LOGIN"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya."
Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar. "Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuhi dadanya mendengar isak tangis buah hatinya. "Tunggu sebentar ya, Sayang." Sementara di balik pintu ruangan yang sedikit terbuka, Gerald berdiri di sana setelah ia kembali dari ruangan sekretarisnya. Langkah Gerald terhenti saat ia mendengar Giselle memanggil seseorang dengan sebutan Sayang di telepon. Ia meminta seseorang yang dia panggil Sayang itu untuk menunggunya. Tanpa sadar Gerald meremas kuat gagang pintu yang ia pegang saat ini. Giselle tersentak saat pintu ruangan itu mendadak terbuka lebar. Menyadari keberadaan Gerald di sana, ia segera menutup panggilannya dengan suster yang bertugas menjaga Elodie. Gerald masih berdiri menutup pintu, dan Giselle berjalan lebih dulu mendekatinya. "Pak Gerald, saya ingin mengatakan sesuatu," ujar Giselle dipenuhi rasa ragu di dalam hatinya. Dengan ekspresi dingin dan datar, Gerald menatapnya. "Katakan." "Hari ini saya ingin meminta izin pulang lebih awal," ungkap Giselle. "Ada hal yang harus saya lakukan." "Hal apa sampai kau mengutamakannya dibandingkan pekerjaanmu?" Gerald menatapnya sekilas lalu berlalu begitu saja. Namun, Giselle segera menghadang langkahnya. Wanita cantik dengan balutan blazer abu-abu itu menatapnya penuh permohonan. "I-ini sangat penting, Pak. Hanya hari ini saja, saya berjanji besok saya akan bekerja full time lagi." Iris mata hitam milik Gerald menelisik raut wajah gelisah milik Giselle. Sepenting apa hal itu sampai Giselle begitu bersikeras meminta izinnya? "Kali ini saja, Pak. Saya mohon." Gerald masih memandangnya dengan tatapan dingin dan tajam. Tak tersirat kelembutan di balik tatapan mata laki-laki itu selain kebencian yang sudah mendarah daging. "Memohonlah padaku dengan benar, Giselle," ucap Gerald terdengar seperti perintah yang kejam. Bibir Giselle terkatup rapat menatapnya tak percaya. Seperti dihantam batu keras hatinya kini saat Gerald dengan wajah arogannya meminta Giselle untuk memohon padanya. Kepala wanita itu tertunduk pelan. Demi Elodie, apapun akan Giselle lakukan. Tetapi kini bibirnya terasa gemetar, lidahnya kelu untuk sekadar menata kata-kata. "Kau memohon untuk pulang cepat karena kau ingin menemui seorang pria, bukan?" tanya Gerald maju satu langkah mendekati Giselle. Sontak Giselle mengangkat wajahnya cepat. Ia menggelengkan kepalanya menyangkal pertanyaan Gerald. Gerald memicingkan matanya dengan rahang mengetat saat tidak sepatah kata pun terucap di bibir wanita ini. "Katakan, Giselle ... pria mana yang ingin kau temui malam ini? Dibayar berapa kau untuk menemaninya sampai kau berani meremehkanku?!" desak Gerald dengan terus melangkah, menyudutkan Giselle hingga wanita itu kini tersudut di meja kerja Gerald. Sungguh, perkataan Gerald membuat dada Giselle teramat nyeri. Sehina itukah dirinya di mata mantan suaminya ini? Bisa-bisanya Gerald menganggap Giselle menjual diri pada banyak pria! Tidak. Giselle bukan wanita seperti itu! Giselle lantas menatap Gerald dengan berani. Ia kembali menggelengkan kepalanya kukuh dan tersenyum tipis. "Pak Gerald tidak perlu tahu siapa yang akan saya temui, karena itu semua privasi saya," balas Giselle dengan iris birunya yang bergetar. Namun, keteguhan dalam suaranya membuat Gerald mengetatkan rahang. "Bukan urusan Pak Gerald untuk tahu semua tentang saya saat ini. Karena kita ... kita berdua adalah masa lalu yang sudah bubar, Pak Gerald." Gerald menangkap kata-kata itu begitu angkuh. Kekesalan di hati Gerald semakin tak tertahan. Beraninya wanita ini! "Masa lalu," ucap Gerald lirih, bibirnya menyeringai licik. Alih-alih menjauh, ia justru semakin dekat dan mengunci pergerakan Giselle di meja itu. "Persetan dengan masa lalu, Giselle!" Kedua bola mata Giselle melebar sempurna. "Pak Gerald—aah—" Tubuh Giselle bagai tersengat listrik saat tiba-tiba Gerald menangkup kedua pipinya dan menciumnya dengan paksa dan menuntut. Kedua tangan Giselle berusaha mendorong Gerald, namun laki-laki itu justru semakin memperdalam ciumannya seolah menyalurkan kemarahannya pada Giselle, hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik dalam kendalinya. Gerald terus menciumnya, tak melewatkan sedetik pun untuk sekadar mengambil jeda. Ia baru melepas tautan bibir mereka saat Giselle mulai tersengal. Kening Gerald masih menyentuh kening Giselle, kedua matanya menatap lekat wanita dengan mata terpejam erat dan tubuh bergetar hebat. Gerald menarik pelan tengkuk leher Giselle sampai wanita itu menatapnya dengan tatapan takut. "Dengar ... semua hutangmu padaku, hanya bisa kau lunasi dengan tidur denganku!" ujar Gerald dingin. “Aku ingin melakukannya malam ini juga.” Giselle hendak membantah. Namun belum sempat mengeluarkan suara, Gerald kembali mendekatkan bibirnya di hadapan bibir Giselle. "Dan ingat, jangan harap kau bisa pergi sesuka hatimu, Giselle Marjorie!"Suasana rumah yang biasanya terasa sangat sunyi, kini terasa kembali hidup dengan suara tangisan bayi kembar Aileen dan Aleea. Bahkan Giselle tidak merasa kesepian lagi karena ia telah ditemani oleh dia cucu kembarnya yang menggemaskan. "Ya ampun, Aleea ... kau mengingatkan Oma pada bayinya Mamamu dulu, Sayang," bisik Giselle mengusap bayi perempuan dalam gendongannya. Giselle mengelus lembut kening bayi itu. Sedangkan Aileen berada bersama Elodie dan Kai di ruang keluarga di depan sana. "Mama, apa Opa dan Oma tidak jadi dijemput oleh Papa? Katanya Oma dan Opa ingin melihat si kembar?" tanya Elodie pada Mamanya. Giselle menoleh. "Iya, Sayang. Mungkin nanti malam Opa dan Oma akan ke sini bersama sopir pribadinya," jawab Chloe. "Syukurlah..." Elodie menyerahkan bayi laki-lakinya pada Kai. "Sayang, tolong gendong Aileen sebentar." "Mana," pinta Kai.Laki-laki itu menggendong putranya. Kai begitu bahagia, setiap malam ia selalu berjaga menjaga anak-anaknya. Kai meminta Elodie untu
"Ya ampun, Kak Amara ... lihatlah, cucu perempuan kita sangat mirip dengan Elodie, ya!" Giselle terkekeh gemas menatap bayi mungil dalam gendongan Amara saat ini. Kedua wanita itu sangat heboh sendiri. "Iya, Giselle. Bahkan Aileen juga tidak ada mirip-miripnya dengan Kai!" seru Amara sambil tertawa kesenangan. "Lucunya, cucu Oma, ya ampun!" Satu bayi lagi ada dalam gendongan Elodie saat ini. Dua bayi itu hanya minum susu formula saja. Tetapi bayi-bayi itu sangat sehat dan tangisannya juga sangat keras. Elodie tersenyum mendengar obrolan Mama dan Mama mertuanya pagi ini. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, pagi ini Elodie sudah ada di rumah orang tuanya. Semua keluarga sangat bahagia menyambut kelahiran cucu mereka. Apalagi Giselle dan Gerald. Gerald bahkan tidak menyentuh pekerjaannya sama sekali selama dua hari karena terlalu senangnya dengan kelahiran dua cucunya. "Papa, mau menggendong Aileen?" tawar Elodie saat memperhatikan Gerald yang tampak serius menatap Elodie men
Elodie masih belum sadar pasca operasi. Ia masih terbaring di atas ranjang rumah sakit di dalam ruangan VVIP dan ditemani oleh Gadis cantik itu, kini telah dipanggil Mama. Kai duduk di sebuah kursi tunggal dan terdiam menatapi wajah Elodie sembari menggenggam telapak tangan kanan Elodie. "Sayang, ayo cepat bangun ... anak kita sudah menunggu," bisik Kai, laki-laki itu mengecup punggung tangan Elodie dengan lembut. "Kau akan dipanggil Mama, Elodie." Mengatakan hal itu, tak terasa air mata Kai menetes. Laki-laki itu segera menyekanya dan ia tersenyum tipis. Antara rasa bahagia dan cemasnya. Biasanya, kepada pada pasiennya, Kai akan meminta keluarga pasien untuk bersabar menunggu pasien yang sakit bangun. Tetapi, saat ini Kai berada di posisi itu. Ternyata benar ... sulit sekali untuk merasakan yang namanya sabar bila harus merasakan perasaan secemas ini. "Aileen dan Aleea sudah menunggumu, Sayang," bisik Kai, lagi-lagi ia mengecup punggung tangan Elodie. Pukul enam sore, adalah wa
Hari yang dinanti-nantikan oleh Elodie dan Kai telah tiba. Hari ini menjadi hari kelahiran bayinya. Elodie masih merasa was-was untuk menjalani operasi caesar beberapa jam lagi. Meskipun ini bukan tanggalnya, tetapi sejak beberapa jam yang lalu Elodie merasakan perutnya sangat sakit tidak seperti biasanya. Di dalam sebuah kamar rawat inap, Elodie berbaring di sana ditemani oleh Kai. Sedangkan Giselle dan Gerald berada di luar bersama Martin dan Amara. Elodie memejamkan kedua matanya dan menggenggam erat telapak tangan Kai. "Sayang," panggil Kai pelan. "Hm?" Elodie menyahutinya pelan. "Aku sedang berdoa," jawab gadis itu membuka matanya dan menatap Kai. "Aku tiba-tiba merasa sedikit takut. Tapi perutku juga sangat sakit." Elodie merintih pelan, gadis itu semakin erat dan kuat meremas tangan Kai. "Sabar ya, Sayang..." Kai mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Elodie. "Heem." Elodie mengangguk pelan. Tak lama kemudian, dua orang dokter rekan Kai masuk ke dalam ruangan itu. "B
"Jadwal operasi Caesar Elodie akan dilaksanakan tanggal sepuluh, Ma, Pa." Kai mengatakan hal itu pada Giselle dan Gerald. Setelah dua orang itu menunggu kepulangan Elodie dan Kai dari rumah sakit. Wajah Gerald terlihat sangat khawatir saat mendengar hal itu. Begitu juga Giselle yang kini merangkul Elodie. "Tanggal sepuluh, itu kan kurang beberapa hari lagi, Kai. Kenapa baru bilang sekarang?" Giselle menatap menantunya itu. "Dokter Renata yang memajukan tanggalnya, Ma," jawab Kai. "Apa kau ikut menangani Elodie nanti, Kai?" tanya Gerald sambil menaikkan kedua alisnya. Kai terkekeh dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Tidak, Pa. Bukan aku. Aku tidak tega kalau menangani istriku sendiri." Kai menggeleng. "Lebih baik kita menunggu di luar sana, aku memilih menunggu bersama Mama dan Papa daripada aku harus menemani Elodie di dalam. Aku tidak tega." Orang tua Elodie tertawa mendengarnya. Gerald menepuk-nepuk punggung menantinya tersebut. "Kau ini, besar badanmu saja! G
Hari demi hari silih berganti. Tak terasa kandungan Elodie sudah memasuki usia sembilan bulan. Bersama suami dan kedua orang tuanya, yang selalu menemaninya, Elodie tidak merasa kesepian sama sekali. Selama hari-hari yang telah ia lalui, Elodie juga mengikuti perkembangan kondisi Rafael—temannya sekaligus orang yang pernah Elodie benci itu. Rafael yang kini sakit keras dan kondisinya yang sudah parah. Elodie duduk diam di sebuah sofa di balkon lantai dua, ia bergeming menatap ke arah pemandangan bunga yang bermekaran di musim semi tahun ini. "Sayang, aku mencarimu ke mana-mana..." Suara Kai terdengar. Elodie menoleh dan gadis itu tersenyum manis. Kai menyerahkan segelas susu pada Elodie. "Ini susunya." "Heem, terima kasih," ucap Elodie sambil menerima segelas susu yang Kai berikan padanya. Kai duduk di samping Elodie, laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap perut Elodie yang kini sudah besar. Kai mengecup perut Elodie dengan lembut. "Kurang beberapa hari lagi, kita akan b







