“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar.
Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum. Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria."Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua. "Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria. "Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan datang," jawab Pandu. "Terima kasih kau sudah berbesar hati untuk ini semua," ujar Satria. Pandu menarik napas panjang. "Jaga dia, Bhista adalah wanita yang sering ceroboh. Dia mudah sekali merasa tak enak dan sering sekali mengalah. Dia juga selalu menyembunyikan sakit hatinya," jelas Pandu. "Hm ... aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu banyak hal tentang Bhista. Aku berjanji padamu. Aku akan menjaga dan mencintai dia apa pun yang terjadi," jawab Satria. Lamunannya membuyar saat Adit menepuk bahunya. Senyum manis Pandu sunggingkan untuk menyapa Adit. "Terima kasih sudah datang," kata Adit. "Mana mungkin aku tak datang pada pesta pernikahan adik sahabatku," jawab Pandu. Mereka kemudian duduk semeja dan mengobrol. Persahabatan mereka memang tak pernah lekang oleh masalah apa pun.Di sisi lain, haru biru sedang melanda Nyonya Sintya."Selamat, Sayang. Semoga kau bahagia selamanya," ucap Nyonya Sintya seraya memeluk putrinya. "Terima kasih, Ibu. Apa kau bahagia melihat putrimu menjadi seorang istri sekarang?" canda Bhista. "Tentu saja Ibu bahagia. Dan pasti ayahmu juga sangat bahagia," sahut Nyonya Sintya sambil mengusap lembut lengan Bhista. "Ayo Ibu, kita foto bersama," ajak Satria sambil menarik lembut mertuanya itu untuk berdiri di antara dirinya dan Bhista. Satria memperlakukan Nyonya Sintya dengan sangat sopan dan lembut. Dia bahkan tanpa sungkan berpose dengan memeluk Nyonya Sintya erat saat fotografer mulai menghitung. "Astaga, putra Ibu," kata ibu mertua Satria itu. "Ibu, apa kau bahagia? Aku sudah resmi menjadi menantumu. Jangan khawatir lagi tentang putrimu, karena aku akan menjaga dia selamanya," kata Satria sambil mengantar mertuanya turun dari pelaminan. "Tentu saja, Nak. Kau pria sempurna untuk putriku," sahut Nyonya Sintya. "Pria itu benar-benar memperlakukan ibuku dengan sangat baik. Dia sangat istimewa," batin Bhista yang masih berada di pelaminan. Saat tengah fokus memperhatikan mereka, seseorang menepuk pundak Bhista. "Ah ... Kakak! Kau mengagetkanku," katanya saat tahu Adit yang menepuk pundaknya. "Kau gelisah? Mengapa wajahmu seperti itu?" tanya Adit. "Lihat mereka, Kak. Satria begitu menyayangi Ibu, dan sebaliknya. Tapi, mengapa hatiku masih sangat kaku untuk menerimanya?" keluh Bhista. Adit meraih bahu adik perempuannya itu dan menatap lembut kedua matanya. "Maafkan aku, maafkan jika aku tak bisa menghentikan pernikahan ini untukmu," sesal Adit. "Tidak, ini keputusanku. Aku ingin Ibu dan Ayah bahagia, karena putrinya bisa memenuhi permintaan mereka untuk menjadi menantu keluarga Winata," jelas Bhista. "Lihatlah di sana! Pandu datang bersama temanku yang lain. Dia juga tampak sangat terluka. Kakak yakin dia masih sangat mencintaimu," kata Adit. "Aku tak ingin melihatnya. Semakin aku melihatnya, semakin sulit bagiku untuk membuka hati untuk Satria," elak Bhista. Adit memeluk Bhista dengan erat. Dia merasa tak berdaya melihat adiknya mengorbankan cintanya yang besar pada Pandu untuk menikahi pria pilihan orang tua mereka. "Jalani semua dengan baik. Bicaralah padaku jika kau merasa tak bisa lagi menjalani ini semua. Kakak akan selalu ada untukmu," lirih Adit. Bhista mengangguk seraya menghapus air matanya yang hampir saja jatuh. "Jangan menangis, atau make up ini akan luntur," kata Rihani, sahabat masa kecil Bhista yang hingga kini selalu menemani dan mendukungnya. Selain bersahabat, Rihani juga sekretaris Bhista. Perempuan itu tahu segalanya tentang Bhista. Dan sepertinya, Rihani akan membuat Bhista menangis hari ini. Sahabatnya itu datang bersama suami dan putri kecilnya. "Selamat, Bhista," ucap Rihani seraya merebut Bhista dari pelukan Adit. Keduanya berpelukan hangat begitu lama. "Selamat, Bhista. Suamimu sangat baik dan penyayang, kau pasti akan bahagia," imbuh Raka, suami Rihani. Ucapan Raka membuat Bhista mengingat kejadian pagi tadi. Dia pikir, tadi dia ketahuan menangis gara-gara Pandu. Namun, Satria malah menggodanya dengan mengatakan bahwa kemungkinan dia takut dengan obrolan malam pertama yang memang sedang dibahas oleh keluarganya di salah satu sudut ruangan. Ya, suaminya itu memang sangat baik. Pikirannya terlalu banyak terisi hal-hal positif. "Bhis ….""Eh, iya. Terima kasih, Kak.” Bhista mengembuskan napas pelan. "Ah ... kalian membawa Alesya. Astaga, kau sangat cantik, Sayang. Aku sangat merindukanmu," kata Bhista sambil mencubit lembut pipi batita yang berada dalam gendongan ayahnya itu. Dari arah depan, Satria berjalan menghampiri mereka selepas mengantar ibu mertuanya kembali ke tempat duduk. "Ah, ada Rihani di sini," sapa Satria. "Hei, Tuan Winata. Jaga dia dan jangan pernah menyakitinya. Biarkan dia tetep di negara ini. Jangan bawa dia pergi jauh dariku!" hardik Rihani. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku juga hanya percaya padamu untuk jadi sekretarisnya," jawab Satria sambil menarik bahu Bhista dalam rangkulannya. Rihani melirik sadis, dia tak ingin kehilangan sahabat sekaligus bosnya itu. Bhista tersenyum melihat mereka saling menatap tajam. Kemudian, satu persatu tamu lain menyapa dan memberi selamat pada pengantin. Dan tak lama setelahnya, mereka mulai turun ke lantai dansa untuk menikmati malam puncak pernikahan itu. Begitu juga dengan Satria dan Bhista. "Kau pandai berdansa," puji Satria sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang Bhista. "Saat SMA, aku mengambil kelas dansa karena suka," jawab Bhista.Lalu, pikirannya melayang pada kejadiaan beberapa tahun silam. Dia ingat sekali bahwa kelas dansa itulah yang menjadi awal hubungannya dengan Pandu. "Kau seperti sengaja membuatku ingat, jika aku menyemai benih cintaku pada Pandu melalui eskul dansa," batin Bhista. "Ayo bertukar pasangan! Pasti akan lebih seru," teriak Adit seakan sengaja.Adit membuat permainan bertukar pasangan di tengah acara dansa. Adit ingin Bhista mengucapkan kata terakhir untuk Pandu yang juga sahabat karibnya. Dan setelah beberapa putaran, Bhista akhirnya jatuh dalam pelukan Pandu. "Ah, kau datang? Bagaimana kabarmu?" sapa Bhista berbasa-basi. Dia pura-pura tidak melihat Pandu sebelumnya. "Seperti yang kau lihat. Aku hancur dan menyedihkan," jawab Pandu. Bhista diam walau kakinya masih terus bergerak mengikuti irama. "Selamat, Bhista. Semoga ini yang terbaik untumu. Berbahagialah bersama suamimu," ucap Pandu sambil menatap dalam kedua bola mata Bhista. "Terima kasih. Kau juga. Berbahagialah," balas Bhista. Pandu masih menantap lekat Bhista sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang perempuan yang masih sangat dia cintai itu. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa inchi saja, dan hal itu terus membuat jantung Bhista berdebar kencang. Tatapan tajam Satria dari sudut lain membuat suasana terasa canggung. "Mereka dekat sekali, apa dia mengambil kesempatan?" batin Satria.Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat