Mobil hitam milik Gerald telah sampai di perbatasan kota Palonia. Titik terakhir mobil yang ia ikuti berhenti, tepat di sebuah tempat pengisian bahan bakar. Tetapi saat Gerald dan yang lainnya sampai, di tempat itu sangat sepi. Hanya ada satu mobil hitam di depan. "Jangan-jangan, mobil itu, Tuan," ujar Sergio. Gerald segera turun dari dalam mobil. Ia dan Sergio mendekati mobil di depan sana, mobil itu kosong dan tidak ada penumpangnya. "Dari plat nomor mobilnya benar, Tuan. Ini mobil yang digunakan oleh orang yang membawa Nyonya," ujar Sergio. "Sepertinya mereka menukar mobil di sini, dan jejaknya benar-benar menghilang," jawab Gerald. "Polisi sedang mencari di kota Palonia. Karena ini sudah masuk ke kawasan Palonia." Sergio menatap mobil polisi yang melaju masuk ke dalam kawasan kota Palonia. Gerald mengusap wajahnya, ia terduduk di sana, di gelapnya malam dan menatap ke arah langit yang gelap. "Giselle ... kau ada di mana? Ke mana para bedebah itu membawamu, Giselle?
"Loh, Pa ... kenapa Papa membawa Elodie ke sini? Apa Giselle nanti tidak mencarinya?" Suara Amara menyambut Martin yang baru saja sampai di rumah. Elodie tampak menangis merengek dalam pelukannya sebelum Amara merebut anak itu dari gendongan suaminya. "Ada masalah besar, Ma. Giselle dibawa oleh seseorang pagi tadi, Gerald masih terus mencarinya ke mana-mana, kabarnya memang sudah beberapa bulan Giselle dan Gerald diteror, dan Giselle diancam untuk dibunuh," jelas Martin sambil menatap Elodie yang menangis. "Jadi, di ruang Gerald tidak ada siapapun. Makanya Papa meminta pada Stefan untuk Papa bawa Elodie saja, kasihan..." "Ya ampun..." Amara mengusap dada dan menatap anak perempuan mungil yang menangis dalam pelukannya tersebut. "Sudah, Sayang ... cup, cup, jangan menangis. Mama Amara buatkan susu ya? Atau makan sama sup? Ayam goreng?" Elodie meletakkan kepalanya di pundak wanita itu. "Elodie mau minum susu." "Baiklah kalau begitu. Ayo ikut Mama ke belakang." Mereka berjalan ke b
Sebuah ruangan yang hangat dan pengap, Giselle merasakan dinginnya lantai dan debu-debu yang melekat di wajah dan tubuhnya. Saat kedua matanya terbuka, Giselle sadar kalau tangan dan kakinya masih terikat, bahkan bibirnya terbungkam dan tidak bisa berbicara. Pandangan matanya mengedar di dalam ruangan gelap itu. Dada Giselle bergemuruh hebat. 'Ini di mana? Aku ada di mana ini, Ya Tuhan?' Giselle panik, ia mencoba untuk duduk. Di dalam ruangan persegi yang kotor bersama tumpukan jemari di dekat pintu. Giselle mendengar suara deburan ombak di luar. Ia mengintip dari celah dinding kayu yang sedikit sudah rapuh. Ia melihat pemandangan laut, tempat yang sunyi, sepi dan entah di mana ia berada saat ini. 'Tempat apa ini, Ya Tuhan? Tolong ... tolong bantu aku pergi dari sini, Tuhan?' Giselle menangis ketakutan. Wanita itu menarik-narik tali yang mengikat tangannya dengan air mata yang membasahi pipinya karena ia sangat ketakutan. Di sana Giselle berusaha keras melepas tali di tanganny
Sebuah mobil berwarna hitam masuk ke dalam pekarangan rumah. Gerald kembali tepat dua puluh menit usai meeting seperti yang ia katakan pada Giselle di telfon. Namun begitu sampai di kediamannya, Gerald justru menemukan beberapa orang terkapar di depan rumah. Termasuk Reiner yang kini masih diikat di pilar bersama Gio dan penjaga gerbang. "Reiner!" pekik Gerald, ia buru-buru turun dari dalam mobil. Gerald berlari mendekati ajudannya tersebut dengan wajah paniknya. "Apa yang terjadi?! Siapa yang mengikat kalian semua di sini, hah?!" pekik Gerald, ia melepaskan tali dan plester hitam yang membungkam bibir ketiga pria itu. "Tuan ... tadi ada segerombolan orang ke sini, mereka memaksa masuk dan membawa Nyonya!" seru Reiner dengan napas terengah. "Apa?!" Gerald tercengang seketika. "Mereka membawa Giselle?!" "Benar, Tuan. Mereka sangat banyak, kami hanya bertiga di sini dan mereka mengeroyok kami." Gerald segera beranjak dan ia berlari masuk ke dalam rumah. Bersamaan dengan hal itu
"Penerus perusahaanku nanti, tentu saja jatuh pada Kai. Memangnya pada siapa lagi? Anakku hanya Kai saja!" Suara itu terdengar saat bibir Martin. Laki-laki yang tengah duduk merangkul pundak putranya yang sudah remaja. Gerald tersenyum. "Bagus, Kak Martin. Kau memiliki seorang putra, dan Kai juga anak yang hebat. Dia pasti bisa membawa perusahaanmu ke kancah yang lebih tinggi saat dia dewasa nanti." "Sayang sekali Elodie masih kecil, kalau seumuran, kita jodohkan saja mereka," sahut Johan sambil tertawa. "Aku tidak akan menolaknya!" jawab Gerald sambil tertawa. "Usia mereka selisih sepuluh tahun. Apa Kai tidak dipanggil Paman nanti oleh Elodie kalau Elodie sudah besar," seru Martin ikut tergelak. Sedangkan Kai, anak itu memasang wajah bosan dengan percakapan ini. Bisa-bisanya Papa dan Pamannya mengatakan akan dijodohkan dengan Elodie. Sedangkan Kai sendiri menganggap bocah kecil itu seperti musuh baginya. Lagi pula, Kai juga tidak akan mau dan tidak akan tertarik dengan
Giselle dan Gerald pergi bersama hari ini. Mereka menemani Elodie bermain di game zone sejak beberapa menit yang lalu. Giselle duduk di samping Gerald yang tengah memperhatikan putri kecilnya. "Gerald," lirih Giselle menatapnya. "Hm?" Gerald menoleh. "Ada apa, Sayang?" "Bisakah mulai besok kau bekerja dari rumah saja?" tanya Giselle pada sang suami. Gerald menatap lekat wajah Gerald. "Kenapa memangnya, hm? Aku tidak akan bertemu dengan Laura lagi, aku akan memutus kerja sama dengan perusahaan Thompson dan akan menyelidiki Laura. Jadi aku tetap harus ke kantor, Sayang." Wajah Giselle terlihat panik, wanita itu meremas ponsel di tangannya. Ponsel di tangan Giselle masih baru, sekitar seminggu Gerald membelikannya, tidak ada nomor siapapun yang tersimpan selain milik Gerald, Irish, dan Alissa, juga guru-guru di sekolah Elodie. Namun, dua hari Giselle membeli ponsel, peneror itu kembali menghubunginya dan mengecam mengirimkan banyak ancaman berbahaya. Gerald merangkul pund