Share

BAB 5 Kuhantam Pelan-Pelan

 

 

#Kuhantam Pelan-Pelan

 

Subhanalloh, aku sungguh malu mendengar penuturan pak Soleh, sungguh nggak pantes melihat perejengannya yang seperti juragan tapi bergaya hidup pelit seperti itu. Aku pamit pak Sholeh sambil membawa nasi goreng dalam kresek.

 

Aku berjalan sambil menenteng satu bungkus nasi goreng lawar kearah mobil suamiku yang berjarak dua puluh meter dari warungnya pak Soleh.

 

"Ayo Mas, kita pulang," kataku singkat sambil menutup pintu mobil dengan keras.

 

Sepanjang jalan aku diam, dan tak berusaha mencari perhatian lagi dari mas Gunarso. Dia melirik, aku pura-pura tidur sambil bersandar di kursi mobil.

 

Sesampai dirumah, mas Gunarso memarkirkan mobil dan aku langsung lari kedapur mengambil satu piring untuk meletakkan nasi goreng. Kugeletakkan begitu saja diatas meja makan tanpa ku buka,  disampingnya kuberi sendok dan air putih satu gelas. Setelah itu aku ngeloyor pergi ke tempat tidur.

 

"Ma, nggak jadi makan, kah?" tanyanya begitu masuk rumah.

 

"Makan sendiri saja, aku sudah kenyang!" kataku sambil naik ke ranjang siap mau tidur.

 

Aku pingin lihat reaksinya makan tanpa kulayani seperti biasanya. Selama ini aku tidak pernah protes atau ngomel saat diberi uang belanja yang kurang karena semua sudah bisa aku tutup dari pekerjaanku sendiri.

 

Aku turun dari ranjang, ku intip dari lubang pintu apa yang dilakukan di meja makan yang kebetulan berhadapan dengan kamar tidurku itu.

 

Lelaki itu duduk dikursi sambil makan nasi goreng dengan lahap hingga tuntas kemudian minum air putih. Tidak ada satupun yang janggal dari kelakuannya.

 

Aku kembali ke ranjang, terus mengambil ponsel lalu ku masukkan nomer baru yang tadi kubeli di counter. Aku ingin mengerjai suamiku biar tahu rasa dia.

 

Setelah kuaktifkan nomernya langsung ku kirim gambar saat dia main dengan si biru tadi. Begitu selesai di kirim ponsel langsung ku masukkan di saku daster terus keluar mendekati suami dari arah belakang. 

 

"Aduh, siapa ini yang kurang ajar," katanya.

 

Kulingkarkan tangan di bahunya dari belakang, dia terperanjat kaget karena tak menyangka istrinya ini mengintip ponsel dari   belakang punggungnya, aku sempat melihat gambarnya itu. 

 

"Apa sih, Ma. Ini temanku usil kirim gambar tak senonoh. Masak fotonya main dengan istrinya dikirim ke aku," jawab mas Gunarso dengan agak terbata-bata.

 

"Kupikir gambar kamu yang lagi main dengan selingkuhanmu Mas," tanyaku enteng.

 

"Kenapa kamu bisa bilang begitu Ma, mana berani aku," jawabnya penuh kepura-puraan.

 

"Coba sih Pa, mama lihat fotonya," pintaku padanya.

 

"Sudah papa hapus kok Ma, ngapain nyimpan hal begituan. Lagian aku kan sudah ada Mama wanita yang paling ku cintai," jawab mas Gunarso  diatur sesantai mungkin agar aku tak curiga.

 

"Yakin Pa?" tanyaku.

"Yakin sekali Ma," jawabnya seperti tertahan.

 

"Jika memang Papa sudah tidak cinta lagi sama Mama, tolong bilang jangan sampai main belakang," kataku sedikit menyinggung sambil memberi ultimatum.

 

"Kok Mama ngomongnya gitu sih," tanyanya.

 

"Oh ya Pa, mulai besuk aku mengundurkan diri dari pekerjaanku, aku akan fokus ngurus kamu dan anak-anak," kataku 

 

Mata mas Gunarso seakan mau lepas saat kukakatakan bahwa aku mengundurkan diri dari pengajar. Aku yakin dia sangat kaget, mendengar keputusanku secara tiba-tiba tanpa bilang dulu kepadanya.

 

"Mulai besok dan seterusnya semua keperluan rumah tangga, sekolah anak kau yang menanggung karena aku sudah tidak memiliki gaji." 

 

Aku berlalu dari hadapannya mengambil air putih. Mas Gunarso  mengejarku seakan tidak percaya.

 

"Lo kenapa tidak bilang dulu sama Papa," tanyanya dengan memegang dua bahuku.

 

"lha ini sudah bilang," kataku ringan saja tanpa beban.

 

"Lho terus gimana, Ma? Ekonomi kita ini kalau Mama nggak ikut bekerja. 

 

Dia memukul- mukul kepalanya sambil menggaruk-nggaruk dengan kasar menggunakan tangan kanannya.

 

"Aku ingin menikmati seluruh jerih payahmu Pa, tanpa di bagi dengan wanita lain," ujarku dengan keras dan sedikit menyindir. 

 

Wajah suamiku bersemburat merah terus memalingkan muka seakan menutupi rahasianya, entah kaget karena sentilanku atau rasa malu.

 

"Bukankah selama ini Mama sudah menikmati semua hasil dari kerja Papa?" tanya dia padaku.

 

"Yakin sudah diberikan semua untuk kebutuhan istri dan anak  di rumah, Pa? coba bayangkan aku istri beranak tiga, yang satu baru lulus SMA, satu lagi SMP kelas tiga dan yang terakhir kelas empat SD. Logika dari mana uang satu juta lima ratus rupiah perbulan itu cukup," argumenku.

 

"Bayar listrik, bayar air, bayar SPP dan uang saku mereka kau tidak pernah berpikir dan masih banyak lagi," protesku padanya. 

 

Dia terdiam tak menjawab satu kata pun. Lenguhan nafas panjang kudengar dari mulutnya. 

 

"Sebenarnya gajimu berapa, Pa? sebagai seorang manager operasional PT Sakti Gemilang. Kamu sudah disana lebih lima tahun dan perusahaan itu adalah multi nasional. Hampir diseluruh Indonesia ada cabangnya. Pasti kau di gaji besar, Pa ?" kataku terus mengejarnya.

 

Beberapa hari lalu aku telah mengecek gaji suamiku melalui bagian keuangan dengan bantuan Tristan gajinya sekitar dua puluh juta. Aku selama ini menunggu kejujurannya padaku. Memang benar banyak sekali yang kurahasiakan darinya tapi semua itu demi kebaikan bersama. Aku ingin di perlakukan selayaknya seorang istri bukan karena embel-embel yang lain.

 

"Yang besar kan perusahaannya Ma, kalau gajiku mah nggak seberapa. Sekitar tiga jutaanlah sebulan. Yang separuh kuberikan kepadamu, yang lima ratus kuberikan pada ibu dan sisanya kugunakan operasional selama satu bulan."

 

Dia membelakangi saat berkata mungkin supaya aku tak tahu perubahan mimik mukanya yang dari tadi aku pandangi terus menerus dengan penuh selidik.

 

Aku terhenyak mendengar jawabannya yang tak kusangka dan sangat berbohong. Padahal ibu mertuaku selama ini tidak pernah dia beri sedikit pun. Karena kasih sayangnya yang melimpah kepadaku  dan anak-anakku, setiap bulan aku mengirimi uang sepuluh juta untuknya. 

 

Bagiku uang adalah hal kecil tapi ketulusannya mencintaiku membuatku rela melakukan apa saja untuk mertuaku itu. Kok beda sekali sifatnya  dengan Mas Burhan.

 

"Pa, pijakan dalam rumah tangga itu adalah kejujuran dan kepercayaan. Jika Papa saat ini merasa sudah jujur aku berterima kasih tapi jika suatu saat tiba-tiba kebohongan muncul. Jangan salahkan aku  jika aku pergi darimu." 

 

Aku keluarkan jurus maut dengan mengultimatum dirinya. 

 

Mas Gunarso hanya menatapku dengan tajam, seakan bingung mendapati aku yang berbeda. Selama ini aku menjadi seorang penurut. Bahkan di injak pun aku diam dan pasrah. Sekarang berubah seratus delapan puluh derajat.

 

"Pikirkanlah dalam hatimu malam ini, intropeksilah segala hal yang kau lakukan. Aku bersyukur anak-anak dirumah ibu sehingga aku bisa mengeluarkan seluruh unek-unek di hatiku kepadamu Pa," selorohku.

 

"Oh, ya Pa sebelum tidur berjinabatlah dengan benar agar badanmu tidak kotor." Aku pamit tidur lebih dulu.

 

Suamiku terbatuk seperti tersedak makanan, aku pura-pura tak mendengar terus berlalu masuk kamar tidur dan kukunci dari dalam.

 

Dari kamar tidur ini, kukirimkan sepuluh photo kejadian di Puri Cempaka Putih ke  gawai suamiku termasuk saat dia menggendong bayi perempuan mungil yang lucu tadi. kemudian ponsel langsung ku matikan. Rasa lelah fisik dan pikiran ini membuatku ingin tidur lebih cepat.

 

***

 

Minggu pagi ini begitu dingin, aku masih berada dikamar ini sendiri. Aku bangkit dan membuka jendela. Untung dalam kamar ini disetting ada kamar mandinya sehingga tak perlu keluar kamar. Terasa segar begitu seluruh udara pagi menyeruak kamar ini. 

 

Air hangat di shower yang mengucur perlahan ke tubuhku ini membuat terasa di pijat. Busa shampoo yang harum serasa aroma therapy yang menyembuhkan rasa galauku.

 

Aku masih tak membuka kunci kamarku, sengaja kulakukan agar mas Gunarso sedikit merasa bersalah yang berujung pada pengakuannya secara jujur pada hati ini. Hair dryer masih terpegang lincah ditanganku mengurai rambut yang basah. 

 

Tiba-tiba bola mata ini melihat kertas kuitansi terselip diantara tumpukan buku dekat meja riasku yang menggantung seperti mau jatuh.

 

Mata ini serasa tak percaya melihat isi kuitansi ini

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Amat Muksin
semangat Firda untuk balas dendam dengan bermain cantik
goodnovel comment avatar
EMI FARIDA
kuitansi apa itu??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status