Share

BAB 4 Kenangan Pahit

 

 

BAB 4 

 

KENANGAN PAHIT

 

 

Firda beranjak dari tempat duduknya, ia buka almari tuanya itu. Matanya celingukan mencari sesuatu, tangannya pun ikut menyibak tumpukan buku 

 

"Ya ,ini yang kucari ." Firda mengambil buku diary warna merah jambu kenangannya dulu. Satu persatu ia buka baris kenangannya itu hingga terhenti pada tulisan sembilan belas tahun yang berbaris rapi

 

Surabaya,  13 Desember 2000

 

Benarkah ia datang dalam kesunyian?

Menemuiku dalam ribuan mimpi

Wajahmu yang sendu bersahaja 

Tutur katamu lembut nan bijaksana

Gerak gerikmu yang selalu melindungiku

Selalu membiusku dalam kerinduan

Kemanakah Engkau pergi?

 

Serasa waktu belum berlalu 

Kau ucap janji setia di hadapanku di bawah mentari pagi

Sejuta bahagia terkirim kehatiku

Seakan waktu tak pernah memisahkan

Hati yang jatuh cinta

Mendayu sendu menapaki hari

 

 

Namun waktu tak berpihak padaku

Malam itu kau datang dengan tangis

Kau peluk erat diriku dalam dekapmu

Aku tak bertanya

Aku hanya merasakan gelisahmu 

Hanya kata Maaf yang kudengar dari mulutmu

Setelah itu kau pergi meninggalkan seribu tanya dihatiku

 

Pagi menjelang kau datang kembali dengan surat undangan

Kubuka perlahan 

Kubaca dengan seksama

Ada dua nama terukir tinta emas yang indah

Hatiku berdegup kencang 

Seakan dunia akan runtuh melihat namamu tersemat diatas undangan 

Tak ada namaku di situ

Aku tak bisa berkata 

Mataku berkaca kaca

Kau hanya terdiam memelukku

Maaf aku mengorbanmu untuk baktiku padanya

Orang yang melahirkanku katamu

Hening hatiku

Panas jiwaku

Bergelut antara mengikhlaskan dan amarah

 

Pagi ini diiringi gelombang air laut

Aku terdiam dalam sepi menatap gemuruh ombak

Bulir air mata menetes tiada henti

Aku masih mengingatmu

Aku masih mencintaimu

Walau aku tahu rasa rindu ini terlarang

Biarlah kukerangkeng dalam hati rasaku ini

Disepanjang sejarah hidupku

 

Angin ...

Katakan padanya aku sangat merindukannya

Aku sangat mendambakannya

Geletar rindu ini sungguh tiada bisa ku tahan

Kemanakah aku kan mencarimu?

Kemanakah kan kusalurkan rindu yang membara ini?

Sejuta tanya menggelayut dijiwaku

Puing puing serpihan hati ini masih tercecer penuh lara

 

Senyap telah pergi

Berganti mentari unjuk cahaya

Akankah hatiku secerah sinarnya 

Ataukah tetap mengharu biru merindukanmu

Mendekap kesedihan yang tak berujung

Mencintaimu tanpa syarat

Menghargaimu setinggi langit

Walau kutahu kau bukan milikku lagi

 

Setiap membaca tulisan ini selalu meleleh air mataku.

 

"Ah.....kenapa jadi ingat dia sih disaat seperti ini."

 

"Tidak!"

 

"Tidak!"

 

"Aku harus tutup semua kenangan itu jika tidak bisa hancur sehancurnya rumah tanggaku," batin Firda.

 

Walaupun ia tahu suaminya sedang bermain api saat ini

 

"Ma, papa datang menjemput kita." 

 

Tiba-tiba suara Raksa memanggilku. 

Aduh ...kuselipkan lagi diaryku ditempat yang tersembunyi.

 

" Ia sayang, Mama turun nih." 

 

Aku bergegas turun menemui suamiku jika tidak bisa salah kaprah nanti bisa memancing kecurigaan nanti, ku hapus dengan kasar dengan tangan bekas air mata yang membanjir tadi.

 

"Kita pulang sekarang ma?" tanya  mas Gunarso sambil melihat mukaku yang sembab.

 

"Aku mau tidur dirumah nenek saja boleh kan Ma, Pa?" tanya Raksa dan Randi.

 

"Boleh, nenek justeru seneng kamu malam mingguan disini , besok kita berkemah ya di halaman sambil bakar sosis dan ayam.Mau kan?"

 

Tiba-tiba ibu menyahut sekaligus membujuk dua anakku yang kecil. Aku hanya bisa pasrah begitu pula suamiku.

 

"Kalian nikmati waktu kalian berdua, agar lebih semangat menjalani hari. Jangan kerja terus, Firda manjakan dan service suamimu  dengan baik sekali kali biar tidak bertampang kusut begitu," kata ibuku memerintah. Suamiku kegirangan mendengar semua itu.

 

"Asyiiik, bakalan bulan madu ulang nih bu sama putri cantik menantu ibu ini," Kata suamiku berkata manis bak gulali. 

 

Aku pura-pura tersenyum bahagia jujur dalam hatiku ingin kucabik-cabik muka yang inocent itu.

 

"Sudah buruan pulang, jangan lupa salinglah membahagiakan satu sama lain." 

 

Ibu mertuaku mengusir kami sekaligus memberi petuah.

 

Aku bahagia memiliki ibu mertua yang luar biasa, jika tidak ku ingat kebaikan ibu mertuaku selama ini, ingin sekali ku bongkar semua tingkah laku lelaki di sampingku ini.

 

Kami pulang berdua, ketiga anakku tidur dirumah neneknya. 

 

"Pa aku lapar," kataku bermanja sambil bersandar di bahunya yang lagi nyetir mobil.

 

Aku ingin melihat reaksinya apa bisa semesra ketika bersama si baju biru itu. Ternyata dia hanya diam saja dan acuh padaku.

 

"Makan diluar yuk," sambungku.

 

"Aku lebih suka masakanmu Ma," jawab suamiku seakan memujiku padahal aslinya males keluar uang. 

 

Ini yang paling tidak aku sukai dari mas Gunarso perhitungan ekonominya sangat jelas semua dihitung berdasarkan untung dan rugi. 

 

Jargonnya selalu bilang " kalau ada yang murah kenapa harus yang mahal, kalau bisa masak kenapa harus beli." Bener-bener seperti iklan.

 

"Aku capek Pa nanti kalau pulang terus masak." Aku semakin merajuk kali aja dikabulin permintaanku.

 

"Ayo dong Pa sekali kali kita makan diluar," bujukku lagi.

 

"Pemborosan Firda." Jleb menancap dihatiku rasanya kalau mendengar ini di telingaku. Denganku dia merasa memboroskan uang tapi  kenapa dengan si biru itu dia bisa royal.

 

"Kita makan dirumah saja, biar aku yang masak," tawar suamiku itu.

 

"Kamu Pa? Apa kamu bisa," tanyaku sambil mataku terbeliak kaget mendengar tawarannya karena selama ini tinggal angkat piring melahap apa yang diatas meja. Nengok dapur pas kalau darurat saja itupun paling hanya ambil air putih saja.

 

"Ya bisalah wong tinggal beli mie instant terus dimasak kan beres." 

 

Aku kliyengan mendengar makanan yang jadi musuh bebuyutanku itu. 

 

Setiap makan mie instan lidah sih mau banget tapi reaksi tubuhku terlalu berlebihan biasanya tenggorokanku akan terasa kering kemudian terus batuk yang berkepanjangan.

 

"Duh Mas, aku bosen," kataku menolak mentah-mentah usulannya.

 

"Sudahlah Firda jangan merajuk, aku pun capek." Suamiku mulai marah nada suaranya agak keras. 

 

Terang aja kamu capek mas, wong tenagamu habis kau buat main sama gundikmu itu, batinku kesal. 

 

"Kalau gitu beli nasi goreng pinggir jalan saja, " kataku ketus.

 

"Ya sudah, aku berhenti didepan sana di warung nasi goreng pak Soleh, beli nasi goreng biasa saja, minta nggak usah pakai ayam atau telur, gantinya ayam sama telur suruh banyakin nasi, " kata suamiku itu.

 

Aku begidik mendengar titahnya seperti itu, kok ada manusia yang perhitungan seperti kalkulator padahal untuk dimakan istri yang katanya sangat dicintainya. Aku turun dengan hati yang dongkol sambil menerima uang sepuluh ribu pemberiannya.

 

"Beli satu bungkus saja, nanti kita makan berdua!"

 

Dia masih sempat berteriak dengan keras sebelum aku masuk ke warung pak Soleh. Serasa habis kesabaranku menghadapi lelaki yang dulu kuanggap penuh kharismatik ini. Dia pikir uang sepuluh ribu sudah sisa untuk beli nasi goreng.

 

Aku masuk  ke warung nasi goreng untuk memesan

 

"Beli apa mbak Firda," tanya pak Soleh langgananku itu.

 

"Sate plus nasi satu porsi pak, bakmi satu, sama nasi goreng dibungkus nggak pakai apa-apa. Sate sama bakminya dimakan sini saja." 

 

Aku niat sekali menghilangkan kedongkolanku dengan makan didalam warung itu sekenyangnya. Biar tahu rasa  Gunarso si pelit yang telah menghianatiku itu menunggu setelah aku kenyang. Biar nanti ia makan nasi goreng tanpa ikan dan telur pesanannya.

 

Aku nikmati sate dengan bakmi  yang dihidangkan pak soleh rasanya mantap banget. Perlahan-lahan kedongkolanku hilang tertusuk sate dan bakmi. 

 

"Ini nasi goreng untuk pak Gunarsonya Mbak Firda," kata pak Sholeh sambil menyodorkan nasi yang telah dibungkus kresek hitam kecil itu.

 

"Kok tahu pak, kalau untuk mas Gunarso," tanyaku keheranan.

 

 "Hampir  setiap malam dia kesini memesan nasi goreng tanpa apa-apa, minum pun biasanya minta air putih yang di teko itu nggak pernah beli ."

 

Subhanalloh, aku sungguh malu mendengar penuturan pak Soleh, sungguh nggak pantes melihat perejengannya yang seperti juragan tapi bergaya hidup pelit seperti itu. Aku pamit pak Sholeh sambil membawa nasi goreng dalam kresek.

 

 

 

Absen yuk dikolom komentar jangan lupa tap❤️❤️❤️

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Adindatsaa
keren banget kak, Semoga pelitnya gunarso segera hilang
goodnovel comment avatar
Adindatsaa
Terima kasih Kak
goodnovel comment avatar
Amat Muksin
buka kenangan lama bikin baper
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status