Bodoh menjadi kata, yang tidak asing lagi bagi Richella. Hampir setiap manusia yang berpapasan dengannya, mengatakan hal yang sama. Memangnya kenapa?Apa salahnya yang tidak mampu mempertahankan harta orang tuanya? Apa salahnya juga begitu lemah setelah menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang tidak wajar. Dia hanya tidak bisa memupuk dendam, ketika dia besar dengan kerabatnya.“Kenapa diam?” Daimiro menurunkan pandangannya, dia melirik jemari Richelle yang meremas gaun. Pertanda gadis itu tengah menahan diri dan lain hal nya.Apa mungkin Daimiro terlalu bersikap keras. Tidak, dia memang tidak menginginkan cinta terjadi diantara mereka. Semua yang Diamiro butuhkan hanyalah membuat Richelle membalaskan dendamnya.Daimiro belum berfikir, sampai dimana dia akan terlibat dalam kehidupan gadis itu, yang pasti dia sudah memastikan kalau akhir dari semua ini adalah perceraian. Dia tidak tertarik bermain api jauh dari ini.“Kita turun ke bawah, dan makanlah! Sebelum kau yang ku ub
Richella sejujurnya tidak pernah benar-benar memahami, arti kenikmatan dalam percintaan. Dia hanya tau, jika prianya bahagia karena itu, dia akan lakukan. Pemikiran itulah yang menjebaknya, dan membuatnya menjadi semakin hina dimatanya sendiri.Daimiro menahan diri, tidak mungkin untuk dilanjutkan. Dia melepaskan bibir merekah milik Richella dengan gundah. Dia masih berharap untuk menghisap bibir itu dalam, tapi kalau diteruskan gadis itu bisa-bisa tidak berjalan esok pagi dibuatnya.“Pergilah sekarang! Aku tidak tau apa yang akan terjadi, kalau kau tetap disini!” Dai memperingatkan sekali lagiIris mata mereka saling beradu tatap, benda menegang dibawah sana yang tertempel di perutnya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan di benaknya. Iya, Diamiro pasti akan melahap habis dirinya kali ini. Lalu apa hatinya ingin pergi?Misi Richella adalah membuat Diamiro mencintainya, maka seluruh harta Daimiro akan menjadi miliknya. Balas dendam mungkin tujuan utamanya, tapi mendapatkan cinta Daimi
Tidak ada gunanya untuk menyingkir, menyadari ini akan menjadi malam yang canggung pun tidak lagi. Richella sudah terlanjur terbuai dengan sapuan lidah Diamiro, bahkan pria itu sudah membuat basah kedua belahannya, dan nafas mereka saling memburu.“Aku tidak bisa menahan lebih dari ini!” Daimiro mengangkat pinggulnya. Dia menjadikan tangan kirinya sebagai tumpuan “Buka lebih lebar, tidak akan sakit karena kau sudah melepaskan itu sejak lama!” ucapnyaMatanya membalas lekat tatapan dari iris mata gadis yang telentang di bawahnya. Pipi gadis itu merona, dan memberikan semangat berbeda untuk Daimiro. Sebuah alasan, yang memacu adrenalinnya hingga menjadi pria yang tangguh dan gagah malam ini.“Sudah?” Richelle bertanya, memastikan apakah renggang pahanya di bawah sana sudah cukup“Jangan pejamkan matamu, tatap aku!” Daimiro menuntut dengan tangan kanannya, menekan perlahan. Jemari Richella tanpa dikomandoi langsung meremas lengan atas Diamiro, keningnya meringis, sementara ia mengigit bi
Napas yang berhembus dengan lembut, perlahan menjadi tenang. Rongga dadanya terisi dengan baik, membuat seluruh aliran darahnya berjalan dengan lancar. Bisa dikatakan, itu adalah tidur ternyaman bagi Richella.Begitu kelopak matanya perlahan terbuka, dia sudah tidak mendapati keberadaan Daimiro di kamar. Tangannya sempat meraba-raba ke bagian samping. Sosok yang hendak dia cari sudah tidak disana, lebih tepatnya Daimiro memang sudah keluar dari kamar itu bahkan sebelum matahari terbit.Richella bangkit, sedikit menyelipkan kakinya. Tidak terasa pegal, tubuhnya sudah melewati rileksnya malam “Tidak seperih dulu! Bagaimana bisa? Apa itu yang namanya nikmat bercinta?” Richelle bergumam.Ia teringat dengan ucapan Daimiro, perihal membuat dirinya merasakan nikmat yang sesungguhnya. Rona wajahnya langsung merah padam. Dia dihangatkan oleh api unggun, yang tidak ada siapapun menikmati kehangatan itu, selain dirinya.“Arghhh!” dia terpekik malu, menutupi wajahnya dengan jari. Cinta?Tidak! Ti
Pria berhati dingin biasanya tidak mudah untuk menjadi budak cinta. Daimiro sudah berperang dengan perasaannya sejak tadi pagi. Mulai dari langkah kakinya meninggalkan rumah, hingga kembali pulang dan mendapati Richella dengan tubuh lembab usai mandi di depan matanya.Suara gumaman dari gadis itu, mengusik daun telinganya. Alih-alih merasa biasa saja, dia malah berfantasi dengan desahan manja dari Richella. Ditatapnya wanita buangan di depannya itu, apa yang bereda dari wanita itu?“Sudah pulang ya! Maaf, aku tidak tau kau akan masuk ke dalam kamar!” Richella memberanikan diri untuk melangkah. Dia harus melewati Daimiro jika ingin menghampiri Lemari pakaiannya.Udara yang terhempas, membawa aroma dari tubuh Richella, menyerbak rongga hidung Daimiro. Itu seperti godaan ketika singa yang lapar haru menerkam mangsanya. Ada debaran khusu yang terdengar oleh Dai, tapi sorot matanya kepada Richella tidak lebih seperti menatap gadis buangan.“Kau tidak makan lagi?” Daimiro bersuara, menyembu
Sex bukanlah sebuah kebutuhan? Apa itu benar?Daimiro terbangun di pagi hari, dan pertanyaan itu langsung menantang fikirannya. Dia bertanya-tanya, mengapa Richella berani mengatakan hal yang merendahkan wanita seperti itu? Hidup sebagai istri tanpa cinta tapi menganggap dirinya pria yang gila sex.Dimiro mandi seperti biasa, dia mencari keberadaan Richella secara naluriah. Sebelum pergi bekerja, sepertinya dia harus melihat wajah gadis itu. Sekedar memastikan kalau tidak ada rasa bersalah yang tersisa.“Richi? Kau sudah sarapan?” Diamiro mendapati gadis itu di ruangan belajarnya. Ruangan khusus dengan bermacam-macam buku yang bertebaran di atas meja. Gelas kaca untuk melatihnya berjalan anggun, dan gaun ketat di bagian pinggang yang terpampang di sebelah kanan.“Sudah” Richella menjawab, ekor matanya melirik kegagahan Daimiro. Sebagai wanita normal, dia berdesir setiap kali melihat Daimiro keluar dari kamar mandi hanya dililit handuk.Mengapa begitu? Karena hanya Daimiro yang mengaja
Gadis ini polos, pikirnya. Atau mungkin Richella memang tidak pernah menikmati hal itu sebelumnya. Aliran sungai di belakang rumah, seharusnya tetap mengarah ke laut. Tidak peduli bagaimana cabang yang dilewati.“J-jangan mengatakan hal yang tidak-tidak! Kau sedang mabuk sekarang!” Daimiro yang paling waras untuk saat ini. Dialah yang seharusnya mengendalikan. Dia bukanlah pria yang melakukan kesalahan dua kali. Apalagi terhadap seorang wanitaRona wajah Richella berubah. Dia menjadi sendu, bibir yang turun ke bawah. Alis yang mengkerut, dan yang lebih menggoda lagi, kali ini Richella menggigit bibir bawahnya “Kau jijik padaku kan?”Richella melontarkan pertanyaan, yang selalu ada di dalam ingatannya. Pertanyaan yang seharusnya tidak pernah ada, lalu menjadi ada. Itu semua terjadi begitu saja. Alam bawah sadarnya, sudah menuntunnya, hingga segalanya menjadi seperti ini.“Jangan berkata seperti itu lagi! Kau tidak tau bagaimana penilaian seseorang terhadap dirimu. Kenapa kau seperti be
Sapuan angin lembut yang menyapu punggung Richella, membuat nafasnya terengah-engah. Sisa dingin dari batu es masih terasa di tubuhnya, dan angin malam membuat sensasi itu menjadi lebih kental. Dingin itu meresap, dan dera nafas yang tersisa adalah bentuk hasrat yang sudah berada di pucuk kepalanya.“Hak!” Richella tersentak ketika Daimiro mengangkat kakinya ke atas. Paha mulus itu terbuka lebar, dan dera nafas Richella semakin membuatnya bergairah. Dia sudah merasakan panas di dalam tubuhnya terbakar dengan perlahan.“Kau?” Daimiro menatap Richella, mata mereka saling beradu tatap. Rona pipi Richella yang merah, bibir yang dia gigit untuk menahan gejolaknya, dan juga pemandangan dari tubuh sintalnya yang kini tidak di tutupi oleh sehelai benang pun.Sesuatu tengah menampar akal sehat Daimiro. Dia tidak berfikir untuk bisa melanjutkan ini, meskipun hasratnya benar-benar ingin terpenuhi sekarang. Dia benar-benar sudah berada di puncak kenikmatan, hanya harus menikmati saja, namun…“K-k