Share

3. Dansa

“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar.  

Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum. 

Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria.

"Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.

Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua. 

"Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria. 

"Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan datang," jawab Pandu. 

"Terima kasih kau sudah berbesar hati untuk ini semua," ujar Satria. 

Pandu menarik napas panjang. 

"Jaga dia, Bhista adalah wanita yang sering ceroboh. Dia mudah sekali merasa tak enak dan sering sekali mengalah. Dia juga selalu menyembunyikan sakit hatinya," jelas Pandu. 

"Hm ... aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu banyak hal tentang Bhista. Aku berjanji padamu. Aku akan menjaga dan mencintai dia apa pun yang terjadi," jawab Satria. 

Lamunannya membuyar saat Adit menepuk bahunya. Senyum manis Pandu sunggingkan untuk menyapa Adit. 

"Terima kasih sudah datang," kata Adit. 

"Mana mungkin aku tak datang pada pesta pernikahan adik sahabatku," jawab Pandu. 

Mereka kemudian duduk semeja dan mengobrol. Persahabatan mereka memang tak pernah lekang oleh masalah apa pun.

Di sisi lain, haru biru sedang melanda Nyonya Sintya.

"Selamat, Sayang. Semoga kau bahagia selamanya," ucap Nyonya Sintya seraya memeluk putrinya. 

"Terima kasih, Ibu. Apa kau bahagia melihat putrimu menjadi seorang istri sekarang?" canda Bhista. 

"Tentu saja Ibu bahagia. Dan pasti ayahmu juga sangat bahagia," sahut Nyonya Sintya sambil mengusap lembut lengan Bhista. 

"Ayo Ibu, kita foto bersama," ajak Satria sambil menarik lembut mertuanya itu untuk berdiri di antara dirinya dan Bhista. 

Satria memperlakukan Nyonya Sintya dengan sangat sopan dan lembut. Dia bahkan tanpa sungkan berpose dengan memeluk Nyonya Sintya erat saat fotografer mulai menghitung. 

"Astaga, putra Ibu," kata ibu mertua Satria itu. 

"Ibu, apa kau bahagia? Aku sudah resmi menjadi menantumu. Jangan khawatir lagi tentang putrimu, karena aku akan menjaga dia selamanya," kata Satria sambil mengantar mertuanya turun dari pelaminan. 

"Tentu saja, Nak. Kau pria sempurna untuk putriku," sahut Nyonya Sintya. 

"Pria itu benar-benar memperlakukan ibuku dengan sangat baik. Dia sangat istimewa," batin Bhista yang masih berada di pelaminan. 

Saat tengah fokus memperhatikan mereka, seseorang menepuk pundak Bhista. "Ah ... Kakak! Kau mengagetkanku," katanya saat tahu Adit yang menepuk pundaknya. 

"Kau gelisah? Mengapa wajahmu seperti itu?" tanya Adit. 

"Lihat mereka, Kak. Satria begitu menyayangi Ibu, dan sebaliknya. Tapi, mengapa hatiku masih sangat kaku untuk menerimanya?" keluh Bhista. 

Adit meraih bahu adik perempuannya itu dan menatap lembut kedua matanya. 

"Maafkan aku, maafkan jika aku tak bisa menghentikan pernikahan ini untukmu," sesal Adit. 

"Tidak, ini keputusanku. Aku ingin Ibu dan Ayah bahagia, karena putrinya bisa memenuhi permintaan mereka untuk menjadi menantu keluarga Winata," jelas Bhista. 

"Lihatlah di sana! Pandu datang bersama temanku yang lain. Dia juga tampak sangat terluka. Kakak yakin dia masih sangat mencintaimu," kata Adit. 

"Aku tak ingin melihatnya. Semakin aku melihatnya, semakin sulit bagiku untuk membuka hati untuk Satria," elak Bhista. 

Adit memeluk Bhista dengan erat. Dia merasa tak berdaya melihat adiknya mengorbankan cintanya yang besar pada Pandu untuk menikahi pria pilihan orang tua mereka. 

"Jalani semua dengan baik. Bicaralah padaku jika kau merasa tak bisa lagi menjalani ini semua. Kakak akan selalu ada untukmu," lirih Adit. 

Bhista mengangguk seraya menghapus air matanya yang hampir saja jatuh. 

"Jangan menangis, atau make up ini akan luntur," kata Rihani, sahabat masa kecil Bhista yang hingga kini selalu menemani dan mendukungnya. Selain bersahabat, Rihani juga sekretaris Bhista. Perempuan itu tahu segalanya tentang Bhista.  

Dan sepertinya, Rihani akan membuat Bhista menangis hari ini. Sahabatnya itu datang bersama suami dan putri kecilnya. 

"Selamat, Bhista," ucap Rihani seraya merebut Bhista dari pelukan Adit. 

Keduanya berpelukan hangat begitu lama. 

"Selamat, Bhista. Suamimu sangat baik dan penyayang, kau pasti akan bahagia," imbuh Raka, suami Rihani. 

Ucapan Raka membuat Bhista mengingat kejadian pagi tadi. Dia pikir, tadi dia ketahuan menangis gara-gara Pandu. Namun, Satria malah menggodanya dengan mengatakan bahwa kemungkinan dia takut dengan obrolan malam pertama yang memang sedang dibahas oleh keluarganya di salah satu sudut ruangan. Ya, suaminya itu memang sangat baik. Pikirannya terlalu banyak terisi hal-hal positif. 

"Bhis …."

"Eh, iya. Terima kasih, Kak.” Bhista mengembuskan napas pelan. "Ah ... kalian membawa Alesya. Astaga, kau sangat cantik, Sayang. Aku sangat merindukanmu," kata Bhista sambil mencubit lembut pipi batita yang berada dalam gendongan ayahnya itu. 

Dari arah depan, Satria berjalan menghampiri mereka selepas mengantar ibu mertuanya kembali ke tempat duduk. 

"Ah, ada Rihani di sini," sapa Satria. 

"Hei, Tuan Winata. Jaga dia dan jangan pernah menyakitinya. Biarkan dia tetep di negara ini. Jangan bawa dia pergi jauh dariku!" hardik Rihani. 

"Tentu saja. Jangan khawatir. Aku juga hanya percaya padamu untuk jadi sekretarisnya," jawab Satria sambil menarik bahu Bhista dalam rangkulannya. 

Rihani melirik sadis, dia tak ingin kehilangan sahabat sekaligus bosnya itu. Bhista tersenyum melihat mereka saling menatap tajam. 

Kemudian, satu persatu tamu lain menyapa dan memberi selamat pada pengantin. Dan tak lama setelahnya, mereka mulai turun ke lantai dansa untuk menikmati malam puncak pernikahan itu. Begitu juga dengan Satria dan Bhista. 

"Kau pandai berdansa," puji Satria sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang Bhista. 

"Saat SMA, aku mengambil kelas dansa karena suka," jawab Bhista.

Lalu, pikirannya melayang pada kejadiaan beberapa tahun silam. Dia ingat sekali bahwa kelas dansa itulah yang menjadi awal hubungannya dengan Pandu. 

"Kau seperti sengaja membuatku ingat, jika aku menyemai benih cintaku pada Pandu melalui eskul dansa," batin Bhista. 

"Ayo bertukar pasangan! Pasti akan lebih seru," teriak Adit seakan sengaja.

Adit membuat permainan bertukar pasangan di tengah acara dansa. Adit ingin Bhista mengucapkan kata terakhir untuk Pandu yang juga sahabat karibnya. Dan setelah beberapa putaran, Bhista akhirnya jatuh dalam pelukan Pandu. 

"Ah, kau datang? Bagaimana kabarmu?" sapa Bhista berbasa-basi. Dia pura-pura tidak melihat Pandu sebelumnya. 

"Seperti yang kau lihat. Aku hancur dan menyedihkan," jawab Pandu. 

Bhista diam walau kakinya masih terus bergerak mengikuti irama. 

"Selamat, Bhista. Semoga ini yang terbaik untumu. Berbahagialah bersama suamimu," ucap Pandu sambil menatap dalam kedua bola mata Bhista. 

"Terima kasih. Kau juga. Berbahagialah," balas Bhista. 

Pandu masih menantap lekat Bhista sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang perempuan yang masih sangat dia cintai itu. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa inchi saja, dan hal itu terus membuat jantung Bhista berdebar kencang. 

Tatapan tajam Satria dari sudut lain membuat suasana terasa canggung. 

"Mereka dekat sekali, apa dia mengambil kesempatan?" batin Satria. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status