Share

4. Mulai

"Kau lelah? Ini sangat menyenangkan," kata Satria penuh semangat ketika Bhista sudah kembali ke pelukannya. 

"Kau benar, ini menyenangkan. Apa kau bahagia?" tanya Bhista. 

"Tentu saja," jawab Satria sembari mendaratkan kecupan mesra di kening istrinya. 

Kemudian, setelah hampir satu jam berdansa, Satria dan Bhista beristirahat di kursi tamu seraya mengobrol. Sesekali Satria meneguk wine dari gelas yang dia pegang. Wajahnya sudah sangat merah saat ini. Mungkin pria itu sudah mabuk. Namun, Satria tampak kuat. Meski tengah mabuk, dia masih bisa bersikap tenang dan tampak waras. 

"Mati aku! Dia mabuk. Apa yang akan terjadi malam ini?" batin Bhista khawatir. 

Bhista mulai meremas lembut gaunnya ketika membayangkan tidur seranjang dengan suami yang belum dia cintai ini. Apalagi saat ini Satria sedang mabuk, meski masih tampak baik-baik saja.

"Sudah larut, Sayang. Kau harus istirahat," kata Satria. 

"Kau ingin kita masuk sekarang?" tanya Bhista.

"Kepalaku sedikit sakit, mungkin karena wine ini. Aku akan masuk dan beristirahat. Jika kau masih ingin di sini untuk menjamu para tamu, silakan saja," ucap Satria lirih. 

"Tidak. Aku akan masuk bersamamu. Pesta telah usai, dan mereka masih di sini karena masih menikmati malam dengan pasangan mereka masing-masing. Dan kurasa aku harus menemani suamiku," ujar Bhista. 

"Terima kasih, Sayang. Kau memang yang terbaik," puji Satria. 

Keduanya kemudian beranjak menuju kamar pengantin. Namun, sebetulnya Bhista merasa tak siap sama sekali kalau harus tidur seranjang dengan pria yang saat ini sudah resmi menjadi suaminya itu. Perasaannya masih sangat kaku dan masih begitu canggung. 

Sepertinya Satria sangat mengerti, hingga akhirnya mereka hanya saling terlelap tanpa melakukan apa pun yang seharusnya sepasang pengantin lakukan.

"Kumohon, cobalah menerimaku. Aku sangat mencintaimu. Dan aku tahu, kau belum mencintaiku. Cobalah. Kumohon cobalah, Sayang," lirih Satria sembari mendaratkan kecupan singkat di bibir ranum istrinya. 

***

Pagi menjelang, dengan susah payah Bhista bangkit dari tempat tidur untuk segera melepas gaun indah yang menjadi saksi penyatuan hidupnya dan Satria tadi malam. 

Kesadaran itu akhirnya membuat dia dengan panik meraba pakaian dalamnya di balik gaun. Dia mendesah lega saat merasakan semuanya masih terpasang dengan baik. Satria tidak melakukan apa pun padanya semalam. 

"Jangan khawatir, aku tak akan melakukan apa pun sebelum kau sendiri yang mengizinkannya," kata Satria tiba-tiba, hingga membuat Bhista tersentak. 

"Kau sudah bangun? Maafkan aku," ucap Bhista dan diangguki oleh Satria. 

Bhista kemudian beranjak menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Ia tadi sengaja kabur dari hadapan Satria karena tak ingin salah bicara. 

"Dia canggung sekali," lirih Satria.

Satria kemudian tersadar jika tak ada pakaian Bhista di rumah ini. Dia berjalan menuju nakas dan mengambil ponselnya. Dia menghubungi Paman Jono untuk mengambilkan pakaian Bhista di rumah orang tua istrinya itu. Tak hanya itu, Satria juga turun untuk meminta Bibi Sum menyiapkan sarapan untuk istrinya.

"Apa istrimu tak akan turun?" tanya Nyonya Winata sinis. 

"Pakaiannya belum datang, Ibu. Dia akan segera turun setelah Paman Jono membawakannya pakaian. Sementara itu, biar dia sarapan di kamar saja," jawab Satria lembut. 

Nyonya Winata masih menatap putranya dengan sedikit sinis. 

"Aku ingin menantu yang bisa kuajak mengobrol di rumah dan berbelanja ke pusat perbelanjaan. Bukan menantu yang akan sibuk bekerja di luar rumah dan mengurus putraku selagi sempat saja," gerutu Nyonya Winata. 

"Astaga, jangan egois seperti itu, Sayang. Abhista memiliki posisi penting di perusahaan, dan dia sangat berkompeten. Kita harus mendukungnya," tukas Tuan Winata. 

"Tetap saja, dia adalah seorang istri dan seorang menantu yang tak boleh lalai akan tugas dan kewajibannya. Dan kurasa Satria sudah diperbudak oleh rasa cintanya, hingga mengizinkan istrinya tetap bekerja dan mengabaikan kewajiban untuk mengurus suaminya," sahut Nyonya Winata. 

Enggan berdebat, ayah Satria segera melangkah menuju meja makan untuk sarapan. Ia merasa istrinya sudah berlebihan.

* * *

Terdengar pintu kamar diketuk, dan Satria segera membukanya. Rupanya itu adalah Paman Jono yang tadi ia tugaskan untuk mengambilkan pakaian Bhista. Lelaki paruh baya itu memberikan paper bag berukuran besar pada Satria.  

"Ini sudah datang, bergantilah! Kemeja itu membuatmu sangat berbahaya," canda Satria.

"Aish, kau ini," lirih Bhista sembari meraih paper bag dari tangan Satria, dan segera masuk ke kamar wardrobe untuk mengganti bajunya. 

Bhista selesai mengenakan gaun warna cokelat muda yang memiliki aksen tali di pinggang. Tali yang menjuntai panjang itu membuat lekuk tubuhnya tampak indah. Lengan putihnya juga terekspos karena gaun cantik tanpa lengan itu. 

"Kita hanya akan di rumah, mengapa Ibu mengambilkan aku baju seperti ini?" gerutu Bhista. 

"Tidak, Sayang. Kita akan makan siang di luar bersama keluargamu nanti. Selepas itu, kita akan menginap di rumah ibumu sekalian mengambil barang-barangmu," jawab Satria. 

Satria dan Bhista kemudian berjalan menuruni tangga. Sesekali terdengar tawa renyah yang tercipta karena lelucon kecil yang Satria lontarkan. Sampai di ujung tangga, Bhista melihat ibu mertuanya sedang menyiangi tanaman bunga di ruang tengah. Dia memang sudah mengenal Nyonya Winata, tapi belum begitu dekat. Tak seperti Satria yang sudah sangat dekat dengan ibu dan keluarganya. 

"Ibu, ajari aku merangkai bunga," pinta Bhista basa-basi.

"Untuk apa? Lagi pula kau tak akan punya waktu untuk kegiatan seperti ini. Bukankah kau mempunyai peranan penting di perusahaan dan kau harus tetap bekerja walau sudah menikah," jawab Nyonya Winata ketus. 

Bhista merasa seperti ditampar oleh pernyataan ibu mertuanya. Dia meremas kuat tepian gaun yang dipakainya. Dia bingung bagaimana caranya memulai semuanya. Bhista juga ingin menjadi menantu yang baik untuk Nyonya Winata, sebagai balasan pada Satria karena sudah sangat mencintai ibunya. 

"Sayang, Ibu sedang asyik dengan dunianya. Lebih baik kita jangan menganggunya. Ayo ikut aku saja!" ajak Satria sengaja memisah keadaan yang mulai panas. 

"Kita akan ke mana?" tanya Bhista bingung. 

"Sudah, ikut saja. Kau akan tahu nanti," balas Satria sambil tersenyum manis seperti biasanya. 

Bhista mengikuti langkah kaki suaminya. Hatinya tersentuh lagi mendengar Satria mengatakan hal itu di situasi yang tepat. Sekali lagi dia menyelamatkan Bhista dari situasi sulit. 

"Ibu, kami akan segera kembali. Bersenang-senanglah dengan tanamanmu itu," ucap Satria sambil melambaikan tangannya. 

"Kami pergi, Ibu," pamit Bhista. 

Tatapan Nyonya Winata yang sinis mengikuti dua orang yang kini sudah berada di teras rumah. Dia benar-benar tidak suka Satria terlalu membela dan memanjakan istrinya. Hati kecil Nyonya Winata sedikit kesal melihat putranya lebih membela istrinya dan menerima keputusan Bhista untuk tetap bekerja. 

"Kita lihat, Bhista. Sampai kapan kau akan mendapat pembelaan dari suamimu itu. Sampai kapan Satria akan terima dengan istri yang tak bisa melayaninya dengan baik dan memilih berkarir," lirih Nyonya Winata. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status