamu gak pernah berubah, Di. Sejak dulu kamu selalu begitu, mempertahankan senyummu meski keadaanmu lagi gak baik-baik aja,” batin Saga menatap Diandra sendu. “Mana istri kamu? Kenapa kamu jagain Bella sendirian? Kamu udah kabarin dia kan keberadaanmu sekarang?” tanya Diandra mencoba mencairkan suasana. Saga yang mendengar itu seketika terdiam, berpikir jika mengatakan kebenaran sama saja akan mengungkit masa lalu. “Andai kamu tau, kalau Mama Bella sudah gak ada. Dan Mama Bella adalah teman kita dulu, apa kamu akan merasa kecewa dan dikhianati, Di?” batin Saga. “Ga?” panggil Diandra. “Mama Bella udah gak ada seja
Melihat Dandra yang terdiam, membuat Saga bertanya-tanya. Ia pun mengikuti arah pandang Diandra.“Kamu kenapa, Di? Ada masalah sama pemilik mobil itu?” tanya Saga.“Enggak, gak apa-apa,kok.” Jawab Diandra dengan memaksakan senyumnya.“Semoga Mama gak lihat kita berdua. Aku gak mau ada masalah lagi nantinya, apalagi sampai bawa-bawa orang lain.” batin Diandra.“Ayo aku bantu turun, atau kamu mau ikut kita pulang ke rumahku?” tanya Saga menggoda.“Makasih! Tapi rumahku masih nyaman untuk ditempati,”jawab Diandra ketus.“Cantik, Tante pulang dulu, ya. Ingat pesan Tante, jangan lari-lari di jalan lagi, ya.” Diandra menasehati Bella.“Makasih, Tante. Bella janji, Bella gak lari-lari lagi di jalan,” jawab Bella.“Ya udah, aku pulang dulu, kalau ada apa-apa kabarin aja ya,” pinta Saga yang hanya dijawab anggukan oleh Diandra.Setelah memastikan Saga dan Bella pergi, Diandra bergegas masuk ke dalam rumah dengan menggunakan tongkat yang diberikan Saga.Namun, baru saja ia membuka pintu, Diand
Saga melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Saat dirinya tengah fokus menyetir, tiba-tiba Bella menunjukan benda yang tak asing di ingatannya.“Papa, ini dompet Tante Diandra ketinggalan,” ucap Bella sambal menunjukkan dompet berwarna pink di tangannya.Tentu saja Saga tak merasa asing dengan dompet itu, karena itu adalah dompet yang dia belikan saat dirinya masih menjalin hubungan dengan Diandra dulu.“Kamu dapat dari mana dompet ini, sayang?” tanya Saga sembari menepikan mobilnya..“Ada di bawah situ, Pa. Kita balikin sekarang yok, Pa. Pasti Tante Diandra lagi nyariin dompetnya,” ujar Bella.“Iya, sayang. Tapi ini beneran jatuh ‘kan? Bukan akal-akalan Bella biar bisa ketemu Tante lagi?” tanya Saga dengan mata menyipit. Pasalnya, saat Saga membantu Diandra turun ia tak melihat adanya dompet. Terlebih, ia cukup paham dengan tingkat kecerdasan anaknya yang banyak akal.“Hehe, maafin Bella, Pa. Tapi Bella masih pingin ketemu Tante. Nanti kita undang Tante Dian makan malam ya, Pa.”
“Tuan, Saga? Silahkan masuk, Anda mencari Diandra? Kebetulan Diandra ada di dalam,” ucap Danu gugup. “Papa! Kenapa malah di suruh masuk sih?! Dia selingkuhan Diandra loh, Pa. Perempuan ular itu udah selingkuh dibelakang Reza,” ucap Risa tanpa mengindahkan kode dari suaminya yang menyuruhnya diam. “Diam, Ma! Jangan sembarangan bicara! Tuan Saga ini salah satu kolega Papa dari perusahaan tempat Reza kerja. Beliau ini orang terpandang, jadi gak mungkin berbuat seperti itu,” ucap Danu. Mendengar itu, Risa pun terkejut. Bahkan wajahnya pucat pasi. Tak terkecuali Diandra yang juga sama terkejutnya. Ia tak menyangka jika Saga kini sehebat itu. Sebab dulu dirinya tak mengetahui jika Saga adalah anak pemilik perusahaan terbesar tempat suaminya bekerja. “Kenapa malah diam saja? Cepat minta maaf, Ma. Kamu mau anak kita di pecat dan perusahaan Papa yang kecil itu gulung tikar sebelum mencapai puncak jaya? Cepat minta maaf!” titah Danu pada istrinya. “Eh … Tu-tuan Saga, saya mohon maaf untuk k