Share

8. Naif yang Hakiki.

"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi.

"Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit.

"Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran.

"Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. 

Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.

Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kantornya ada di mana pun bukan? Jalan raya itu luas!

"Kamu ini kian hari kian nganeh-nganehi saja. Semalam kamu bilang kerjamu di kantor elit ber-ac. Tapi saat pulang bekerja, pakaianmu malah basah kuyup karena keringat. Ac di kantormu mati semua atau bagaimana?"

Maaf, Bu. Raline bohong. Raline tidak mungkin mengatakan kalau Raline belajar menjadi badut di jalanan. 

"Sekarang ditanya kantormu di mana, jawabanmu melantur ke mana-mana." Bu Lidya berkacak pinggang. 

"Sudahlah, Bu. Jangan marah-marah terus. Nanti darah tinggi Ibu kumat lagi. Pokoknya Raline sudah bekerja. Sudah begitu saja. Oh ya sebentar." Teringat pada sejumlah uang yang ia dapatkan semalam, Raline kembali ke kamar. Ia keluar dengan tangan menggenggam sebuah amplop tebal berwarna putih.

"Ini, Bu. Jumlah uang di dalam amplop ini sebesar tujuh juta rupiah. Lebih dari cukup untuk membayar tunggakan listrik dan air 'kan, Bu?" Raline memberikan amplop putih tebal itu pada Bu Lidya. Bu Lidya terkesima.

"Baru bekerja sehari kamu sudah mendapatkan uang sebanyak ini? Hebat kamu, Line!" Bu Lidya mendecakkan lidah. Ia tidak menyangka kalau putrinya ini hebat juga.

"Bukan, Bu. Raline belum mampu mendapat uang sebesar itu semalam. Uang ini hasil dari penjualan dompet branded Raline yang terakhir. Ibu bilang aliran listrik kita akan segera diputus pihak PLN bukan? Makanya Raline jual saja dompet Raline kemarin ke Ciara. Sekarang Raline memakai dompet ini." Raline memperlihatkan dompet koin gratis yang didapat ibunya saat membeli emas dulu.

"Ciara? Ciara temannya si Lily somplak?" Bu Lidya mendengkus. Setiap teringat pada orang-orang yang berhubungan dengan Lily, membuat darahnya bergolak. Karena perempuan tidak tahu diri itulah nasib mereka sekarang sengsara. Kalau saja Heru tidak jatuh dalam jerat ajian jaran goyang Lily, pasti sampai hari ini Raline tetap menjadi tunangan Heru. Bu Lidya benci sekali pada Lily.

"Iya, Bu. Ciara Fedeorova. Cia itu jago sekali menjual barang-barang second hand branded. Mengenai Lily, Ibu jangan mengata-ngatainya lagi. Lily itu bakal menjadi calon adik ipar Raline. Ibu tidak lupa kalau Raline akan menikah dengan Mas Axel bukan?" Raline memperingati sang ibu. Bu Lidya mendengkus. Mana mungkin dirinya lupa. Jikalau saja ia tidak membutuhkan uang, tidak mungkin ia menerima seorang mafia sebagai menantunya.

"Jelas tidak. Mana mungkin Ibu lupa akan bermenantukan mafia tatooan seperti si Axel itu. Kalau saja Ibu tidak takut ayahmu masuk penjara, Ibu tidak sudi bermenantukan laki-laki tidak bermutu seperti dia." Bu Lidya kembali memuntahkan kekecewaannya.

"Maksud Ibu apa?" Raline yang sudah siap berangkat, memutar tubuh. Ia tidak suka mendengar kalimat penuh penghinaan yang ditujukan ibunya pada Axel. 

"Maksud Ibu, Ibu tidak suka bermenantukan seorang mafia berangasan. Tidak ada yang bisa dibanggakan darinya. Lain cerita kalau Axel itu seorang pengusaha seperti Aksa atau Heru. Ibu akan dengan bangga mengakuinya sebagai seorang menantu. Ini seorang preman? Apa yang bisa ibu banggakan?"

"Apa Ibu pikir Mas Axel bangga sekali bermertuakan Ibu dan ayah yang mata duitan? Beristrikan Raline yang dibilang perawan bukan. Janda juga bukan. Kurang cerdas lagi. Coba jawab, Bu?"

Bu Lidya ternganga. Ia sama sekali tidak menyangka akan diserang oleh putrinya sendiri.

"Kamu mengata-ngatai orang tuamu sendiri mata duitan, Raline? Dasar anak durhaka kamu!" Bu Lidya mengamuk.

"Raline tidak mengatai. Itu kenyataan. Ibu dan ayah sebelumnya menjodohkan Raline dengan Mas Aksa dan Mas Heru karena uang bukan? Setelah gagal, kalian juga ingin membarter Raline seharga dua milyar dengan Pak Riswan. Apa itu namanya kalau bukan mata duitan?"

Bu Lidya tidak menjawab. Hanya saja dadanya berombak-ombak menahan kesal. Putrinya sekarang sudah jauh berbeda sejak berteman dengan Lily. Pasti Lily yang mengajarkan Raline untuk berbicara lantang tanpa saringan. Dulu Raline walau tidak cerdas, tetapi tidak kurang ajar. Raline tidak pernah membantah perintahnya.

"Kalau mau berbicara untung rugi. Sesungguhnya yang rugi itu Mas Axel, Bu. Raline ini reputasinya buruk. Tidak ada satu hal pun di diri Raline yang bisa dibanggakan oleh Mas Axel. Mas Axel, itu kaya. Tampan pula. Mas Axel bisa menikahi siapa pun yang dia mau. Tinggal tunjuk saja. Tapi dia malah memilih Raline yang sudah rusak semuanya. Benar tidak, Bu?"

"Terserah kamu saja. Sekarang kamu sudah pintar bicara. Sampai pada orang tuamu sendiri pun, kamu tidak lagi hormat," gerutu Bu Lidya. Mau bagaimana lagi. Ia kalah argumen dengan Raline. Putrinya sekarang semakin kritis dalam berpikir. Pasti ini akibat dari pengaruh Lily.

"Dulu Raline tidak pintar, Ibu marah. Sekarang Raline pintar, Ibu juga marah. Ibu maunya Raline bagaimana?" Raline balik bertanya. Sungguh terkadang ia bingung dengan sikap ibunya.

"Sudah... sudah... kalau kamu mau berangkat kerja, sana pergi. Nanti kamu terlambat lagi." Bu Lidya memutus perdebatan. Tidak ada gunanya mendebat Raline. Raline ini sifatnya sama seperti dirinya. Tidak mau kalah kalau berargumen.

"Eh sebelum kamu pergi ada yang ingin Ibu tanyakan. Apa yang mendasarimu bersedia dinikahi oleh Axel? Seingat Ibu kamu tidak mengenal preman itu secara dekat bukan?" Bu Lidya mengejar putrinya yang telah membuka pintu rumah.

"Karena Raline sudah capek mencari pria sempurna, Bu."

"Oh, jadi karena kamu capek mencari pribadi sempurna, jadi kamu memutuskan untuk berakhir dengan pria serampangan. Begitu?" Bu Lidya menepuk keningnya. Putrinya ini memang tidak bisa ditebak signalnya.

"Bukan, Bu. Raline tiba-tiba saja mendapat wangsit saat bertemu dengan Axel kemarin dulu."

"Dan apa wangsit yang tiba-tiba kamu dapatkan itu?"

"Bahwa Raline harus berhenti mencari pria sempurna. Cukup mencari pria yang banyak uang, punya rumah dan tampan rupawan. Raline tidak mau banyak memilih lagi."

"Oalah Raline. Tiga kriteria yang kamu sebutkan terakhir itulah kategori pria sempurna." Bu Lidya memutar bola mata. Anaknya belum pintar-pintar amat ternyata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status