Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "Seseorang?" Gerald bergumam pelan. Namun, laki-laki itu segera menepis pemikirannya. Ia tidak peduli. Gerald meraih payung berwarna hitam di samping pintu kantor dan berjalan ke arah mobil. Di sana, ia melihat Giselle yang berlari menembus hujan, seolah tidak peduli kalau air hujan itu bisa membuatnya sakit dan demam esok hari. Wanita itu berlari di bawah kilatan petir dan hujan angin yang deras malam ini. 'Bukankah dia takut dengan cahaya kilat dan suara petir?' batin Gerald terheran-heran. Namun, ia berusaha mengabaikannya. Apapun yang dilakukan Giselle bukan urusannya. Mobil yang ditumpangi Gerald lewat di samping Giselle yang tengah berlari menerjang hujan. "Tuan," panggil Sergio pelan, laki-laki itu melirik Giselle dari kaca spion mobil. "Biarkan saja," jawab Gerald. "Dia pantas mendapatkan kehidupan seperti ini, setelah apa yang dia lakukan padaku." Gerald tak ingin berbelas kasih pada wanita yang telah mengkhianatinya. Jangankan peduli, rasa iba pun tidak akan pernah Gerald berikan pada wanita itu! ** Tepat tengah malam Giselle akhirnya sampai di rumah sakit. Tubuhnya basah kuyup karena menerjang hujan, tetapi ia tidak terlalu memusingkan masalah itu karena ia menyimpan pakaian ganti di dalam tasnya. Setelah mengganti pakaian, Giselle berjalan dengan tubuh kedinginan menuju kamar inap Elodie. Suara petir di langit masih menyambar-nyambar, membuat Giselle merasa cemas. Wanita itu terkejut saat melihat Elodie duduk menangis memeluk boneka beruang kecil kesayangannya. "Sayang..." Giselle langsung memeluk tubuh Elodie dengan erat dan menenangkannya. "Mama! Elodie takut suara itu, Mama!" Elodie terisak menangis meremas punggung Giselle dengan tangan mungilnya. Tangis anak itu semakin mengeras. Giselle mendekap erat tubuh Elodie. Ia menutupi tubuh mungil putrinya dengan selimut dan memeluknya dengan hangat. "Sayang, Mama sudah ada di sini, Nak. Elodie tidak perlu takut lagi, Sayang." Giselle mengecupi pucuk kepala Elodie dengan penuh rasa khawatir yang hebat di dadanya. Anak itu menenggelamkan wajahnya di pelukan Giselle. Jemarinya masih mencengkeram erat. Giselle menggendong Elodie, memeluknya seperti bayi dan menepuk-nepuk punggung kecil putrinya. Andai saja ia tidak pulang selarut ini, pasti Elodie tidak akan ketakutan. Giselle tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Elodie yang seolah menyadari Mamanya tengah menangis, mengangkat wajahnya dan mengerjapkan kedua mata beriris hitam miliknya, menatap sang Mama dengan sayu. "Mama menangis?" lirih anak berusia tiga tahun itu dengan satu tangan terulur menyentuh pipi Giselle. "Tidak, Mama tidak menangis. Mama hanya kepikiran dengan Elodie," jawab Giselle. "Maafkan Mama ya, Sayang." "Elodie kangen Mama," lirih Elodie, anak itu mengecupi pipi Giselle dan memeluk lehernya, menyandarkan kepala di pundak Giselle. Hanya bersama Elodie, Giselle merasa nyaman dan tenang seperti ini. "Mama, buah anggur buat Elodie mana?" tanya anak itu menatap tas milik Giselle yang kini berada di lantai. Giselle terkesiap mendengar pertanyaan putrinya. Ia lupa, Elodie meminta buah anggur padanya pagi tadi. "Sayang, Mama pulang terlalu malam hari ini. Jadi toko buahnya sudah tutup. Bagaimana kalau besok pagi Mama belikan buah anggurnya?" tawar Giselle. "Elodie tidak marah, kan?" Anak itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Elodie justru mendusel di pipi Giselle dengan sangat manja. "Iya, Mama, besok pagi saja," jawab anak itu. Elodie menunjuk ke arah ranjangnya. "Elodie mau bobo dipeluk Mama," pinta anak itu. "Baiklah, Sayangku, sekarang Elodie bobo. Mama akan bobo di sini memeluk Elodie," ujar Giselle membaringkan si kecil di atas ranjang. Ia ikut berbaring di samping si kecil. Elodie memeluknya dengan erat dan mendusal dalam pelukan Giselle. “Mama, Papa di mana?” Pertanyaan yang tak disangka itu membuat Giselle terdiam. Ia menatap Elodie yang kini sudah terlelap dengan nyenyak, seolah ucapannya barusan hanyalah racauan saja. Namun, pertanyaan itu membekas di benak Giselle. Sejak Elodie bayi hingga kini, ia tidak pernah bertanya tentang ayahnya. Yang ada di hidupnya hanyalah Giselle. Dialah yang ada di semua peran yang Elodie butuhkan, termasuk sosok ayah. Tapi untuk pertama kalinya, Elodie bertanya tentang sang ayah. Dengan lembut Giselle mengelus pucuk kepala Elodie dan mengecupi kening putri kecilnya. Ia memandangi wajah si kecil yang lebih dominan mirip Gerald. Giselle tersenyum pedih. Ia tahu, Elodie adalah anak yang kuat. Elodie tidak pernah mengeluh sama sekali meskipun dia sakit keras. "Maafkan Mama yang tidak bisa mempertemukan Elodie dengan Papa.”Malam ini Gerald mendatangi kediaman orang tuanya. Sang Mama menghubunginya untuk datang karena mereka ingin membahas hal yang penting. Setelah Gerald sampai di kediaman orang tuanya, ternyata ada Laura di sana. Wanita cantik yang terlihat begitu antusias dengan kedatangan Gerald. "Om, Tante, itu Gerald sudah datang," ujar Laura saat melihat calon suaminya masuk ke dalam rumah megah tersebut. Melihat sang putra berjalan menuju ruang keluarga, Marisa tersenyum pada Gerald yang selalu memasang wajah datar seperti biasanya. Gerald memilih duduk sendiri di sebelah Laura. Dengan wajah lelah dan bosan, Gerald menatap mereka semua. "Ada apa kalian menghubungiku dan memintaku ke sini?" tanyanya. Charles yang memperhatikan ekspresi Gerald terlihat tidak baik-baik saja, laki-laki tua itu berdehem pelan dan tersenyum tipis padanya. "Tidak ada, Rald. Bukankah kau jarang sekali ke rumah Mama dan Papa?" Charles menjawab dengan tenang sambil menyeruput secangkir kopi miliknya. Gerald
Keesokan harinya, Giselle kembali bekerja. Meskipun ruang hatinya terasa begitu hampa dan masih sakit mengingat ucapan Gerald semalam. Giselle datang ke tempat ini karena sebagai bentuk tanggung jawab pada pekerjaannya. Giselle membuka pintu ruangan CEO dan ia berjalan masuk ke dalam sana. Wanita itu terdiam dan termenung diam menatap seisi ruangan tersebut sampai pandangannya jatuh pada nama Gerald yang berada di meja CEO. Raut pucat wajahnya menjadi sangat sendu dan sedih. "Keinginanku untuk pergi dari sini semakin kuat," ucapnya pelan. "Aku ... ingin menjauh darimu, Gerald." Giselle mengembuskan napasnya pelan, wanita itu mengusap pelan wajahnya yang terasa panas. Hingga tiba-tiba pintu ruangan CEO pun terbuka, Giselle sontak menoleh ke belakang di mana Gerald dan Sergio masuk ke dalam ruangan itu. Gerald menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin seperti biasa. Laki-laki itu berjalan melewatinya dan Giselle hanya diam tertunduk tidak menyapanya sedikitpun. 'Dia bersi
Di tempat penitipan anak, Elodie menjadi anak paling terakhir di sana. Semua teman-temannya sudah dijemput oleh orang tuanya. Kini, Elodie ditemani dua pengasuhnya berdiri di dalam rumah menatap ke arah luar jendela dan menatap hujan yang sudah mulai mereda. Sejak sore tadi, Elodie terus rewel, menangis, dan terus mencari Giselle. "Sudah, Sayang ... jangan menangis lagi ya, Nak. Mamanya Elodie pasti datang," bisik Madam Camila mengusap pipi Elodie. Di belakang mereka, ada Madam Willow yang berdiri dengan wajah cemas. "Tidak biasanya Nyonya Giselle terlambat menjemput Elodie sampai pukul sebelas malam begini ... aku khawatir sekali rasanya," gumam wanita itu meremas jemari tangannya. "Iya, Kak. Aku juga begitu," jawab Madam Camila. Elodie menangis lagi. "Mama ... Mamanya Elodie di mana?" lirih anak itu. "Sssttt, sabar ya, Sayang," bisik Madam Willow. Ia langsung menggendong Elodie. Saat Elodie menangis, tiba-tiba saja pintu gerbang penitipan pun terbuka. Di sana, munc
"Ti-tidak, Gerald—ahh—" Napas Giselle tercekat, kedua tangannya yang lolos pun spontan merengkuh punggung laki-laki itu dan menancapkan ujung kukunya di punggung kekar milik Gerald saat laki-laki itu menyatukan tubuh mereka. Napas keduanya menderu-deru dan hangat di sela gerakan seirama yang membuat keduanya bagai melayang. Gerald menundukkan kepalanya menatap wajah Giselle yang kacau, wanita itu menajamkan kedua matanya erat dan air matanya yang tidak berhenti berlinang sejak tadi. Gerald membawa Giselle dalam dekapannya dan memeluk wanita itu dengan posesif hingga tubuh mereka semakin melekat. "Kita sering melakukan ini dulu, Giselle. Berhentilah menangis, aku tidak akan menyakitimu." Suara rendah Gerald terdengar berbisik. Kemarahannya sirna digantikan kelembutan yang penuh damba. Giselle tidak merespon apapun selain mengeratkan pelukannya pada Gerald dan merintih lembut pada setiap sentuhan yang Gerald berikan. "Gerald…." Giselle mencengkeram erat punggung laki-laki it
Giselle berdoa sepanjang hari untuk tidak bertemu dengan Dean lagi. Tetapi doanya tidak terkabul, sore ini justru ia dan Dean berada di dalam satu ruangan meeting. Keberadaan Giselle di sana karena ia menemani Gerald membahas beberapa proyek penting, begitu juga dengan Dean. "Giselle, serahkan ini pada Pak Dean dan minta dia untuk tanda tangan di sini," perintah Gerald menyerahkan sebuah berkas pada Giselle begitu meeting usai. "Baik, Pak." Giselle segera beranjak dari duduknya. Wanita itu berjalan mendekati meja tempat Dean berada. Laki-laki itu sama sekali tidak merespon keberadaan Giselle di sampingnya. "Pak Dean, maaf mengganggu sebentar. Pak Gerald meminta Anda tanda tangan di sini," ujar Giselle menunjukkan berkas itu. Tanpa bertegur sapa ataupun menatapnya, Dean langsung memberikan tanda tangannya. "Terima kasih, Pak," ucap Giselle, tidak mendapat balasan dari Dean. Diam-diam, Gerald memperhatikan mereka berdua. Kerenggangan dan sikap dingin yang Dean tunjukkan p
Hujan kembali turun dengan deras sore ini. Giselle yang baru saja pulang dari kerja, wanita itu mengajak anaknya masuk ke dalam rumah. Elodie sudah memakai baju hangatnya, anak itu tengah bermain sambil duduk di atas ranjang kecil yang berada di depan televisi di dalam ruang keluarga. "Ma, Elodie mau lihat hujan, boleh?" pinta anak itu. "Di lihat dari jendela saja, Sayang. Tidak boleh pergi ke luar, ya," jawab Giselle. "Iya, Mama." Anak itu turun dari atas ranjang, Elodie berdiri di dekat sofa menatap ke arah luar di mana hujan masih turun dengan deras sore ini. Giselle yang tengah sibuk melipat baju-baju kecil milik putrinya, tiba-tiba saja kegiatannya terhenti saat ia mendengar suara bell pintu di depan. "Ma, ada yang datang!" seru Elodie menoleh pada Giselle. "Iya Sayang, Elodie tetap di sini ya, biar Mama yang ke depan," ujarnya. "Heem." Anak itu menganggukkan kepalanya dan mengintip di balik pintu pada Mamanya yang tengah berjalan ke depan. Giselle membuka gord
Sudah beberapa hari berlalu, semenjak Giselle meminta Dean menjauhinya dengan penuh permohonan. Dean pun melakukan itu meskipun ia diam-diam memperhatikan Giselle dari jauh. Tetapi, Dean tidak bisa membohongi hatinya yang hampa. Pagi ini Dean memutuskan menemui Gerald untuk membahas pekerjaan sekaligus ingin bertemu dengan Giselle. Laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu melangkah mendekati pintu kerja ruangan Gerald. Namun, begitu Dean hendak membuka pintu, kegiatannya terhenti saat ia mendengar suara Mama dari sahabatnya di dalam sana. "Kau tahu, Gerald ... Mama selalu memberi peringatan pada Tante Sania agar Dean tidak dekat-dekat dengan Giselle! Mama tidak mau wanita menyedihkan itu memanfaatkan Dean!" Suara Marisa terdengar jelas di telinga Dean, sukses membuatnya tercekat di depan pintu. Rasa penasaran seperti meronta-ronta dalam hati laki-laki dua puluh sembilan tahun itu. "Kau dan Dean itu setara, laki-laki yang berkualitas seperti kalian tidak cocok dengan
Gerald merasa kesal bukan main, ia tidak bisa memastikan dengan jelas siapa wanita yang diikutinya tadi. Apalagi setelah suster melarangnya masuk dan mengatakan kalau Gerald salah orang. Meskipun Gerald sudah mencoba beberapa menit menunggu, tetapi wanita itu belum kunjung keluar hingga mau tidak mau ia pun pergi dari sana dan kembali menemui Laura yang sudah menunggunya sejak pagi tadi. Begitu Gerald sampai di kamar inap Laura, wanita itu pun tersenyum manis menyambutnya. "Sayang, kenapa lama sekali?" tanyanya dengan suara manja. "Hm," jawab Gerald singkat. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan dingin dan raut wajah yang datar. "Semua barang-barangku sudah dibawa oleh ajudan Papa. Sekarang kita—" Ucapan Laura terhenti. Kedua matanya menelisik ekspresi dingin Gerald yang tidak biasa. Sepertinya ada yang membuat calon suaminya itu tampak kesal dan geram. "Kenapa?" tanya Laura. "Apa ada masalah? Atau ... kau keberatan menjemputku?" "Tidak. Ayo cepat kita pulang," ujar G
Hujan deras mengguyur kota Luinz malam ini. Pukul sepuluh malam Giselle keluar dari dalam kamarnya setelah sejak tadi ia menemani Elodie tidur. Giselle berjalan ke arah sofa ruang keluarga. Ia menutup semua gorden dan duduk di sana dengan pencahayaan ruangan yang temaram. Giselle meraih tasnya dan mengambil dompet di dalamnya. "Ada berapa sisa uang tabunganku di bulan ini?" gumamnya lirih. "Apakah cukup untuk biaya cek up Elodie besok?" Perlahan, Giselle membuka dompetnya. Ia mengambil beberapa lembar uang di dalam sana dan mulai menghitungnya dengan perlahan-lahan. Raut wajah Giselle tampak sedikit tenang. "Syukurlah ... setidaknya masih cukup meskipun aku harus jalan kaki setiap hari ke kantor," lirihnya. Wanita itu menatap lembaran kertas admistrasi rumah sakit yang ia kumpulkan. Giselle mengusap wajahnya dan menyandarkan punggungnya di sofa. Dalam keadaan kekurangan seperti saat ini, Giselle merasa hidupnya sangat menyedihkan. Keadaan menekannya dengan kuat. Bagaiman