Seharian Elodie sibuk bermain di rumah Gerald. Rumah itu seperti surga untuk Elodie, dari mainan yang banyak, segala makanan yang enak pun ada seseorang yang menyiapkannya. Elodie benar-benar senang berada di rumah ini. Setelah makan malam bersama Mama dan Papanya, kini Giselle mengganti baju Elodie dengan piyama tidur. Mereka berdua berada di dalam kamar bernuansa merah muda yang dipenuhi barang-barang lucu milik Elodie. "Ma, kata Papa ini kamar punya Elodie. Bagus sekali ya, Ma," ujar anak itu mendongakkan kepalanya menatap lampu tidur di depan sana. "Iya, Sayang. Elodie suka?" Giselle tersenyum menatap si kecil. "Suka. Elodie suka sekali!" seru anak itu, sebelum menatap wajah Mamanya. "Ma, boleh tidak kalau Elodie tidak usah pulang? Elodie mau di sini saja sama Papa, Mama juga tidak boleh pulang. Di sini, Mama tidak sibuk lagi, Mama temani Elodie terus." Air muka Elodie begitu sedih, kedua telapak tangan kecilnya menangkup pipi Giselle dengan bibir tipisnya yang cemberut.
Pagi ini Elodie sudah diizinkan pulang oleh dokter. Anak itu terlihat begitu senang dan antusias menyadari kalau ini ia akan pulang ke rumah Papanya. Sepanjang perjalanan pulang, Elodie duduk dipangku oleh Gerald yang kini duduk di bangku belakang bersama Giselle, dan Sergio yang mengemudikan mobil tersebut. Elodie menatap pemandangan musim semi di kota Luinz yang indah di sepanjang jalan. "Wahhh ... bunganya bagus sekali," ucap anak itu menempelkan kedua tangannya di kaca mobil. Elodie menoleh pada Gerald. "Rumah Papa masih jauh?" tanyanya. "Tidak, sebentar lagi kita sampai, Sayang," jawab Gerald, ia mengecup pipi gembil Elodie. "Asikk...!" Elodie bertepuk tangan kesenangan. Melihat anaknya yang bergitu gembira dan berbunga-bunga seperti ini. Rasanya seperti momen mahal yang tidak pernah Giselle lihat selama ini. Ditambah lagi Gerald yang begitu menyayangi anaknya. Seperti yang Giselle bayangkan dulu-dulu, seandainya Gerald tahu keberadaan Elodie, pasti dia akan menyay
"Laura, bukankah itu calon suamimu? Kenapa bersama wanita lain?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh satau teman Laura yang berada di sana bersama Laura saat ini. Satu temannya lagi pun menyahuti, "Gerald sepertinya memberikan hadiah kalung pada wanita itu," ujar Sydney. "Ya ... bahkan kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah melihatmu dengan Gerald sedekat dia dengan wanita itu," sahut Kimberly. "Sebenarnya, kau ini benar-benar kekasih Gerald atau bukan?" Mendengar ocehan kedua temannya, Laura tampak kesal dan menatap mereka dengan tatapan sebal. "Apa kalian tidak bisa diam?!" serunya geram. Kimberly dan Sydney pun saling tatap satu sama lain. Aneh saja bagi mereka berdua. Di depan mereka Laura selalu mengunggul-unggulkan Gerald yang Laura bilang selalu mencintainya dan memberikan apapun yang Laura mau. Tapi lihat sekarang? Laura menahan malu, ia selalu berbohong pada temannya seolah Gerald cinta mati padanya dan mengejar Laura untuk mendapatkan hatinya, tetapi itu semua seb
Gerald dan Giselle sampai di sebuah restoran mewah yang berada di tengah-tengah kota Luinz. Tempat yang nyaman dan juga menyuguhkan pemandangan sekitar, taman-taman yang dipenuhi pohon bunga Magnolia yang sedang mekar-mekarnya. Giselle duduk di dekat dinding kaca, wanita itu menatap ke arah luar memperhatikan cahaya lampu taman yang menyinari bunga-bunga di luar. "Musim semi kali ini sangat indah," ucap Giselle lirih. Banyak momen yang Giselle lewati saat musim semi di setiap tahunnya. Terutama momen saat ia pertama kali mengenal Gerald, saat itu Giselle sedang membantu Papanya untuk menjaga kedai cafe kecil milik sang Papa. Gerald yang setiap hari datang, Giselle pikir dia benar-benar menjadi pelanggan, tapi ternyata Gerald diam-diam tertarik padanya dan mereka melakukan pendekatan saat di musim semi seperti ini. Tapi, tidak setiap tahun di musim semi yang Giselle lewati selalu memiliki momen manis. Tahun lalu, ia sedang sakit dan bersamaan harus mengurus Elodie. Giselle bahk
Hari sudah gelap, Gerald baru saja keluar dari dalam kantornya dengan wajah lelah. Seharian ini ia sangat sibuk, dan jadwal meetingnya pun semakin padat. Bersama Sergio yang selalu menjadi ajudan kepercayaannya. Kini Gerald bergegas pulang dan masuk ke dalam mobil. Sergio melirik Tuannya dari kaca kecil di atas bangku kemudinya. "Apa Tuan pulang langsung ke rumah atau ke rumah sakit?" tanyanya. "Ke rumah sakit saja. Aku kepikiran Elodie menungguku," jawab Gerald. "Baik kalau begitu, Tuan." Mobil hitam itu membelah jalanan yang ramai malam ini. Gerald duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya berusaha untuk menahan kantuk dan lelahnya hari ini. Hal ini hampir setiap hari terjadi karena ia sangat-sangat sibuk, tetapi bila ia sampai dan melihat Giselle bersama Elodie, rasa lelahnya mungkin akan luntur saat senyuman mereka menyambutnya. Beberapa menit kemudian, Gerald telah sampai di rumah sakit. Laki-laki itu berjalan ke dalam lorong di lantai tiga belas, dari jauh, ia mel
Hari berjalan dengan cepat dan silih berganti. Kondisi Elodie sudah sehat dan perkembangan kepulihannya juga cukup baik. Setiap hari, anak itu bersemangat berjalan-jalan meskipun masih di dalam ruangan kamar inapnya karena kondisi Elodie pasti perlu dipantau. "Ma, kapan Elodie boleh pulang? Elodie mau pulang ke rumah Papa," ujar anak itu menatap Giselle sambil berdiri di atas ranjang memeluk Mamanya. "Kalau dokter sudah memberikan Elodie izin pulang, maka akan segera pulang, Sayang," jawab Giselle sambil mengancingkan piyama kecil yang Elodie pakai. "Kita pulang ke rumah Papa saja ya, Ma..." ajak anak itu dengan ekspresi ragunya. Giselle terdiam sejenak memikirkan permintaan anaknya. Wanita itu hanya tersenyum sebelum membantu Elodie duduk dan mulai menyisir rambut Elodie. "Mama ... Mama tidak mau, ya?" tanya Elodie menyadari Mamanya tidak menanggapi. "Bukannya Mama tidak mau, tapi kan kita punya rumah sendiri, Sayang. Kalau rumah kita tidak ditempati, nanti rumahnya mud