Kai tiba di Lasster pada pukul lima pagi. Ia pulang ke rumah kedua orang tuanya. Kepulangan Kai yang secara tiba-tiba itu membuat Amara dan Martin terkejut. Kini, Kai duduk di kursi ruang makan bersama sang Papa dan Mama. Laki-laki muda itu termenung diam menatap secangkir kopi di hadapannya. "Kalau mau pulang paling tidak kabari Mama dulu, Kai. Biar Mama bisa menyiapkan makanan kesukaanmu," ujar Amara pada putranya. "Tadinya aku juga tidak berniat pulang, Ma," jawab Kai sambil mengusap wajahnya.Martin meliriknya sambil tersenyum. "Kenapa terus pulang? Kesepian di apartemen? Kekasihmu sudah pulang ke sini?!" Kai tidak menjawabnya. Wajahnya terlihat sedih saat ini, karena Kai tidak sabar menunggu matahari segera terbit dan Kai akan pergi ke rumah Elodie. "Elodie ditolak di semua universitas di Lasster, Pa, Ma," ujar Kai pada orang tuanya. "Loh... Elodie 'kan sangat pintar, Kai. Bagaimana bisa ditolak?!" pekik Amara terkejut. "Pasti karena berita waktu itu," sahut Martin. "Negar
Sudah satu Minggu berlalu, Elodie tampak murung dan sedih. Gadis itu sepanjang hari diam di dalam kamarnya dan tidak melakukan apapun. Tetapi pagi ini, Elodie merapikan barang-barang di dalam kamarnya. Gadis itu melepaskan semua kertas-kertas yang menempel di papan mading di depan meja belajarnya. Semua gambar-gambar kampus impiannya pun kini ia lepas dan membuangnya ke tempat sampah. Suara pintu kamarnya terketuk dari luar. "Nona Elodie, sarapannya sudah siap," ujar Bibi Runika dari luar. "Aku tidak lapar, Bi. Nanti saja aku akan mencari sendiri di dapur," jawab Elodie dari dalam kamar. Gadis itu kembali naik ke atas ranjangnya dan berbaring di sana diam menatap ikan-ikan di dalam akuarium kecil di atas nakas kamarnya. Pintu kamarnya terketuk lagi dari luar. "Sayang ... ayo makan dulu, Mama bawakan ke sini, ya?" "Nanti saja, Ma." Elodie malah menarik selimutnya. Pintu kamar pun terbuka, Giselle berjalan mendekati Elodie yang tengah berbaring di sana. Kamarnya tampak bersih dan
Elodie baru saja membersihkan tubuhnya setelah ia makan malam bersama sang Mama. Gadis itu memakai piyama merah muda hangat dan kini berjalan mendekati meja belajarnya. Di sana, ada lima map kertas berwarna cokelat. Di dalamnya adalah hasil pendaftaran Elodie di beberapa universitas yang berada di Lasster. Elodie duduk di kursi meja belajarnya. Gadis itu menatap map itu dengan mengusapnya. "Nilai ujianku sangat bagus, pasti aku bisa lolos ke universitas utama di Lasster," gumam Elodie mencoba untuk meyakinkan dirinya. Gadis itu membuka amplop cokelat dan ia meraih kertas di dalamnya. Wajah Elodie yang awalnya sangat antusias, tiba-tiba senyumannya sirna saat tinta merah menghiasi kertas itu dan Elodie tidak masuk ke universitas ternama di Lasster. "Hah?" Elodie terkejut. "Aku tidak masuk? Apa nilaiku kurang? Bukankah ujianku mendapatkan nilai tertinggi? Aku juga ditawari beasiswa waktu itu, kan?" Elodie membuka amplop kedua dan ketiga hingga kelima amplop cokelat itu, namun tida
Setelah tiga dua mingguan lebih Elodie berada di Krasterberg bersama Kai, hari ini gadis itu kembali ke Lasster.Saat tiba di bandara Lasster, Elodie terdiam menatap sekitar. Angin malam semilir menyapanya membangkitkan ingatannya yang lalu-lalu. Seperti diputar kembali rekaman kejadian di mana ia sekolah dan semua perlakuan teman-temannya yang membuat Elodie merasa gamang. "Nona Elodie," sapa Kal mendekati gadis itu. "Ayo, Paman Sergio sudah menunggu di luar." Elodie menoleh dan tersenyum tipis pada Kal. "Iya, Paman." Gadis itu berjalan cepat ke luar. Di depan sana, Elodie melihat seorang laki-laki dengan balutan jas hitam berdiri tersenyum padanya. Elodie ikut tersenyum, gadis itu berlari mendekati laki-laki itu. "Paman Sergio...!" Sergio tertawa pelan begitu Elodie berhambur memeluknya dengan erat. "Paman, ya ampun rasanya rindu sekali, seperti puluhan tahun tidak bertemu," ujar gadis itu. "Iya. Nona Kecil membawa barang-barang apa saja? Kenapa banyak sekali?" tanya Sergio
Elodie tidak bisa tidur malam ini meskipun Kai tertidur memeluknya. Tapi tidak berhasil membuat Elodie terlelap. Gadis itu menatap jam dinding di dalam kamarnya yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tidak ada rasa mengantuk atau apapun dalam dirinya. Elodie menyibak selimut dan melepaskan pelukan tangan Kai. Gadis itu tidak tahu kalau Kai hanya pura-pura tidur hingga Kai menahan pelukannya saat Elodie hendak beranjak. "Mau ke mana?" tanya laki-laki itu. Elodie menoleh dan menatapnya sendu. "Aku ingin duduk di balkon," jawabnya. "Ini sudah malam, Sayang." "Aku ingin melihat pemandangan kota Fratz di malam hari dari balkon," jawab gadis itu. Kai ikut bangun, ia menyahut selimut yang kini ia selimutkan pada punggung Elodie. Mereka berdua membuka pintu balkon kamar. Elodie tersenyum saat melihat pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana. Lampu-lampu berwarna warni menghiasi gedung-gedung menjulang di luaran sana hingga tampak indah saat dilihat dari tempat Kai dan Elo
Setelah Elodie merasa tubuhnya sedikit membaik usai tidur siang, gadis itu kini keluar dari dalam kamar. Ia menghidu aroma wangi masakan. Elodie berdiri di depan pintu kamar dan melihat Kai memasak di dapur seorang diri. Elodie merasa bersalah, harusnya ia yang memasak di sana. Ia sudah berjanji pada Kai kalau ia akan belajar memasak untuk Kai. Tetapi kenyataannya? "Sayang, sudah bangun?" Kai menatapnya. "Ayo sini, makan siang dulu..." Elodie berjalan mendekati Kai dan memeluknya dari belakang dengan bibir cemberut. Kai tersenyum saat gadis itu memeluknya. "Harusnya aku yang memasak untuk Kakak." "Tidak apa-apa, kau istirahat saja dulu, Sayang." Kai mengusap punggung tangan Elodie. "Nanti sore-sore sekali kita ke rumah sakit." Elodie cemberut dan menganggukkan kepalanya. Kai mematikan kompornya, ia mencuci kedua tangannya dan menarik pelan tangan Elodie hingga gadis itu berpindah di hadapannya. "Makan siang dulu. Makan yang banyak biar sehat, oke?" Kai menangkup gemas kedua p