Pandu mendatangi kediaman Candra pagi itu. Dia sengaja datang untuk meminta pertolongan Adit untuk yang terakhir kalinya. Mereka duduk berdua di ruang perpustakaan rumah.
"Bhista keluar," kata Adit."Aku sengaja datang saat dia tak di rumah," jawab Pandu. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adit. "Dit, apakah kau benar-benar tak bisa membantuku? Apakah Bhista sama sekali sudah tak bisa dibujuk?" Pandu menatap Adit dengan sorot nyaris putus asa. "Sungguh, maafkan aku. Aku sudah mencoba berkali-kali. Bahkan kami hampir ribut, tapi Bhista tetap dengan keputusannya. Dia tetap akan melaksakan pernikahan yang ayahku inginkan," jelas Adit. "Jika kau masih ingin berusaha, lakukanlah semampumu. Aku akan mendukungmu. Bagiku Bhista hanya akan bahagia bersamamu," kata Adit. "Aku akan menemui Ibu. Kurasa hanya Ibu yang bisa membujuk Bhista," putus Pandu akhirnya. Itu adalah usaha terakhir yang bisa dia pikirkan. Sebab, dia kenal betul bahwa Bhista tidak mudah goyah atas keputusan yang sudah diambilnya. "Aku tak yakin, tapi cobalah," jawab Adit. Sebetulnya Pandu merasa ragu ketika dia memutuskan ingin bertemu ibu Bhista. Dia merasa akan sia-sia saja. Tapi hatinya masih sangat ingin mempertahankan hubungan mereka. Jadilah dia beranjak dari perpustakaan untuk menemui Nyonya Sintya yang ada di dapur."Ibu, aku ingin bicara," kata Pandu. Ibu Bhista mempersilakan Pandu duduk di meja makan, lalu dia menyusulnya. "Bicaralah, Nak. Ibu akan mendengarkan, walau sebenarnya Ibu sudah tahu apa yang ingin kau katakan," jawab Nyonya Sintya. "Ibu, tak bisakah perjodohan itu dibatalkan? Kumohon, Ibu. Kami saling mencintai, tapi Bhista memaksa untuk mengakhiri hubungan kami." Penjelasan Pandu sama persis dengan isi pikiran Nyonya Sintya. Dia akhirnya hanya bisa menghela napas atas rasa bersalah yang muncul di dada. "Maafkan Ibu, Nak. Ini adalah keputusan Bhista. Dan Ibu tak bisa melakukan apa pun. Berkali-kali Ibu membujuknya untuk memikirkan hati dan keinginannya. Tapi dia tetap ingin menikah dengan Satria sesuai wasiat ayahnya," jelas Nyonya Sintya. "Ibu," lirih Pandu dengan nada putus asa. "Nak, Ibu tahu benar hubungan kalian. Tapi Ibu rasa ini hanya akan menyakitimu jika kau terus menolak. Kau hafal benar bagaimana Bhista itu. Jadi Ibu rasa, lapangkan hatimu dan terima keputusan Bhista jika memang dia ingin hubungan kalian berakhir," jelas ibu Bhista dengan berat hati.Pandu memijit pangkal hidungnya. Dia tak tahu lagi harus berkata apa. "Ibu sebenarnya juga sangat bimbang. Di satu sisi Ibu tahu benar dia masih mencintaimu, tapi di sisi lain dia sudah menyetujui permintaan ayahnya itu. Maaf, Nak. Tak ada yang bisa Ibu lakukan untukmu. Sungguh, maafkan Ibu," lanjutnya lagi. Suasana menjadi hening selama beberapa menit. Hingga tiba-tiba Pandu bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Langkah lemahnya mengisyaratkan jika dia sangat kecewa. Dia pergi tanpa mengucap kata. Pandu memutuskan untuk benar-benar pergi dari kehidupan Bhista dan keluarganya. "Aku kalah. Dan yang kalah harus pergi," batin Pandu.* * *
"Nona Bhista dan keluarga mereka datang lebih awal," ujar pengawal pribadi Satria.
"Ah, mereka akan menggunakan ruangan terluas di lantai dasar. Bibi Sum sudah menyiapkannya," jelas Satria.Pengawal itu mengangguk, lalu bergerak untuk melakukan tugasnya. Persiapan pernikahan Satria dan Bhista berlangsung dengan lancar. Ratusan undangan tersebar. Beberapa tamu sudah memenuhi tempat pemberkatan dan pesta. Walau belum merasa mencintai Satria, Bhista sudah jauh lebih baik saat ini. Kekhawatirannya sudah sedikit menghilang berganti keyakinan untuk menunaikan baktinya. Kini keduanya sudah berdiri di altar bersama pendeta, dengan disaksikan para tamu yang fokus memperhatikan mereka. "Satria Winata, bersediakah kau mencintai dan mengasihi seorang Abhista Sintya Candra sebagai istrimu dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun bahagia, dalam kaya maupun miskin, hingga maut memisahkan?" tanya pendeta dengan lantang. "Saya bersedia," sahut Satria mantap. "Abhista Cintya Candra, bersediakah kau mencintai dan mengasihi seorang Satria Winata sebagai suamimu dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun bahagia, dalam kaya maupun miskin, hingga maut memisahkan?" tanya pendeta lagi. Dengan cepat hati Bhista merasa sesak setelah pendeta mengucapkan pertanyaannya. Dia merasa terjebak dalam kebohongan. Padahal ini bukan permainan. Ini adalah janji di hadapan Tuhan yang tak akan mudah untuk diingkari.Matanya mulai berkaca-kaca merasakan tekanan yang begitu hebat menghimpit relung hati yang masih kosong. Pernikahan ini terasa terjadi begitu cepat. Rasa-rasanya baru kemarin dia menghancurkan hati Pandu. "Katakan kau bersedia, Nak." Suara Tuan Candra tiba-tiba saja seperti masuk ke telinga Bhista. Dengan menghela nafas panjang, Bhista memberanikan diri untuk menjawab. "Saya bersedia," jawab Bhista. "Dengan cinta kasih Tuhan dan ketulusan hati kalian berdua, serta iringan restu keluarga, arungilah bahtera kehidupan suami-istri kalian berdua dengan tetap saling mengasihi, mencintai, menghormati dan menghargai satu sama lain sebagai seorang suami dan seorang istri. Semoga Tuhan senantiasa mencurahkan cinta kasihnya kepada kalian berdua untuk selamanya." Pendeta mengakhiri prosesi sakral penyatuan dua insan yang kini telah sah menjadi pasangan suami-istri itu. Satria membuka kain tile yang menjadi pembatas pandangannya dan Bhista dengan sangat lembut. Kain itu tersingkap dan menampakan wajah cantik nan mempesona Bhista di hadapan pria yang saat ini telah menjadi suaminya itu. Semua undangan bertepuk tangan setelah prosesi pertukaran cincin. Bhista kemudian melirik jarinya yang dilingkari cincin silver. Tak bisa dia pungkiri bahwa hal itu terlihat sangat indah. "Cium! Cium! Cium!" sorak para tamu yang hadir menjadi saksi pernikahan. Tanpa canggung, Satria meraih bahu Bhista dan memberikan sentuhan lembut di bibir perempuan itu untuk pertama kalinya setelah mereka bersama. Satria tersenyum dan segera menggandeng tangan Bhista untuk berjalan menyapa para tamu yang hadir. Sorak sorai dan tepuk tangan para tamu undangan membuat mereka berdua seperti model catwalk yang tengah mengikuti peragaan busana. Apalagi para tamu mulai berbisik dan memuji kedua mempelai."Mereka begitu serasi.""Tuhan sungguh adil mempertemukan pria tampan dan wanita cantik." "Astaga, perbuatan baik apa yang Abhista lakukan di kehidupannya yang lalu, hingga Satria mempersuntingnya?" Namun, di antara para tamu, tak sengaja mata Bhista menangkap sosok Pandu yang duduk bersebelahan dengan beberapa kerabatnya."Dia di sana?" batin Bhista. Pandu terlihat sangat tampan dengan setelan jas berwarna hitam dipadu dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Dengan mata bergetar Bhista mencoba menguatkan hatinya. Dia tak ingin menghancurkan pernikahannya dengan ilusi tak berguna, walau hatinya masih seutuhnya milik Pandu. "Mengapa kau hadir? Sengajakah ingin membuat hatiku terasa nyeri? Apa kau ingin membuatku semakin hancur dan merasa sedih?" batin Bhista. Air mata Bhista kembali luruh karena hatinya masih sangat terluka. Tak bisa dipungkiri jika keberadaan Pandu di ruangan itu membuat hatinya nyeri dan dadanya sesak.“Bhista, kau kenapa?” Satria yang menyadari air mata di wajah sang istri mengerutkan dahi. Dia hendak mengikuti arah pandang Bhista tadi, tapi perempuan itu langsung menarik tangannya. “Aku haus. Bisakah kau menemaniku mengambil minuman?” dusta Bhista. Dia sebetulnya hanya tak ingin Satria melihat Pandu. Kenyitan muncul kembali di dahi Satria. Lelaki itu mencoba menemukan keanehan atas gerak-gerik perempuan yang sudah menjadi istrinya itu. “Bhista, jangan bilang kalau ….”“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar. Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum.Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria."Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua."Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria."Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan dat
"Kau lelah? Ini sangat menyenangkan," kata Satria penuh semangat ketika Bhista sudah kembali ke pelukannya."Kau benar, ini menyenangkan. Apa kau bahagia?" tanya Bhista."Tentu saja," jawab Satria sembari mendaratkan kecupan mesra di kening istrinya.Kemudian, setelah hampir satu jam berdansa, Satria dan Bhista beristirahat di kursi tamu seraya mengobrol. Sesekali Satria meneguk wine dari gelas yang dia pegang. Wajahnya sudah sangat merah saat ini. Mungkin pria itu sudah mabuk. Namun, Satria tampak kuat. Meski tengah mabuk, dia masih bisa bersikap tenang dan tampak waras."Mati aku! Dia mabuk. Apa yang akan terjadi malam ini?" batin Bhista khawatir.Bhista mulai meremas lembut gaunnya ketika membayangkan tidur seranjang dengan suami yang belum dia cintai ini. Apalagi saat ini Satria sedang mabuk, meski masih tampak baik-baik saja."Sudah larut, Sayang. Kau harus istirahat," kata Satria."Kau ingin kita masu
Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing.Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan."Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata."Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista"Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan."Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut."Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat."Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama b
Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. "Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. "Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. "Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. "Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal da
Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya."Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria."Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria."Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista."Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut."Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria."Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya."Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius."Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.