***
Pagi menjelang, dengan susah payah Bhista bangkit dari tempat tidur untuk segera melepas gaun indah yang menjadi saksi penyatuan hidupnya dan Satria tadi malam.
Kesadaran itu akhirnya membuat dia dengan panik meraba pakaian dalamnya di balik gaun. Dia mendesah lega saat merasakan semuanya masih terpasang dengan baik. Satria tidak melakukan apa pun padanya semalam. "Jangan khawatir, aku tak akan melakukan apa pun sebelum kau sendiri yang mengizinkannya," kata Satria tiba-tiba, hingga membuat Bhista tersentak. "Kau sudah bangun? Maafkan aku," ucap Bhista dan diangguki oleh Satria. Bhista kemudian beranjak menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Ia tadi sengaja kabur dari hadapan Satria karena tak ingin salah bicara. "Dia canggung sekali," lirih Satria.Satria kemudian tersadar jika tak ada pakaian Bhista di rumah ini. Dia berjalan menuju nakas dan mengambil ponselnya. Dia menghubungi Paman Jono untuk mengambilkan pakaian Bhista di rumah orang tua istrinya itu. Tak hanya itu, Satria juga turun untuk meminta Bibi Sum menyiapkan sarapan untuk istrinya."Apa istrimu tak akan turun?" tanya Nyonya Winata sinis. "Pakaiannya belum datang, Ibu. Dia akan segera turun setelah Paman Jono membawakannya pakaian. Sementara itu, biar dia sarapan di kamar saja," jawab Satria lembut. Nyonya Winata masih menatap putranya dengan sedikit sinis. "Aku ingin menantu yang bisa kuajak mengobrol di rumah dan berbelanja ke pusat perbelanjaan. Bukan menantu yang akan sibuk bekerja di luar rumah dan mengurus putraku selagi sempat saja," gerutu Nyonya Winata. "Astaga, jangan egois seperti itu, Sayang. Abhista memiliki posisi penting di perusahaan, dan dia sangat berkompeten. Kita harus mendukungnya," tukas Tuan Winata. "Tetap saja, dia adalah seorang istri dan seorang menantu yang tak boleh lalai akan tugas dan kewajibannya. Dan kurasa Satria sudah diperbudak oleh rasa cintanya, hingga mengizinkan istrinya tetap bekerja dan mengabaikan kewajiban untuk mengurus suaminya," sahut Nyonya Winata. Enggan berdebat, ayah Satria segera melangkah menuju meja makan untuk sarapan. Ia merasa istrinya sudah berlebihan.* * *
Terdengar pintu kamar diketuk, dan Satria segera membukanya. Rupanya itu adalah Paman Jono yang tadi ia tugaskan untuk mengambilkan pakaian Bhista. Lelaki paruh baya itu memberikan paper bag berukuran besar pada Satria.
"Ini sudah datang, bergantilah! Kemeja itu membuatmu sangat berbahaya," canda Satria."Aish, kau ini," lirih Bhista sembari meraih paper bag dari tangan Satria, dan segera masuk ke kamar wardrobe untuk mengganti bajunya. Bhista selesai mengenakan gaun warna cokelat muda yang memiliki aksen tali di pinggang. Tali yang menjuntai panjang itu membuat lekuk tubuhnya tampak indah. Lengan putihnya juga terekspos karena gaun cantik tanpa lengan itu. "Kita hanya akan di rumah, mengapa Ibu mengambilkan aku baju seperti ini?" gerutu Bhista. "Tidak, Sayang. Kita akan makan siang di luar bersama keluargamu nanti. Selepas itu, kita akan menginap di rumah ibumu sekalian mengambil barang-barangmu," jawab Satria. Satria dan Bhista kemudian berjalan menuruni tangga. Sesekali terdengar tawa renyah yang tercipta karena lelucon kecil yang Satria lontarkan. Sampai di ujung tangga, Bhista melihat ibu mertuanya sedang menyiangi tanaman bunga di ruang tengah. Dia memang sudah mengenal Nyonya Winata, tapi belum begitu dekat. Tak seperti Satria yang sudah sangat dekat dengan ibu dan keluarganya. "Ibu, ajari aku merangkai bunga," pinta Bhista basa-basi."Untuk apa? Lagi pula kau tak akan punya waktu untuk kegiatan seperti ini. Bukankah kau mempunyai peranan penting di perusahaan dan kau harus tetap bekerja walau sudah menikah," jawab Nyonya Winata ketus. Bhista merasa seperti ditampar oleh pernyataan ibu mertuanya. Dia meremas kuat tepian gaun yang dipakainya. Dia bingung bagaimana caranya memulai semuanya. Bhista juga ingin menjadi menantu yang baik untuk Nyonya Winata, sebagai balasan pada Satria karena sudah sangat mencintai ibunya. "Sayang, Ibu sedang asyik dengan dunianya. Lebih baik kita jangan menganggunya. Ayo ikut aku saja!" ajak Satria sengaja memisah keadaan yang mulai panas. "Kita akan ke mana?" tanya Bhista bingung. "Sudah, ikut saja. Kau akan tahu nanti," balas Satria sambil tersenyum manis seperti biasanya. Bhista mengikuti langkah kaki suaminya. Hatinya tersentuh lagi mendengar Satria mengatakan hal itu di situasi yang tepat. Sekali lagi dia menyelamatkan Bhista dari situasi sulit. "Ibu, kami akan segera kembali. Bersenang-senanglah dengan tanamanmu itu," ucap Satria sambil melambaikan tangannya. "Kami pergi, Ibu," pamit Bhista. Tatapan Nyonya Winata yang sinis mengikuti dua orang yang kini sudah berada di teras rumah. Dia benar-benar tidak suka Satria terlalu membela dan memanjakan istrinya. Hati kecil Nyonya Winata sedikit kesal melihat putranya lebih membela istrinya dan menerima keputusan Bhista untuk tetap bekerja. "Kita lihat, Bhista. Sampai kapan kau akan mendapat pembelaan dari suamimu itu. Sampai kapan Satria akan terima dengan istri yang tak bisa melayaninya dengan baik dan memilih berkarir," lirih Nyonya Winata.Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing.Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan."Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata."Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista"Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan."Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut."Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat."Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama b
Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. "Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. "Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. "Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. "Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal da
Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya."Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria."Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria."Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista."Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut."Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria."Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya."Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius."Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.
Hati Bhista seperti dirutuki mendengar suara ibu mertuanya yang begitu menyedihkan. Bhista yakin hati Nyonya Winata benar-benar tengah gundah. Terlebih dia juga sangat menyayangi Arsy. Pikiran Bhista sekilas melayang membayangkan apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban yang ibu mertuanya pikul saat ini."Haruskah aku berbicara pada Satria demi ibu atau aku tetap harus bersikap seperti semalam yang menolak keras keinginan ibu itu?" batinnya berulang-ulang.Suasana begitu canggung. Nyonya Winata menatap Bhista seperti memaksa menantunya itu mengatakan sesuatu."Ayah, aku sangat bingung. Apa yang harus ku lakukan. Satu sisi aku tak ingin berbagi suami, disisi lain aku sangat sakit melihat ibu begitu kecewa," tanya Bhista pada ayah mertuanya.Dia bertanya karena saat ini hanya Tuan Winata lah yang dalam posisi netral."Kau tahu aku sangat kecewa padamu, tapi mengapa kau tetap bersikeras tak bisa membagi suamimu? Ta
Tok ... Tok ... Tok ...Seseorang mengedor pintu kamar dan membuat dua insan yang hampir berciuman itu terkejut."Aish, siapa yang datang?" omel Satria.Dia segera bangkit dan membuka pintu."Mobil sudah siap, Kak. Ayo segera turun. Kita akan segera ke bandara," kata Lucky."Hyak, apa tak bisa datangnya nanti setelah istriku memberiku kecupan manis dibibirku?" omel Satria.Suara tawa Lucky memecah keheningan."Oke.Masuk dan lanjutkan ciuman itu. Kuberi waktu sepuluh menit. Setelah itu aku akan datang lagi untuk membawa kopermu turun," kata Lucky dengan santai.Satria menutup pintu dan menghampiri istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang itu. Tanpa aba-aba suami Bhista itu menyerang istrinya dengan brutal."Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum si brengsek itu kembali, ayo manfaatkan," bisik Satria.Mereka merengkuh nikmatnya ciuman dan sentuhan dalam waktu sep