Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan.
Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor.
Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani.
"Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya.
"Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik.
"Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie.
Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali.
Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle tidak pernah menampakkan wajah sedihnya. Ia ingin Elodie bersemangat untuk segera sembuh.
"Elodie takut disuntik, tangan Elodie sakit, Mama," rengek anak itu, semakin erat memeluk lengan Giselle dan mendongak menatapnya sedih.
"Mama akan pulang cepat dan menemani Elodie. Elodie jangan khawatir ya."
Giselle kembali memeluk Elodie dengan hangat dan penuh kasih sayang.
Untuk saat ini, Giselle akan menyembunyikan identitas Elodie dari dari Gerald.
Bagaimanapun, laki-laki itu tidak akan percaya kalau Elodie adalah anaknya. Gerald telah menganggap Giselle menjadi wanita yang tidak benar selama ini. Percuma menunjukkan siapa Elodie pada Gerald.
"Sudah setengah tujuh, Sayang. Mama harus berangkat bekerja," ujar Giselle melepaskan pelukannya pada sang putri. "Elodie mau sesuatu? Biar nanti Mama belikan," tawarnya.
"Elodie mau buah anggur, Ma. Yang banyak sekali," pinta anak itu, senyuman kecil terbit di sudut bibirnya yang pucat.
Giselle langsung tersenyum manis dan mengangguk sambil mengelus pucuk kepala si kecil.
"Baiklah, nanti sore Mama belikan buah anggur yang banyak untuk Elodie," ujar Giselle. "Kalau begitu, Mama harus pergi dulu ya, Sayang. Sampai nanti, anak cantik Mama."
Giselle meninggalkan kecupan di kedua pipi gembil Elodie. Wanita itu pun menarik dirinya dan berjalan mendekati pintu.
Ia melambaikan tangannya pada Elodie saat hendak meninggalkan ruangan kamar inap itu. Elodie memeluk boneka kecil kesayangannya dan membalas lambaian tangan sang Mama.
Pintu kamar itu ditutup oleh Giselle. Langkah kakinya terasa berat meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit.
Mengingat kejadian semalam, Giselle merasa kembali terluka. Tetapi, Giselle harus tetap bekerja dan berusaha melunasi hutangnya pada Gerald.
Sesampainya di depan, Giselle mendongakkan kepalanya menatap langit cerah pagi ini.
Wanita itu menyergah napasnya panjang. "Hari ini aku akan menjadi asistennya. Semoga aku tidak terlibat dalam masalah apapun dengannya."
**
Beberapa menit berlalu, Giselle telah sampai di kantor perusahaan tempat ia bekerja. Semua orang di dalam gedung itu tampak menatapnya dengan tatapan tak biasa.
Tentu saja, kabar bahwa Giselle yang belum genap satu bulan bekerja sudah menjadi asisten CEO membuat kantor jadi gempar. Posisi itu sangat diinginkan oleh banyak orang.
"Giselle, Pak Gerald sudah menunggumu di ruangannya," ujar Sergio—ajudan Gerald yang berpapasan dengan Giselle.
"Ya, saya akan segera ke sana," jawabnya dengan kepala tertunduk.
Segera Giselle berjalan masuk ke dalam lift menuju lantai di mana ruangan CEO berada.
Tak henti-hentinya Giselle berdoa agar hari ini berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun.
Begitu ia sampai di depan ruangan CEO, Giselle pun segera mengetuk pintu itu dan membukanya dengan perlahan sebelum melangkah masuk.
"Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan begitu sopan.
Tapi Gerald tidak menjawab sapaannya. Laki-laki itu hanya menatapnya datar.
"Susun ulang berkas-berkas yang ada di meja sebelah sebelum jam makan siang. Aku ingin semuanya rapi dan tidak ada kesalahan," katanya dengan nada memerintah.
Giselle mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan segera mengerjakannya."
Segera Giselle mendekati meja di samping meja kerja Gerald. Ia meletakkan tasnya dan sesekali melirik ke arah Gerald yang duduk dan fokus pada layar laptopnya.
'Laki-laki itu bersikap seolah tidak terjadi apapun di antara kami semalam. Dia ... benar-benar bukan Gerald yang dulu aku kenali.'
Giselle mengembuskan napasnya pelan. Pandangannya teralih pada tumpukan berkas di hadapannya.
Pekerjaan sebanyak ini, apakah bisa selesai sebelum jam makan siang? Rasanya mustahil ….
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dari luar. Giselle mengangkat wajahnya dan terkejut melihat kehadiran seorang wanita yang berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi, Sayang." Wanita cantik dengan rambut hitam sepundak itu berjalan mendekati Gerald.
"Pagi, Sayang. Kenapa kau datang tanpa mengabariku?" Gerald tersenyum manis pada wanita itu.
"Aku ingin membuat kejutan untukmu, jadi aku tidak menghubungimu lebih dulu," ujar wanita itu sambil memeluk Gerald dengan mesra.
Giselle tertegun. Ia tak bisa menutupi rasa terkejut di wajahnya.
Melihat wanita yang bersama Gerald saat ini membuat perasaan Giselle tidak karuan.
Dia adalah Laura—sahabat yang telah menusuk Giselle dari belakang. Dialah sosok perempuan yang membuatnya berada di posisi ini. Jika saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, mungkin semuanya akan berbeda.
"Loh, Sayang ... kenapa dia ada di sini?!" pekik Laura saat menyadari ada Giselle di sana.
Gerald berdehem pelan. "Sekarang dia bekerja di sini menjadi bawahanku."
Laura cemberut dan duduk di pangkuan Gerald. "Hmm ... tapi bagaimana kalau dia menggodamu? Aku tidak mau calon suamiku direbut oleh orang lain!"
Gerald tersenyum menenangkan. "Aku tidak akan memungut kembali sesuatu yang sudah aku buang, Sayang," katanya.
Mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Gerald, hati Giselle terasa begitu nyeri.
Laura terkekeh senang dan memeluk Gerald dengan erat, lalu mengecupi pipi laki-laki itu.
"Aku sangat mencintaimu, Gerald."
"Aku tahu itu, Laura," sahut Gerald.
Laki-laki tampan itu melirik ke arah Giselle yang diam menundukkan kepalanya. Rasanya menyenangkan melihat ekspresi sedih di wajah Giselle saat ini.
Giselle melirik ke arah Gerald yang kini tengah mencium Laura.
Tak mau berlama-lama di sana, Giselle mengambil asal sebuah berkas sebelum ia berdiri dari duduknya dan memalingkan wajah dari mereka.
"Ma-maaf, Pak. Saya permisi sebentar," pamitnya.
Gerald melepaskan tautan bibirnya dari Laura, lalu memperhatikan Giselle yang kini keluar meninggalkan ruangannya dengan cepat.
Ekspresi wajah Gerald menjadi sangat dingin. Ia melepaskan tangan Laura dari bahunya.
"Gerald—"
"Duduklah di sofa," ucapnya, tiba-tiba berubah menjadi dingin.
Laura cemberut dan berjalan mendekati sofa tanpa membantah.
Sedangkan Gerald, ia duduk diam menatap tempat duduk Giselle yang kini kosong.
Wajah sedih wanita itu kembali terbayang dalam benaknya, membuat ujung bibir Gerald terangkat dengan bangga.
‘Bagaimana perasaanmu, Giselle? Setelah kau berada dalam genggamanku, jangan harap kau bisa hidup bahagia!’
Elodie membuka kedua matanya perlahan, gadis itu tersentak saat menyadari ia tidak berada di kamar miliknya. Gadis cantik itu langsung bangun dan ia memegangi keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing tiba-tiba. "Sudah bangun?" Suara bariton itu membuat Elodie menoleh. Tampak Kai baru saja masuk ke dalam kamarnya, laki-laki itu kini memakai kemeja berwarna biru langit dan celana bahan hitam. "Aku tidur berapa lama?" tanya Elodie lirih. "Sejak pukul delapan, sampai pukul satu," jawab Kai tersenyum. "Oh ... maaf," cicit Elodie sambil mengusap pipinya. "Tidak apa-apa. Kau pasti setiap malam susah tidur, kan?" Kai mendekatinya dan mengusap pucuk kepala Elodie. Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk. Elodie mencekal lengan Kai saat laki-laki itu hendak pergi. Kai menatapnya dengan hangat dan dalam. "Kakak mau ke rumah sakit?" tanyanya. "Heem. Hari ini aku shift siang sampai nanti jam delapan malam. Kenapa, hm?" Kai kini duduk di tepi ranjang di samping Elodie. Gadis itu mengg
Kai mengajak Elodie pulang ke apartemennya. Sepanjang perjalanan, gadis itu diam dan menangis tidak merespon apapun yang Kai tanyakan padanya. Sesampainya di apartemen milik Kai, Elodie duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya tangannya meremas rok sekolahnya hingga kukunya tampak memutih. Kai menghela napas dan menekuk kedua lututnya di hadapan Elodie dan mengelus lembut pipi Elodie yang basah. "Sudah, jangan menangis," ucap Kai dengan sangat lembut. Elodie menahan untuk tidak menangis, namun tidak bisa. Gadis itu menatap Kai dengan penuh kelukaan sebelum Kai mendekat dan mendekap Elodie dengan erat. Rasa sedih dan pedih yang Elodie rasakan saat ini, seolah terserap oleh Kai. Bagaimana rasa takut dan cemas yang setiap hari menghantuinya kini seperti ikut dirasakan oleh Kai. "Kenapa kau tidak mengatakan hal ini pada Mama dan Papamu, hm?" Kai bertanya dengan sangat lembut, ia menarik Elodie dari pelukannya. Jemari tangannya mengusap pipi Elodie. "Hal seperti ini, jangan d
Jam menunjukkan pukul delapan malam, Kai baru saja masuk ke dalam rumahnya. Malam ini, pemuda itu pulang ke rumah orang tuanya karena permintaan sang Mama. Kini, Kai baru saja selesai mandi dan bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang makan."Katanya malam ini pulang pukul enam, kenapa jam delapan baru sampai di rumah, Kai?" tanya Amara menatap sang putra. "Aku dari rumah Om Gerald, Ma," jawabnya. "Aku bertemu dengan Elodie." "Hemmm ... apa kau masih ingin memperlakukan anak itu seperti dulu?" tanya Martin sambil terkekeh. "Dulu kau melarang Elodie pulang ke rumahnya, marah kalau Elodie diganggu. Kalau kau mau memperlakukannya seperti itu sekarang, setidaknya nikahi dulu dia." "Usiaku dan Elodie terpaut jauh, Pa. Aku ... takut dia tidak mau.""Terus kalau tidak mau? Apa kau tidak akan mencari pasangan?" Amara menyahuti. "Setidaknya kalau bukan Elodie, kau harus mencari pasanganmu sendiri Rald. Kalau Mama ... Mama sangat menyukai Elodie, dia cantik, baik, dan meskipun sekarang
Sepanjang hari Kai terus kepikiran tentang apa yang ia ketahui tentang hal yang disembunyikan oleh Elodie selama ini. Kai merasa terpukul hebat saat tahu gadis yang ia sayangi selama dua belas tahun itu menjadi korban pelecehan di sekolahnya. Pantaslah gadis itu berubah drastis. Dan sedihnya, Elodie tidak menceritakan masalahnya pada siapapun. Dia lebih memilih untuk memendamnya seorang diri. Setelah pulang kerja, Kai pun bergegas ke rumah Gerald malam ini tanpa pulang lebih dulu ke rumahnya.Pintu rumah Gerald tertutup rapat, seperti tidak ada orang di dalam. Namun, Kai menekan bell pintu berulang kali hingga gorden jendela terbuka dan tampak seorang gadis cantik mengintipnya. Kai tersenyum. "Buka pintunya, ini aku." Pintu itu pun terbuka, Kai menatap gadis cantik bertubuh kurus dengan balutan rok panjang berwarna putih dan sweater merah marun yang ia pakai. Rambut panjangnya tergerai indah. "Kak ... Papa sedang pergi mengantar Mama terapi," ujar Elodie tiba-tiba, ia masih memeg
Keesokan harinya, Elodie menjalani kegiatannya seperti biasa di sekolah. Gadis itu kini tengah berada di dalam sebuah perpustakaan sekolah dan tengah membaca sebuah buku di sana. Setelah menyelesaikan ujian akhir tahun, banyak sekali jam pelajaran kosong setiap hari dan Elodie memanfaatkanya untuk ke perpustakaan. Tempat itu sunyi dan aman. Saat ia duduk, tiba-tiba seseorang merangkulnya dari belakang hingga membuat Elodie tersentak kaget. "Aku cari-cari, ternyata kau di sini!" Suara itu tidak asing di telinga Elodie. "Diamlah, Raf. Jangan menggangguku lagi," ujar Elodie menyingkirkan tangan Rafael yang menyentuh lehernya. Rafael—putra Alissa dan Robin itu menyukai Elodie, dia bahkan kadang memalukan hal di luar nalar pada Elodie hingga membuat Elodie ketakutan padanya. "Elodie, aku dengar-dengar kemarin sore anak-anak membully-mu, hm?" tanya Rafael menatapnya dari samping. "Kenapa memangnya? Bukankah kau sama seperti mereka?" Elodie menundukkan kepalanya. "Kau juga selalu memb
"Sayang, Kakak Kai jauh-jauh pulang dari Krasterberg ke sini ingin bertemu dengan Elodie. Kenapa Elodie tadi main pergi begitu saja?" Giselle mengelus kepala Elodie dengan lembut. Putri cantiknya itu tengah berbaring di atas ranjang kamarnya. "Tidak apa-apa, Ma. Elodie malu, sekarang 'kan Elodie bukan anak kecil lagi," jawab gadis cantik itu tersentak tipis. Giselle menyadari perubahan Elodie sejak naik kelas sepuluh. Elodie semakin pendiam, tidak banyak bicara, dan mudah murung mengurung diri di dalam kamar. Memang, awal-awal tahun pertama kali Elodie masuk ke sekolah menengah atas, ia pernah mengalami perundungan yang sempat membuat Gerald murka, Elodie dipindahkan ke sekolah yang lebih baik, berharap di sana Elodie mendapatkan teman, tetapi justru semakin parah, akan tetapi hal itu tidak membuat Elodie berhenti untuk belajar. "Oh ya, Sayang, ini ada oleh-oleh dari Kakak Kai untuk Elodie," ujar Giselle menunjukkan sebuah paper bag di tangannya yang ia tunjukkan pada Elodie. "A