Hari sudah senja, cahaya matahari yang bersinar jingga di ufuk barat terasa hangat menyinari wajah Giselle yang tengah menatapnya dengan perasaan kosong. Wanita itu terdiam melamun sejak tadi. Lebih tepatnya sejak Elodie tertidur setelah diperiksa yang ketiga kalinya. Hingga tiba-tiba saja terdengar suara pintu kamar inap Elodie terbuka, dan muncul seorang laki-laki membawa paper bag di tangannya. "Selamat sore," sapa Dean lirih, laki-laki itu masuk ke dalam kamar inap itu. "Dean..." Giselle mengerjapkan kedua matanya menatapnya. Laki-laki itu tersenyum dan berjalan ke arahnya. Dean meletakkan paper bag di atas meja sudut di dalam ruangan itu. "Bagaimana kondisi Elodie kata dokter?" tanya Dean menoleh pada Giselle. "Maaf ya, Giselle, kemarin aku tidak bisa ke sini karena aku sedang ada urusan di Palashatt." "Tidak apa-apa, Dean," jawab Giselle lirih. Wanita itu memperhatikan Dean yang kini mendekati Elodie. Mengelus kening Elodie dan mengecupnya dengan penuh kasih saya
Giselle bernapas lega saat Elodie sudah sadar, meskipun anaknya hanya bisa terbaring di atas ranjang rumah sakit dan memanggilnya dengan suara lirih, setidaknya Elodie sudah bangun dari tidur panjangnya. Beberapa menit yang lalu, Giselle diminta oleh suster pergi ke ruangan dokter. Wanita itu mengambil surat hasil pemeriksaan Elodie, Giselle membawanya dan kembali ke kamar rawat inap Elodie. Saat Giselle kembali ke kamar Elodie, ia terkejut mendapati Marisa berada di dalam kamar Elodie. "Nyonya..." Kedua mata Giselle melebar menatapnya. Marisa menoleh ke arah pintu di tempat Giselle berdiri saat ini. "Mama," panggil Elodie dengan suara kecilnya yang lemah. Segera Giselle melangkah mendekati anaknya. Ia menatap Marisa yang juga menatapnya. "Untuk apa datang Nyonya ke sini?" tanya Giselle menatap Marisa dengan berani. "Tentu saja aku menjenguk cucuku!" jawab Marisa, nada suara yang pelan dan angkuh. "Apa seperti ini yang kau bilang kalau kau layak menjadi Mama untuk Elodi
"Bagaimana, Gerald? Apa kau sudah melakukan tes DNA dengan Elodie? Giselle memberikanmu izin, kan?" Pertanyaan itu terucap dari bibir Marisa yang tengah duduk di hadapan Gerald di dalam ruang keluarga di kediamannya. Sedangkan Charles juga memasang ekspresi wajah yang sama. Ia tampak tidak sabar menunggu jawaban Gerald. "Giselle tidak mengizinkanku," jawab Gerald. "Dalam situasi yang dia alami saat ini, aku tidak ingin mengajaknya ribut, Ma." Marisa mengusap wajahnya frustrasi. "Gerald, Gerald ... kau ini bodoh sekali, hah?! Harusnya kau tidak usah memperdulikan Giselle lagi!" "Tapi keadaan Elodie saat ini sedang tidak memungkinkan, Ma! Elodie sakit dan dia sedang tidak sadarkan diri sejak tadi malam di rumah sakit!" pekik Gerald melawan Mamanya. Marisa dan Charles seketika terdiam dengan kedua mata melebar menatapnya. "A-apa?" cicit mereka. "E-Elodie sakit?" Marisa menatapnya tak percaya. Gerald mengangguk. "Elodie memiliki penyakit keras yang belum aku ketahui pasti
Setibanya di rumah sakit, Gerald melangkah cepat masuk ke dalam tempat itu dan berjalan di lorong utama. Gerald bertanya pada resepsionis di mana Elodie dirawat. Gerald berjalan di lorong depan, lorong sunyi dan hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan melewatinya. "Di mana Giselle?" gerutu Gerald mencari-cari. Hingga tiba saat Gerald melangkah semakin dalam ke lorong, ia melihat sosok Giselle yang berdiri lesu di depan sebuah ruangan. Wanita itu terlihat sedih menatap lurus ke dalam ruangan berdinding kaca di depan sana. Gerald segera mendekatinya saat itu juga. "Giselle..." Suara Gerald membuat Giselle sontak menoleh menatapnya. Kedua mata sembab dan wajah Giselle begitu kacau saat ini. Gerald mendekatinya dan mencekal kedua pundak kecil Giselle dengan tatapan panik dan khawatirnya. "Apa yang terjadi dengan Elodie, hm?" Gerald menatapnya dalam. Wanita itu menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajah. "Anakku sakit," lirih Giselle menoleh ke arah Elodie di d
"Papa ... Papa di mana?" Elodie terbangun dari tidurnya. Anak itu duduk di atas ranjang menoleh ke kanan dan ke kiri. Bibirnya mencebik siap menangis. Anak itu mengulurkan tangannya menepuk-nepuk lengan Giselle. Mamanya tertidur karena merasa sangat kelelahan. "Mama, Papanya Elodie di mana? Mama..." Anak itu menangis. "Papa!" Giselle yang tertidur pun sontak terbangun cepat. Wanita itu langsung beranjak duduk dan menatap si kecil yang menangis histeris. "Ya ampun, Sayang. Kenapa, Nak?" Giselle langsung mengulurkan tangannya pada Elodie. "Papanya Elodie, Mama ... Papa!" pekik anak itu menangis mencari Gerald. "Papa besok pagi ke sini lagi, Sayang. Ssstttt ... Elodie tidak boleh menangis, ini sudah malam." Giselle berusaha membujuk sambil meraih gendongan milik Elodie. Namun, saat Giselle hendak mengangkat tubuh kecil Elodie, ia merasakan kulit tubuh Elodie yang kini sangat panas. Guratan wajah cemas terlihat jelas di wajah Giselle. Ia mengusap kening dan pipi Elodie.
Elodie tertidur dalam pelukan Gerald, dengan kedua tangannya yang masih merengkuh lehernya dan terlihat begitu pulas. Giselle mendekati mereka, ia menatap Gerald yang kini juga menatapnya. "Berikan Elodie padaku, aku akan menidurkannya di dalam. Ini sudah malam, kau bisa pulang," ujar Giselle lirih. "Biar aku sendiri yang menidurkannya. Takutnya nanti dia menangis," jawab Gerald. "Di mana kamarmu?" "Ada di sana." Giselle berjalan ke belakang diikuti oleh Gerald. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Gerald mengedarkan pandangannya dalam kamar berukuran kecil tersebut. Bahkan mungkin luar kamar ini separuh dari kamar Gerald. Giselle menata bantal dan boneka milik Elodie di atas ranjang. "Tidurkan di sini saja, pelan-pelan," ujar wanita itu. Perlahan-lahan Gerald menidurkan Elodie di atas ranjang. Anak itu terbangun dan membuka matanya yang sayu. "Papa…," ucapnya pelan. "Papa tidak akan ke mana-mana. Tidur lagi, Sayang," bisik Gerald, ia mengusap lembut pipi Elodie hin
Hujan turun tak terlalu deras malam ini. Di dalam rumah kecil sederhana milik Giselle, terdengar suara tangisan dan rintihan dari Elodie yang sedang rewel. Elodie kembali demam tinggi dan tidak mau turun dari gendongan Giselle sama sekali. Sejak sore tadi, Elodie tidak mau berhenti menangis bahkan setelah Giselle membawanya ke dokter dua jam yang lalu. "Minum susu ya, Sayang ... sambil Mama gendong," bisik Giselle, wajahnya begitu sedih dan lelah terlihat jelas di sana. "Tidak mau! Elodie pusing, kepalanya sakit mau pecah!" pekik anak itu menangis meronta dalam gendongan Giselle. "Kalau Elodie menangis terus, kepalanya nanti tambah pusing, Nak." Giselle mengusap kening Elodie dengan pelan dan mendekap anaknya tersebut. Elodie tidak kunjung diam, jemari tangannya terasa jelas mencengkeram erat punggung Giselle saat ini. "Ssstttt ... tenang, Sayang. Elodie pejamkan mata saja biar tidak sakit. Mama akan menggendong Elodie terus," ujar Giselle. Anak itu masih menangis dan ti
"Mama, jadi Om tadi Mama kenal? Om baik tadi siapanya Elodie, Ma? Papanya Elodie, bukan?" Rentetan pertanyaan yang diselimuti rasa penasaran dari bibir Elodie terdengar begitu mendesak Giselle yang kini berada di sampingnya. Sepeninggal Gerald beberapa menit yang lalu, Elodie terlihat sedih dan anak itu bahkan menangis karena tidak mau ditinggal oleh Gerald. Elodie masih terus bertanya-tanya padanya tentang siapa Gerald, kenapa Mamanya bisa marah pada laki-laki yang ia panggil 'Om' tersebut. "Mama, kenapa tidak menjawab?" Elodie berdiri di hadapan Giselle dan memiringkan kepalanya dengan wajah siap menangis. Giselle mengulurkan tangannya menyentuh pipi si kecil dengan lembut dan hangat. Pertanyaan yang Elodie lontarkan, sangat menyayat hati Giselle. "Bukan," jawab Giselle menggelengkan kepalanya. "Dia bukan Papanya Elodie, Sayang.” "Hemm..." Elodie pun tertunduk lesu. Anak itu kembali memeluk Giselle dan diam tidak bertanya-tanya lagi. Giselle menundukkan kepalanya men
Dean mengantarkan Giselle pulang sore ini. Sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah, Giselle masih tampak begitu terpukul dengan kejadian di tempat kerjanya barusan. Setibanya di kediaman Giselle, mereka masih berdiri di teras dan Dean pun langsung berpamitan. "Kalian cepat masuk dan istirahat. Aku langsung pamit pulang," ujar Dean, laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Giselle. "Kau tidak mau mampir dulu?" tanya Giselle menatapnya lekat. "Tidak, Giselle. Kapan-kapan saja ... ada pekerjaan yang belum aku selesaikan." Dean tersenyum manis hingga Giselle membalasnya dengan anggukan kecil. "Kalau begitu, aku pamit," ucap Dean. "Hati-hati di jalan, Dean." "Iya, pasti." Dean menatap Elodie yang kini berdiri sambil menggandeng tangan Giselle. “Bye, Sayang.” Anak kecil manis itu melambaikan tangannya pada Dean dan tersenyum kecil. Dean mengangkat tangannya dan memberikan lambaian tangan pada Elodie. Dean bergegas pergi membawa mobilnya meninggalkan p