Share

9. Jumpa Lagi.

"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. 

"Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. 

"Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya.

"Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya ini ke sini, dirinya juga ogah menerima Raline. Gadis ini disinyalir bisa membuat perpecahan di antara para anak jalanan. Maklum saja, Raline ini cantik. Anak-anak jalanan yang rata-rata sedang mengalami masa puber, pasti tertarik melihat gadis secantik Raline. Miskin tidak menjadikan mata mereka buta.

"Iya, maaf, Bang. Habisnya tadi angkotnya mogok. Terus saya salah naik--"

"Udah diem. Gue nggak butuh alasan. Lain kali kalo lo merasa bakal terlambat lagi, lo bisa bangun lebih pagi. Gue paling benci sama orang yang terlalu banyak alasan."

Ya Tuhan, gue harus bangun jam berapa lagi? Masa jam tiga pagi?

"Iya, Bang. Besok gue akan bangun lebih pagi." Raline melepas sepatu dan buru-buru duduk di depan sebuah cermin besar. Ia ingin di make up badut oleh para badut-badut yang sudah lebih dulu berdandan dengan macam-macam karakter. Raline tidak mengambil hati atas perkataan tidak enak Bang Ali. Raline maklum. Bang Ali itu hidup di jalanan. Kekerasan adalah nama tengahnya. Raline sangat memahami akan hal itu. 

"Adik-adik sekalian ada yang bersedia mendandani Kakak tidak? Soalnya Kakak belum mahir berdandan sendiri." Raline melayangkan senyum penuh pengharapan pada para badut yang rata-rata masih berusia awal 15 sampai 19 tahunan.

"Saya, Kak. Saya!" Beberapa remaja bergegas menghampirinya.

"Tidak usah! Sekarang sudah siang. Kalian langsung beraksi saja. Jam segini banyak anak sekolah dan orang-orang yang bekerja di kantor. Ayo bergerak. Jangan malas. Karena perut lapar itu tidak bisa dikenyangkan oleh angin saja!" Hardikan Bang Ali membuat para badut remaja kicep. Satu persatu dari mereka kemudian berlalu. Sekarang di rumah hanya tinggal Raline dan Bang Ali.

"Lo duduk yang bener di depan kaca. Gue akan mengajari lo berdandan. Tapi bukan dengan tangan gue. Melainkan dengan tangan lo sendiri. Gue hanya akan mengarahkan lo berdandan sesuai dengan gambar-gambar ini." Bang Ali meraih beberapa lembar gambar badut di samping kaca. 

"Sebelum berhias, pilih dulu karakter badut yang ingin lo perankan. Lo itu ingin menjadi badut yang bagaimana? Badut sedih seperti Randy. Badut riang, pemarah, bingung atau seksi, dan sebagainya," terang Ali seraya memperlihatkan karakter-karakter badut pada Raline. Sebenarnya dalam hati Bang Ali tidak yakin. Apa Raline mampu menari berpanas-panasan di jalanan. Menilik mulusnya kulit Raline, jangan-jangan mantan gadis kaya ini akan pingsan di jalanan. Nanti dirinya juga yang akan susah.

"Gue mau jadi badut riang saja, Bang. Di kehidupan nyata gue udah sering bingung didera keadaan, dan sedih dijejali kenyataan. Masa di dunia perbadutan gue harus bingung dan sedih lagi? Ogah!" Raline menggeleng kuat.

"Oke. Kalau begitu, keluarkan semua alat-alat rias yang semalam gue berikan pada lo." 

Dengan patuh Raline mengeluarkan isi tasnya, dan meletakkannya di depan cermin. 

"Karena lo udah memilih menjadi badut riang, lo akan merias wajah lo seperti ini." Ali mengulurkan sebuah gambar badut yang sedang tersenyum lebar pada Raline. 

"Sekarang oleskan krim dasar putih ini di semua bagian wajah lo. Termasuk bagian alis juga. Petakan pola riasan pada mata, mulut dan hidung dengan menggunakan pensil minyak hitam untuk membuat garis tepi di wajah lo. Seperti gambar ini." Bang Ali menunjuk gambar badut senyum.

"Oke, Bang." Dengan patuh Raline mengikuti instruksi dari Bang Ali.

"Sekarang, gambar lengkungan pada mata dengan jarak 2,5 cm dari sudut luar mata. Lalu gambar lengkungan yang puncaknya di posisi antara alis dan garis rambut. Selanjutnya akhiri lengkungan di sudut dalam pada mata yang sama."

Raline berupaya melaksanakan instruksi Bang Ali sebaik mungkin. Ia juga berkali-kali melirik gambar badut di depannya. Hasilnya lumayan mirip.

"Untuk ekspresi girang, buat garis senyum yang berlebihan di bagian bawah wajah. Awali dari bawah hidung kemudian buat garis melengkung yang melewati lubang hidung tepat di bawah tulang pipi. buat garis melengkung ke atas di sekeliling mulut dan dagu. Kemudian bubuhkan perona cat warna merah pada tulang pipi, ujung hidung dan bibir."

Lima belas menit kemudian, dandan Raline telah selesai. Setelah diberi rambut gimbal berwarna merah dan pakaian badut berwarna kuning terang, Raline pun siap beraksi. 

"Oke Raline. Sekarang lo adalah seorang badut. Bukan Raline lagi. Jadi lo nggak boleh sedih saat ditertawakan orang-orang saat ini. Karena apa? Karena lo adalah badut. Dan untuk menghormati badut adalah dengan cara menertawakannya."

"Baik. Jadi apapun yang dilakukan orang-orang pada gue nanti gue nggak boleh sedih karena gue adalah seorang badut. Begitu?"

"Benar. Dan supaya lo kuat menghadapi apapun, ingat baik-baik pesan gue ini. Sesungguhnya semua orang adalah badut. Hanya saja wajah mereka tanpa topeng dan senyum yang dilukis. Paham arti dari kata-kata gue?" Bang Ali menyentuh sekilas rambut palsu Raline.

"Mengerti, Bang. Artinya orang-orang pada nggak mau jadi badut karena nggak mau pakai topeng dan senyum yang dilukis. Bener nggak, Bang?"

"Astaga. Lo itu belum ngapa-ngapain aja udah membuat gue ngakak. Anak siapa sih lo ini?"

"Anak Adjie dan Lidya Raharjo Soeryo Soemarno. Melamar jadi badut apa harus menyebutkan nama orang tua juga ya, Bang?" Raline memicingkan mata. Jadi badut saja banyak amat persyaratannya.

"Hahahaha... udah lo jalan sana. Sekarang gue udah dapet jawabannya, kenapa lo ngelamar jadi badut alih-alih kerja di kantoran." Bang Ali terkekeh-kekeh sendiri. Gadis ini bocor halus rupanya.

"Siap, Bang." Raline membuat gerakan menghormat sebelum berjalan tertatih-tatih. Pakaiannya cukup berat untuk tubuhnya yang mungil. Namun ia tetap semangat menjalani perannya. Ia bisa melakukan apa saja sekarang. Menari, menyanyi dan bertingkah sesuka hatinya. Yang penting membuat orang-orang tertawa.

Ketika tiba di lampu merah, Raline melihat si badut sedih yang ternyata bernama Randy sedang beraksi. Raline tidak jadi beraksi di sana. Ia tidak mau berebut lahan dengan Randy. Ia pun memutar tubuh. Bermaksud beraksi ke arah yang berlawanan. Sialnya ia tidak sadar kalau lampu lalu lintas telah berubah hijau. 

Ckitttt!

"Huaaaaa!" 

Raline berteriak kaget saat sebuah mobil mengerem mendadak.

"Lo mau mati, Badut? Setidaknya kalo lo mau mati, jangan pake seragam badut. Lo membuat citra badut menjadi buruk!"

Axel Delacroix Adams menatapnya tajam membuat Raline terkejut.

'Matiiii!'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ramanda Khatulistiwa
seruuu bagus..menatik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status