Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan.
Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor.
Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani.
"Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya.
"Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik.
"Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie.
Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali.
Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle tidak pernah menampakkan wajah sedihnya. Ia ingin Elodie bersemangat untuk segera sembuh.
"Elodie takut disuntik, tangan Elodie sakit, Mama," rengek anak itu, semakin erat memeluk lengan Giselle dan mendongak menatapnya sedih.
"Mama akan pulang cepat dan menemani Elodie. Elodie jangan khawatir ya."
Giselle kembali memeluk Elodie dengan hangat dan penuh kasih sayang.
Untuk saat ini, Giselle akan menyembunyikan identitas Elodie dari dari Gerald.
Bagaimanapun, laki-laki itu tidak akan percaya kalau Elodie adalah anaknya. Gerald telah menganggap Giselle menjadi wanita yang tidak benar selama ini. Percuma menunjukkan siapa Elodie pada Gerald.
"Sudah setengah tujuh, Sayang. Mama harus berangkat bekerja," ujar Giselle melepaskan pelukannya pada sang putri. "Elodie mau sesuatu? Biar nanti Mama belikan," tawarnya.
"Elodie mau buah anggur, Ma. Yang banyak sekali," pinta anak itu, senyuman kecil terbit di sudut bibirnya yang pucat.
Giselle langsung tersenyum manis dan mengangguk sambil mengelus pucuk kepala si kecil.
"Baiklah, nanti sore Mama belikan buah anggur yang banyak untuk Elodie," ujar Giselle. "Kalau begitu, Mama harus pergi dulu ya, Sayang. Sampai nanti, anak cantik Mama."
Giselle meninggalkan kecupan di kedua pipi gembil Elodie. Wanita itu pun menarik dirinya dan berjalan mendekati pintu.
Ia melambaikan tangannya pada Elodie saat hendak meninggalkan ruangan kamar inap itu. Elodie memeluk boneka kecil kesayangannya dan membalas lambaian tangan sang Mama.
Pintu kamar itu ditutup oleh Giselle. Langkah kakinya terasa berat meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit.
Mengingat kejadian semalam, Giselle merasa kembali terluka. Tetapi, Giselle harus tetap bekerja dan berusaha melunasi hutangnya pada Gerald.
Sesampainya di depan, Giselle mendongakkan kepalanya menatap langit cerah pagi ini.
Wanita itu menyergah napasnya panjang. "Hari ini aku akan menjadi asistennya. Semoga aku tidak terlibat dalam masalah apapun dengannya."
**
Beberapa menit berlalu, Giselle telah sampai di kantor perusahaan tempat ia bekerja. Semua orang di dalam gedung itu tampak menatapnya dengan tatapan tak biasa.
Tentu saja, kabar bahwa Giselle yang belum genap satu bulan bekerja sudah menjadi asisten CEO membuat kantor jadi gempar. Posisi itu sangat diinginkan oleh banyak orang.
"Giselle, Pak Gerald sudah menunggumu di ruangannya," ujar Sergio—ajudan Gerald yang berpapasan dengan Giselle.
"Ya, saya akan segera ke sana," jawabnya dengan kepala tertunduk.
Segera Giselle berjalan masuk ke dalam lift menuju lantai di mana ruangan CEO berada.
Tak henti-hentinya Giselle berdoa agar hari ini berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun.
Begitu ia sampai di depan ruangan CEO, Giselle pun segera mengetuk pintu itu dan membukanya dengan perlahan sebelum melangkah masuk.
"Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan begitu sopan.
Tapi Gerald tidak menjawab sapaannya. Laki-laki itu hanya menatapnya datar.
"Susun ulang berkas-berkas yang ada di meja sebelah sebelum jam makan siang. Aku ingin semuanya rapi dan tidak ada kesalahan," katanya dengan nada memerintah.
Giselle mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan segera mengerjakannya."
Segera Giselle mendekati meja di samping meja kerja Gerald. Ia meletakkan tasnya dan sesekali melirik ke arah Gerald yang duduk dan fokus pada layar laptopnya.
'Laki-laki itu bersikap seolah tidak terjadi apapun di antara kami semalam. Dia ... benar-benar bukan Gerald yang dulu aku kenali.'
Giselle mengembuskan napasnya pelan. Pandangannya teralih pada tumpukan berkas di hadapannya.
Pekerjaan sebanyak ini, apakah bisa selesai sebelum jam makan siang? Rasanya mustahil ….
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dari luar. Giselle mengangkat wajahnya dan terkejut melihat kehadiran seorang wanita yang berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi, Sayang." Wanita cantik dengan rambut hitam sepundak itu berjalan mendekati Gerald.
"Pagi, Sayang. Kenapa kau datang tanpa mengabariku?" Gerald tersenyum manis pada wanita itu.
"Aku ingin membuat kejutan untukmu, jadi aku tidak menghubungimu lebih dulu," ujar wanita itu sambil memeluk Gerald dengan mesra.
Giselle tertegun. Ia tak bisa menutupi rasa terkejut di wajahnya.
Melihat wanita yang bersama Gerald saat ini membuat perasaan Giselle tidak karuan.
Dia adalah Laura—sahabat yang telah menusuk Giselle dari belakang. Dialah sosok perempuan yang membuatnya berada di posisi ini. Jika saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, mungkin semuanya akan berbeda.
"Loh, Sayang ... kenapa dia ada di sini?!" pekik Laura saat menyadari ada Giselle di sana.
Gerald berdehem pelan. "Sekarang dia bekerja di sini menjadi bawahanku."
Laura cemberut dan duduk di pangkuan Gerald. "Hmm ... tapi bagaimana kalau dia menggodamu? Aku tidak mau calon suamiku direbut oleh orang lain!"
Gerald tersenyum menenangkan. "Aku tidak akan memungut kembali sesuatu yang sudah aku buang, Sayang," katanya.
Mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Gerald, hati Giselle terasa begitu nyeri.
Laura terkekeh senang dan memeluk Gerald dengan erat, lalu mengecupi pipi laki-laki itu.
"Aku sangat mencintaimu, Gerald."
"Aku tahu itu, Laura," sahut Gerald.
Laki-laki tampan itu melirik ke arah Giselle yang diam menundukkan kepalanya. Rasanya menyenangkan melihat ekspresi sedih di wajah Giselle saat ini.
Giselle melirik ke arah Gerald yang kini tengah mencium Laura.
Tak mau berlama-lama di sana, Giselle mengambil asal sebuah berkas sebelum ia berdiri dari duduknya dan memalingkan wajah dari mereka.
"Ma-maaf, Pak. Saya permisi sebentar," pamitnya.
Gerald melepaskan tautan bibirnya dari Laura, lalu memperhatikan Giselle yang kini keluar meninggalkan ruangannya dengan cepat.
Ekspresi wajah Gerald menjadi sangat dingin. Ia melepaskan tangan Laura dari bahunya.
"Gerald—"
"Duduklah di sofa," ucapnya, tiba-tiba berubah menjadi dingin.
Laura cemberut dan berjalan mendekati sofa tanpa membantah.
Sedangkan Gerald, ia duduk diam menatap tempat duduk Giselle yang kini kosong.
Wajah sedih wanita itu kembali terbayang dalam benaknya, membuat ujung bibir Gerald terangkat dengan bangga.
‘Bagaimana perasaanmu, Giselle? Setelah kau berada dalam genggamanku, jangan harap kau bisa hidup bahagia!’
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
Giselle sampai di rumah sakit setelah lima belas menit perjalanan. Wanita itu tak peduli dengan penampilannya yang kini berantakan, ia berlari masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di depan ruang kamar inap Elodie, tampak ada beberapa suster di sana. Hati Giselle semakin nyeri saat ia mendengar jerit tangis anaknya. "Elodie, Sayang..." Giselle masuk ke dalam kamar itu. Kedatangan Giselle membuat tiga suster di dalam kamar itu menoleh. Elodie pun langsung menjerit dan mengulurkan tangannya pada Giselle. "Mama, huwaa...! Mamaku!" pekik anak itu keras-keras. Suster Anne menyerahkan Elodie pada Mamanya. Giselle memeluk buah hatinya dengan sangat erat, mendekap tubuh kecil Elodie dengan sangat hangat. Tangisan anak itu langsung mereda dalam dekapannya."Syukurlah Nyonya sudah datang," ujar Suster Anne. "Sejak siang Elodie rewel, dia juga tidak mau makan apapun. Pukul enam petang tadi badannya panas, jadi semakin rewel. Tapi sekarang panasnya sudah turun setelah dokter memberikan suntika
Usai kejadian semalam, Gerald semakin merasa kesal karena tidak berhasil menemukan ke mana Giselle pergi setelah terlepas darinya di hotel. Pagi ini, ia kembali melihat mantan istrinya di dalam ruangan kerja dan bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan ragu-ragu. Laki-laki berbalut tuxedo navy itu berdiri di hadapannya dengan sebongkah perasaan kesal yang sejak semalam ditahan. Giselle mengangkat wajahnya menyadari Gerald tidak menjawabnya, namun laki-laki itu masih menatapnya dengan sangat nyalang tajam. "Kau merasa senang karena bisa lari dariku semalam?" tanya Gerald.Bariton suaranya yang rendah dan menekan membuat wanita di depannya ini merinding. Giselle menggeleng kecil. "Ti-tidak, Pak Gerald. Semalam saya—"Ucapan Giselle terhenti saat Gerald maju dua langkah dan menyudutkannya pada meja kerjanya. Laki-laki itu membungkukkan badannya mendek
Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
Beberapa hari kemudian.Memasuki hari ke sepuluh Elodie di rumah sakit, kondisi Elodie terpantau membaik dan anak itu sudah kembali ceria lagi. Lebih tepatnya setelah Giselle membelikan stroller atau kereta dorong yang Elodie inginkan sejak beberapa hari yang lalu. Pagi ini, dokter mengizinkan Elodie untuk dibawa pulang. Selain kondisinya yang sudah berangsur pulih, Elodie juga terus menerus mengajak pulang. Ditemani oleh Dean di sana yang sudah berjanji untuk menjemput mereka pagi ini. Kehadiran Dean semakin membuat Elodie lebih bersemangat. "Pa, Elodie sudah boleh pulang sekarang?" tanya anak itu pada Dean. "Sudah, Sayang. Sebentar lagi pulang dengan Mama dan Papa. Kita tunggu Mama sebentar, oke?" Dean merapikan jaket hangat berwarna biru muda yang Elodie pakai. "Iya, Papa." Anak manis itu duduk di dalam kereta dorongnya.Elodie tersenyum senang, seolah tak ada lagi yang ditakuti olehnya karena apapun yang ia mau akan dituruti, apalagi ia sekarang sudah memiliki seorang Papa ya
Keesokkan harinya, Gerald menepati ucapannya. Laki-laki itu diam-diam pergi ke rumah sakit setelah semalam Sergio menceritakan tentang sosok anak kecil di dalam kamar inap yang Giselle tunggu. Semalam penuh Gerald tersiksa dengan rasa ingin tahunya, dan pagi ini ia ingin membuktikan dan melihat dengan kedua matanya sendiri. "Kamar ini," gumam Gerald, ia ragu saat berdiri di depan sebuah kamar inap, sebelum pintu kamar itu dibukanya perlahan. Pandangan Gerald mengedar ke dalam sana, kamar itu kosong tak berpenghuni dan tampak rapi, tidak seperti yang Sergio ceritakan semalam. Keningnya mengerut tajam. "Tidak ada siapapun di sini?" lirihnya. Di mana anak kecil yang dikatakan Sergio?Gerald kembali keluar dan menatap plang kayu di depan pintu dan memastikan ia tidak salah kamar. "Kamar ini yang jelas-jelas Sergio katakan semalam," katanya. "Tapi bagaimana bisa kosong tidak ada siapapun?”Gerald yakin Sergio tidak mungkin membohonginya.Namun, decakan sebal terdengar dari bibir Gera
"Elodie tidak bisa tidur, perut Elodie sakit. Elodie mau digendong! Huwaa ... Mama nakal sekali!" Suara tangisan kecil Elodie memenuhi ruangan kamar rawat inapnya di jam dua belas malam. Elodie terbangun dari tidurnya karena dokter baru saja memeriksa kondisinya lagi dan menyuntikan obat untuk Elodie hingga membuatnya menangis. Anak itu duduk di atas ranjang, sedangkan Giselle buru-buru mencari gendongan milik Elodie. "Sebentar, Sayang. Ayo gendong sini, Nak." Giselle mengangkat tubuh kecil Elodie dan menggendongnya. Ia menyandarkan kepala Elodie di pundak dan mengusap pipi Elodie yang basah. "Ayo mau pulang, Ma! Elodie tidak suka di sini!" pekik anak itu menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Suhu tubuh Elodie sangat panas sehingga menambah rewel anak itu malam ini. Dengan sabar, Giselle berusaha menenangkan putrinya sebisa mungkin. "Ssstttt ... sudah Sayang, tidak boleh menangis lagi. Nanti dokter akan ke sini kalau Elodie menangis," ucap Giselle mengusap wajah Elod
"Kita sudah usai, Gerald. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Bahkan aku sudah mengembalikan uang yang aku pinjam padamu, tapi apa yang kau lakukan?" Dengan penuh keberanian Giselle memukul dada bidang Gerald dan mendorongnya. Kedua iris biru mata Giselle dipenuhi kabut air mata. Wanita itu menyeka air matanya dan mengusap bibirnya yang baru saja dicium oleh Gerald. "Kau akan menikah dengan Laura. Kenapa kau masih menahanku seperti ini?" tanya Giselle dengan napasnya yang naik turun. Gerald mengepalkan tangannya kuat dan menatap Giselle seolah ingin ia telan bulat-bulat. "Apa kau lupa, perjanjian kita saat kau datang padaku mengemis uang lima ratus juta waktu itu, heh?" Gerald melangkah mendekatinya Giselle lagi. "A-apa?" Gerald dengan cepat menarik tengkuk leher Giselle dan mendekatkan wajah penuh emosi di hadapan Giselle. Bibirnya yang menipis, dan cengkeraman tangan yang terasa erat di tengkuk lehernya menjadi bukti betapa marahnya Gerald saat ini. "Aku tidak menginginkan u
Dean mengajak Giselle masuk ke dalam gedung rumah sakit, laki-laki itu menarik lengannya dengan pelan dan membawa Giselle ke lorong yang sunyi.Langkah Dean terhenti. Ia meminta Giselle untuk duduk di sebuah bangku yang berjajar sepanjang lorong dan Dean menekuk lututnya di hadapan Giselle saat ini, menelisik wajah sedih wanita itu. "Giselle..." Dean mengusap punggung tangan Giselle hingga wanita itu tertunduk dan menahan untuk tidak menangis. "Menangislah bila itu membuatmu merasa lega," ujar Dean berbisik. Giselle semakin tertunduk dan punggungnya gemetar. "Aku malu, Dean," lirihnya dengan suara parau. "Aku tidak pernah menggoda Pak Gerald seperti yang Bu Laura katakan." "Ya. Aku percaya padamu, Giselle," jawab Dean mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Giselle. "Berapa kali aku katakan padamu, kau bisa mengundurkan diri dari perusahaan Gerald agar kau tidak terus terlibat masalah dengan mereka. Mau sampai kapan mereka akan menindas dan menyakitimu?" Ekspresi di wajah Gis
Keesokan harinya, Giselle masih sibuk mengurus Elodie di rumah sakit. Apalagi setelah dokter mengatakan kalau kondisi Elodie benar-benar drop, Giselle tidak punya pikiran untuk kembali ke kantor. Pagi ini, Giselle pergi membeli buah anggur yang diminta oleh si putrinya saat bangun tidur tadi. Giselle tersenyum tipis menatap buah anggur dalam keranjang hias kecil berwarna merah muda sebagai bonus ada dua buah stroberi di dalamnya, yang kini tengah Giselle bawa. "Elodie pasti senang melihat keranjang cantik ini," gumam Giselle, rasanya tidak sabar ingin melihat si kecil kembali tersenyum. Giselle berjalan menyebrangi jalanan menuju ke rumah sakit yang berada di depan sana. Namun, saat ia sudah berada di tepian seberang jalan, tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di samping Giselle dan membunyikan klaksonnya hingga membuat Gisele menoleh. Kening Giselle mengerut menatap mobil berwarna merah tersebut.Saat ia menepi dan menunggu, dari dalam mobil itu keluar Laura membawa tasnya dan
Jarum jam menunjuk tepat pukul sebelas malam. Gerald baru saja kembali setelah seharian ia tidak bisa berhenti terus memikirkan dan mencari tahu tentang Giselle. Dan kini Gerald baru saja sampai di kediaman. Laki-laki tampan itu keluar dari dalam mobil dan membawa jas hitamnya sambil berjalan dengan tegas seperti biasa. "Selamat malam, Tuan," sapa Sergio yang kini berdiri di ujung atas tangga teras. "Ada apa?" Gerald menatap ajudannya tersebut. Dia tahu, pasti Sergio ingin mengatakan sesuatu hal. Laki-laki dengan balutan kemeja hitam itu menatapnya lekat. "Nona Laura sudah menunggu Tuan Gerald sejak pukul tujuh tadi, sekarang beliau masih ada di dalam." Mendengar hal itu, Gerald pun langsung menarik napasnya panjang. Ia berdecak lidah dan wajah stress langsung memenuhi parasnya. Gerald menyerahkan tuxedo hitamnya pada Sergio sebelum ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa berkata-kata. Di ruang keluarga, tampak Laura yang kini beranjak dari duduknya saat melihatnya masuk ke dal
"Bukan siapa-siapa! Aku tidak menyembunyikan siapapun darimu. Pergilah dari sini, kumohon...!" Giselle dengan berani mendorong Gerald yang kini berdiri di hadapannya. Meskipun sekujur tubuhnya gemetar, ia tetap akan melindungi keberadaan Elodie, dari Papa kandungnya ini. "Aku tidak akan pergi sebelum aku melihat siapa orang itu!" tegas Gerald lagi. Laki-laki itu hendak melangkah ke arah lorong tempat Elodie dirawat, namun lagi-lagi Giselle menahannya dengan sepenuh tenaganya.Giselle lebih baik bertengkar dan ribut dengan Gerald, daripada Gerald harus bertemu dengan Elodie. "Kubilang pergi…!" Giselle menjerit menangis di hadapan Gerald dengan wajah putus asanya. Giselle membungkukkan badannya dan mencekal tangan Gerald sambil menangis memohon pada mantan suaminya tersebut."Jangan temui dia, aku mohon jangan ... Gerald, aku sangat-sangat memohon padamu," lirih Giselle penuh permohonan. Wanita itu menangis menggenggam erat telapak tangan Gerald hingga terasa gemetar. Giselle menu
Gerald kembali ke kantornya untuk melanjutkan meeting setelah menemui Giselle sore tadi. Sampai menjelang malam, barulah meeting selesai dibahas dan semua anggota rapat keluar dari ruangan meeting.Gerald berjalan di lorong lantai dua puluh seorang diri. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat ia mendengar suara seseorang di ujung lorong. "Saya sedang mewakili Tuan Dean untuk meeting di kantor milik Tuan Gerald Gilbert, Nyonya Sania," ujar Petter—asisten sekaligus ajudan Dean, yang kini tengah berbincang di telepon dengan Mamanya Dean. Gerald memelankan langkahnya mendekati sumber suara. Hingga suara Petter kembali terdengar. "Kemarin malam, Tuan Dean juga meninggalkan kantor dan pergi ke rumah sakit ibu kota untuk menemui Giselle Marjorie. Bahkan, Tuan Dean juga membayar biaya pengobatan keluarga Nona Giselle. Saya melihat bukti pembayarannya di atas meja kerja Tuan Muda." Mendengar ucapan Petter barusan, Gerald langsung tercengang, keningnya mengerut seketika. Tiada hal