Home / Romansa / Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam / Bab 6. Wanita yang Merenggut Kebahagiaanku

Share

Bab 6. Wanita yang Merenggut Kebahagiaanku

Author: Te Anastasia
last update Last Updated: 2025-04-14 09:24:53

Keesokan paginya...

Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan.

Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam.

Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya.

Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya.

"Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya.

Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan.

Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Giselle.

"Maaf, karena Anda tunangan Pak Gerald, saya tidak bisa memanggil Anda dengan sembarangan," jawab Giselle masih berdiri di tempatnya.

Laura tertawa sumbang mendengar jawaban Giselle. Wanita itu beranjak dari sofa dan berjalan mendekati Giselle dengan ekspresi licik di wajah cantiknya.

"Oh, rupanya kau bisa dengan lapang dada mengakui aku sebagai calon istri Gerald," ujarnya bangga. "Bagaimana, Giselle? Apa hatimu tidak berdarah-darah melihat Gerald menjadi milikku?" Laura tersenyum miring.

Giselle mengangkat wajahnya menatap sahabatnya itu dengan amarah tertahan di dalam dadanya. Namun, ia berusaha untuk menekan kesedihannya. Ia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan wanita ini.

Giselle menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Tidak, Bu Laura. Bukankah ini semua yang Anda inginkan sejak awal?" ujarnya dengan suara bergetar.

Kening Laura mengerut saat Giselle membuka fakta itu. Raut wajahnya berubah tak terima dengan kata-kata yang Giselle lontarkan.

Wanita itu memukul meja kayu di hadapannya dengan telapak tangannya.

"Jadi kau mau menyalahkanku?!" sinis Laura menipiskan bibirnya kesal. "Semua yang terjadi ini murni karena kesalahanmu, Giselle! Kau yang dulu sudah meninggalkan Gerald. Belum lagi orang tua Gerald sangat membencimu karena kau tidak setara dengan mereka, bagai langit dan bumi!"

Kedua tangan Giselle mengepal kuat, bibirnya terkatup rapat mendengar cemooh yang Laura ucapkan untuknya.

Kepala Giselle tertunduk dan tidak mendebat lagi. Bagaimanapun juga, Giselle tidak akan pernah menang melawan Laura yang terus menyudutkannya.

"Satu lagi, Giselle," ucap Laura tiba-tiba. Ia menatap Giselle dengan tajam. "Jangan karena sekarang kau menjadi asisten pribadi Gerald, kau berusaha merebutnya kembali. Kalau kau sampai berani melakukan itu, maka kau harus berhadapan denganku!"

"Saya tidak akan melakukan hal itu," jawab Giselle balas menatapnya. "Saya di sini hanya untuk bekerja, tidak lebih dari itu. Anda tidak perlu merasa takut, saya tidak akan merebut apa yang bukan milikku."

Laura menggertakkan giginya menatap ekspresi datar di wajah Giselle. Apalagi kata-katanya yang terdengar menyindir.

"Kau—"

"Ada apa ini, Laura?"

Suara bariton tegas milik Gerald terdengar setelah pintu terbuka. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu menatap tajam pada kedua wanita yang bersitegang di dalam ruangannya.

Lantas, Laura bergegas mendekati Gerald dan langsung memeluk calon suaminya dengan ekspresi wajah murung, tak seperti ekspresi saat hanya berdua dengan Giselle.

"Sayang, aku tidak tahu apa salahku pada Giselle. Dia menyalahkan aku dan mengatakan kalau aku merebutmu darinya," ujar Laura tertunduk sedih dan mengusap air mata palsunya. "Aku sungguh tidak menyangka dia akan menyalahkan aku seperti ini."

Mendengar apa yang Laura katakan, Giselle melebarkan kedua matanya, terkejut bagaimana wanita itu dengan lihai bersandiwara.

Giselle menggelengkan kepala cepat saat Gerald menatapnya tajam.

"Ti-tidak, tidak seperti itu, Pak." Giselle berusaha menyangkal.

Tatapan iris hitam Gerald menatapnya dingin dan penuh kebencian. "Giselle Marjorie..." Gerald maju satu langkah mendekatinya.

Giselle menggeleng. Ia menelan ludah gugup, matanya berkaca-kaca saat ditatap penuh kebencian dan penghakiman oleh mantan suaminya ini.

"Pak Gerald, saya—"

"Berhenti menyalahkan orang lain atas keegoisanmu sendiri, Giselle!" desis Gerald dengan rahang mengeras.

"Tapi saya tidak mengatakan itu, Pak," jawab Giselle kukuh.

"Kau tidak perlu berbohong untuk mengadu domba aku dan Gerald, Giselle. Aku tahu pasti kau sangat membenciku," sahut Laura. "Kalau kau memang memutuskan meninggalkan Gerald, harusnya kau bisa mencari kebahagiaan lain, bukan malah menyalahkan aku!"

Layaknya seorang aktris profesional, Laura menangis dan membuang muka dengan wajah patah hati.

Gerald masih menatapnya dengan tajam. "Sekali lagi aku mendengar kau mengusik calon istriku, aku tidak akan tinggal diam!" desis Gerald. "Jangan sekali-kali kau mengungkit masa lalu di antara kita. Berhenti berpikir bahwa kau berharga untukku, Giselle!"

Kedua iris biru mata Giselle bergetar. Detak jantungnya seperti berhenti seketika digantikan rasa sakit dan pedih meruntuhkan pertahanan kesabarannya.

Wanita itu langsung menundukkan kepalanya. Tidak ada kata-kata yang mampu mewakili rasa sakit hati yang ia rasakan saat ini.

Gerald membalikkan badannya dan segera menarik lengan Laura, mengajaknya keluar dari ruangan itu.

"Ayo, Laura."

Laura ikut melangkah, wanita itu menoleh ke arah Giselle dan menaikkan salah satu alisnya sambil tersenyum miring penuh kenangan.

Pintu ruangan kembali tertutup rapat. Giselle tidak bisa menahan air mata yang berdesakan di pelupuk matanya.

Wanita itu terduduk lemas di kursi kerjanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan berusaha meredam tangisnya.

Tidak. Giselle harus berusaha meneguhkan hatinya untuk tidak bersedih terlalu lama meskipun kekecewaan meluap di lubuk hatinya atas tindakan Laura.

Setelah menenangkan diri, Giselle menundukkan menyalakan layar ponselnya, melihat fotonya bersama Elodie yang menjadi wallpaper.

Jemarinya mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan gusar.

“Jika bukan karena kondisi Elodie yang memburuk, aku akan pergi sejauh-jauhnya dari hidupmu, Gerald.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tentrem
jangan menangis hny krn wanita murahan yg telah menfitnahmu.
goodnovel comment avatar
Rani putri
lanjuv kak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 420. S2. AKHIR KISAH PENUH KEBAHAGIAAN

    Suasana rumah yang biasanya terasa sangat sunyi, kini terasa kembali hidup dengan suara tangisan bayi kembar Aileen dan Aleea. Bahkan Giselle tidak merasa kesepian lagi karena ia telah ditemani oleh dia cucu kembarnya yang menggemaskan. "Ya ampun, Aleea ... kau mengingatkan Oma pada bayinya Mamamu dulu, Sayang," bisik Giselle mengusap bayi perempuan dalam gendongannya. Giselle mengelus lembut kening bayi itu. Sedangkan Aileen berada bersama Elodie dan Kai di ruang keluarga di depan sana. "Mama, apa Opa dan Oma tidak jadi dijemput oleh Papa? Katanya Oma dan Opa ingin melihat si kembar?" tanya Elodie pada Mamanya. Giselle menoleh. "Iya, Sayang. Mungkin nanti malam Opa dan Oma akan ke sini bersama sopir pribadinya," jawab Chloe. "Syukurlah..." Elodie menyerahkan bayi laki-lakinya pada Kai. "Sayang, tolong gendong Aileen sebentar." "Mana," pinta Kai.Laki-laki itu menggendong putranya. Kai begitu bahagia, setiap malam ia selalu berjaga menjaga anak-anaknya. Kai meminta Elodie untu

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 419. S2. Kebahagiaan yang Adil

    "Ya ampun, Kak Amara ... lihatlah, cucu perempuan kita sangat mirip dengan Elodie, ya!" Giselle terkekeh gemas menatap bayi mungil dalam gendongan Amara saat ini. Kedua wanita itu sangat heboh sendiri. "Iya, Giselle. Bahkan Aileen juga tidak ada mirip-miripnya dengan Kai!" seru Amara sambil tertawa kesenangan. "Lucunya, cucu Oma, ya ampun!" Satu bayi lagi ada dalam gendongan Elodie saat ini. Dua bayi itu hanya minum susu formula saja. Tetapi bayi-bayi itu sangat sehat dan tangisannya juga sangat keras. Elodie tersenyum mendengar obrolan Mama dan Mama mertuanya pagi ini. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, pagi ini Elodie sudah ada di rumah orang tuanya. Semua keluarga sangat bahagia menyambut kelahiran cucu mereka. Apalagi Giselle dan Gerald. Gerald bahkan tidak menyentuh pekerjaannya sama sekali selama dua hari karena terlalu senangnya dengan kelahiran dua cucunya. "Papa, mau menggendong Aileen?" tawar Elodie saat memperhatikan Gerald yang tampak serius menatap Elodie men

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 418. S2. Kebahagiaan Kai yang Tak Terbatas

    Elodie masih belum sadar pasca operasi. Ia masih terbaring di atas ranjang rumah sakit di dalam ruangan VVIP dan ditemani oleh Gadis cantik itu, kini telah dipanggil Mama. Kai duduk di sebuah kursi tunggal dan terdiam menatapi wajah Elodie sembari menggenggam telapak tangan kanan Elodie. "Sayang, ayo cepat bangun ... anak kita sudah menunggu," bisik Kai, laki-laki itu mengecup punggung tangan Elodie dengan lembut. "Kau akan dipanggil Mama, Elodie." Mengatakan hal itu, tak terasa air mata Kai menetes. Laki-laki itu segera menyekanya dan ia tersenyum tipis. Antara rasa bahagia dan cemasnya. Biasanya, kepada pada pasiennya, Kai akan meminta keluarga pasien untuk bersabar menunggu pasien yang sakit bangun. Tetapi, saat ini Kai berada di posisi itu. Ternyata benar ... sulit sekali untuk merasakan yang namanya sabar bila harus merasakan perasaan secemas ini. "Aileen dan Aleea sudah menunggumu, Sayang," bisik Kai, lagi-lagi ia mengecup punggung tangan Elodie. Pukul enam sore, adalah wa

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 417. S2. Hari Kelahiran Aleea dan Aileen

    Hari yang dinanti-nantikan oleh Elodie dan Kai telah tiba. Hari ini menjadi hari kelahiran bayinya. Elodie masih merasa was-was untuk menjalani operasi caesar beberapa jam lagi. Meskipun ini bukan tanggalnya, tetapi sejak beberapa jam yang lalu Elodie merasakan perutnya sangat sakit tidak seperti biasanya. Di dalam sebuah kamar rawat inap, Elodie berbaring di sana ditemani oleh Kai. Sedangkan Giselle dan Gerald berada di luar bersama Martin dan Amara. Elodie memejamkan kedua matanya dan menggenggam erat telapak tangan Kai. "Sayang," panggil Kai pelan. "Hm?" Elodie menyahutinya pelan. "Aku sedang berdoa," jawab gadis itu membuka matanya dan menatap Kai. "Aku tiba-tiba merasa sedikit takut. Tapi perutku juga sangat sakit." Elodie merintih pelan, gadis itu semakin erat dan kuat meremas tangan Kai. "Sabar ya, Sayang..." Kai mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Elodie. "Heem." Elodie mengangguk pelan. Tak lama kemudian, dua orang dokter rekan Kai masuk ke dalam ruangan itu. "B

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 416. S2. Sudah Tidak Sabar

    "Jadwal operasi Caesar Elodie akan dilaksanakan tanggal sepuluh, Ma, Pa." Kai mengatakan hal itu pada Giselle dan Gerald. Setelah dua orang itu menunggu kepulangan Elodie dan Kai dari rumah sakit. Wajah Gerald terlihat sangat khawatir saat mendengar hal itu. Begitu juga Giselle yang kini merangkul Elodie. "Tanggal sepuluh, itu kan kurang beberapa hari lagi, Kai. Kenapa baru bilang sekarang?" Giselle menatap menantunya itu. "Dokter Renata yang memajukan tanggalnya, Ma," jawab Kai. "Apa kau ikut menangani Elodie nanti, Kai?" tanya Gerald sambil menaikkan kedua alisnya. Kai terkekeh dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Tidak, Pa. Bukan aku. Aku tidak tega kalau menangani istriku sendiri." Kai menggeleng. "Lebih baik kita menunggu di luar sana, aku memilih menunggu bersama Mama dan Papa daripada aku harus menemani Elodie di dalam. Aku tidak tega." Orang tua Elodie tertawa mendengarnya. Gerald menepuk-nepuk punggung menantinya tersebut. "Kau ini, besar badanmu saja! G

  • Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam   Bab 415. S2. Tak Sabar Menunggu Anak Kita

    Hari demi hari silih berganti. Tak terasa kandungan Elodie sudah memasuki usia sembilan bulan. Bersama suami dan kedua orang tuanya, yang selalu menemaninya, Elodie tidak merasa kesepian sama sekali. Selama hari-hari yang telah ia lalui, Elodie juga mengikuti perkembangan kondisi Rafael—temannya sekaligus orang yang pernah Elodie benci itu. Rafael yang kini sakit keras dan kondisinya yang sudah parah. Elodie duduk diam di sebuah sofa di balkon lantai dua, ia bergeming menatap ke arah pemandangan bunga yang bermekaran di musim semi tahun ini. "Sayang, aku mencarimu ke mana-mana..." Suara Kai terdengar. Elodie menoleh dan gadis itu tersenyum manis. Kai menyerahkan segelas susu pada Elodie. "Ini susunya." "Heem, terima kasih," ucap Elodie sambil menerima segelas susu yang Kai berikan padanya. Kai duduk di samping Elodie, laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap perut Elodie yang kini sudah besar. Kai mengecup perut Elodie dengan lembut. "Kurang beberapa hari lagi, kita akan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status