Share

Not Allone
Not Allone
Penulis: Kim-Yn

1 || Awal Yang Suram

Suasana yang begitu mengkhawatirkan, sungguh sangat suram hari ini. Hari yang mungkin tidak bisa di lupakan oleh sang bunda. Bukan mungkin, tapi iya, hari yang benar-benar sangat di bencinya. Hari ini, ia di hadapkan dengan dua situasi, tragedi, dan insiden yang mengukir luka mendalam di hatinya.

Terdengar suara tangisan memenuhi ruangan tersebut. Tangisan yang amat memilukan. Seorang anak laki-laki berlari memeluk ibunya sambil menangis. Namun, tak ada balasan dari sang ibu. Waktu seolah terhenti, perputarannya sangat lambat, seakan merangkak.

"Laurel, sini sama ayah." anak yang di panggil Laurel itupun menatap ayahnya dengan tatapan sendu, ia lantas segera memeluknya, sangat erat. Bocah kecil itu tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi. Ya, karena ia sudah menginjak usia 12 tahun.

"Ayahh, apa yang terjadi sama kak Lenda. Dan bagaimana dengan adikku Yah. Mengapa bunda sangat sedih hari ini?" Pertanyaan bocah itu menyita perhatian banyak dari ayahnya.

"Semua akan baik-baik saja nak. Kamu jangan nangis lagi ya," Laurel menurut pada ucapan ayahnya. Tapi, ada hal yang ia sembunyikan. Fakta bahwa ia melihat semua kejadian itu, insiden yang menimpa keluarganya saat ini.

Suasana yang di rundung duka, seorang bocah kecil datang dengan kepala yang di balut perban. Ia datang dengan berlinang air mata, mungkin karena sakit yang dirasakannya atau ada hal lain dalam benaknya. Indah, sang bunda yang melihat bocah itu lantas menghapirinya.

Plakk..

Suara tamparan yang membuat Laurel berlari pada adiknya itu, begitupun dengan ayahnya.

"Bun..da jangan pukul adik," ucapnya sambil menangis.

"Indah, hentikan. Dia masih anak-anak. Tidak seharusnya kamu menamparnya seperti itu." Indah tidak mengindahkan perkataan suaminya tersebut. Ia menatap tajam bocah kecil yang menangis dalam diam itu, lalu kembali menghampirinya.

Dengan cepat, Indah langsung menampar kembali pipi sang anak yang masih memerah akibat tamparan pertama. Tak di duga, bocah yang masih berusia tiga tahun itu sudah mendapat tampar dari ibunya sendiri.

Plaaaakk..

Tamparan yang lebih keras dari sebelumnya, membuat bocah itu tersungkur di dinding. Rambut panjangnya menutupi wajah polosnya.

"Cukup Indah, kamu benar-benar ibu yang buruk. Tidak seharusnya kamu menamparnya seperti itu. Dia anak kamu, anak kandung kamu!!"

"Mas, dia penyebab semua ini. DIA! Dasar anak pembawa sial!"

"Lauraa ... ayaah, Laura yah. Be ... berdarah." Melihat Laurel menangis memeluk adiknya itu, Iswan segera berlari dan melihat keadaan bocah yang di sebut Laura tersebut. Kondisinya sangat memprihatinkan.

Iswan berlari memanggil dokter untuk menolong buah hati kecilnya itu.

"Kalian nggak pernah mengerti, dia anak pembawa SIAL! Dia bukan anakku, aku membencinya!"

•••

"Tidakkk!" Teriak Laura yang terbangun dari tidurnya.

"Lo kenapa Ra?" Laurel yang memang sedari tadi ada di kamar adiknya itu kaget, dan segera memberi air pada Laura. "Lo pasti mimpi buruk ya?"

"Hm, iya. Gue juga nggak tau, tapi rasanya aneh. Seperti sangat nyata, tapi mimpi itu tidak begitu jelas."

"Udah, hanya mimpi doang."

"Tapi di mimpi itu yang gue ingat, bunda berkata kalau gue anak pembawa sial. Sambil teriak lagi, apa ini kilasan dari ingatan gue yang hilang ya?" Laura berharap mendapat jawaban dari kakaknya itu, namun nihil. Kakaknya malam terdiam dan enggan menjawab.

"Nggak, itu cuma mimpi lo doang, bunga tidur. Yaudah sana mandi, entar telat lagi ke sekolahnya," Laurel mengalihkan topik pembicaraan, sementara Laura hanya mengangguk pasrah.

Setelah bersiap beberapa saat, Laura di antar oleh kakaknya kesekolah. Tidak butuh waktu lama untuknya sampai, berhubung jalanan kota masih terbilang cukup sepi.

"Pagi Ra." Sapa seseorang yang menyejajari langkahnya.

"Pagi juga Kin."

"Emm, tugas matematika lo udah belum?" Tanya Kinan pada Laura, dan benar saja. Kinan tidak mengerjakan tugasnya.

"Udah dong, jangan bilang lo belum ngerjain tugasnya."

"Lo tahu aja sih Ra. Ya jelas belum lah," katanya pada Laura sambil nyengir.

"Ya ampun Kin, bentar lagi bel masuk bunyi lho. Nih, buruan salin." Tanpa membuang waktu lagi, Kinan langsung dengan sigap menyalin pekerjaan sahabatnya itu. Laura yang melihat tingkah Kinan hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Kinan memang selalu seperti itu, ia kalah dalam pelajaran matematika. Tapi, Kinan sangat unggul di mata pelajaran Bahasa Inggris. Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi. Banyak siswa siswi segera memasuki kelasnya.

Saat guru memasuki ruang kelas Laura, semua siswa  segera mengambil buku pelajarannya masing-masing. Pagi hari yang cerah di awali dengan pelajaran matematika, sangat menyebalkan bukan?

"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, selamat pagi semua."

"W*'alaikumussalam, pagi juga Bu," sapa semua siswa yang ada di kelas tersebut.

"Kumpulkan tugas kalian di atas meja saya. Bagi yang tidak mengerjakan, silahkan keluar," perkataan yang sadis itu terucap dari mulut sang guru. Yah, guru paling killer di sekolah tersebut, Adelfin M.pd. Seluruh siswa segera mengumpulkan tugasnya, Laura dan Kinan yang paling lambat. Tentu saja, karena Kinan belum selesai menyalin contekannya. Tapi syukurlah Kinan berhasil menyelesaikannya tepat waktu.

"Oh iya, kita kedatangan siswa baru, masuklah," perintah Bu Adel pada siswa itu, yang ternyata sedari tadi menunggu di balik pintu yang tertutup. Semua siswa takjub melihat siswa baru ini, terlebih para cewek.

"Baiklah, perkenalkan dirimu."

"Assalamu'alaikum semua."

"W*'alaikumussalam." Serentak jawaban seluruh siswa dalam kelas tersebut.

"Hai. Perkenalkan, Rafael Ananda Pratama. Semoga kita bisa berteman baik," ucap siswa yang bernama Rafael itu dengan senyuman yang lebar, membuat para cewek-cewek terhanyut dalam imajinasinya masing-masing. Kecuali Laura, yang tampaknya bodoh amat dengan kehadiran cowok itu.

"Baik Rafael, silahkan duduk di tempat yang tersedia."

Rafael memandang sekitarnya. Dan ternyata hanya ada satu tempat kosong saja, tepat di belakang Laura. Rafael pun segera menuju tempat itu, melewati Laura yang sedari tadi sibuk mengotak-atik bukunya, mungkin menghafal rumus, itu yang di pikiran Rafael saat ini.

"Hey, kenalin gue ...."

"Udah tahu, Rafael kan?" Cetus Laura tanpa memalingkan wajahnya.

"Iya, nama  lo?"

"Laura," jawabnya singkat, bahkan tidak menoleh sedikitpun kepada cowok itu.

Cuek bener, tapi kok menarik perhatian gue ya? Batin Rafael. Sejak awal masuk ke kelas tersebut, siswi yang paling menyita perhatiaannya hanya Laura. Tanpa sadar, ternyata Rafael mengukir senyum indah saat memandang gadis itu. Mungkin, inikah rasanya cinta pada pandangan pertama?

"Rafael!! Kamu tidak ingin duduk?" 

"Eh, i ... iya bu, maaf," ucapnya gugup. Ia mungkin belum tahu kalau yang di hadapannya sekarang adalah guru paling killer di sekolah tersebut. Selama pelajaran berlangsung, semua aman-aman saja. Sangat tenang, bahkan serangga pun enggan bersuara, benar-benar hening. Yang terdengar hanyalah suara guru yang mengajar dan ketukan papan tulis.

Selama tiga jam pelajaran, saking tegangnya para siswa seakan tercekat dalam ruangan itu. Tapi kini berakhir untuk minggu ini, karena bel istirahat telah berbunyi. Sambutan pagi yang menyebalkan, tapi tidak bagi Laura. Ia sangat menekuni bidang itu, entah karena apa tapi Laura benar-benar menyukainya. 

Seluruh siswa mulai beranjak untuk ke kantin, mengisi perut mereka yang sedari tadi sarapan sama rumus, begitupun dengan Laura dan Kinan.

"Laura." Orang yang di panggil tidak menyahut sedikitpun. "Gue boleh ikut kalian nggak? Kan gue siswa baru."

"Eh, boleh banget lah. Ya kan Ra?" Jawab Kinan sambil menyikut lengan Laura. Namun, Laura hanya meresponnya dengan menganggukkan kepalanya. Laura memang suka tertutup kepada orang-orang yang tidak akrab dengannya. Kecuali Kinan, mereka telah lama menjadi sahabat.

Bahkan, saat mereka terpisah kelas sekalipun, mereka berdua akan mendatangi ruang KepSek untuk protes. Dan anehnya, para guru menuruti kemauan mereka, benar-benar sahabat.

Kantinnya sangat ramai, hingga mereka mendapat tempat duduk di pojok. Dengan segera Laura, Kinan, dan Rafael memesan makanan masing-masing.

"Oh iya, nama lo?"

"Gue? Gue Kinan, sahabatnya Laura." Jawabnya dengan mengukir senyum yang lebar. Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk pundak Kinan pelan, tapi itu berhasil membuatnya kaget.

"Halo beb."

"Issh, bisa nggak sih Bar, jangan ngagetin orang," decih Kinan kesal pada cowok yang bernama Akbar itu.

"Maaf lah Kin, masa kek gitu aja kaget sih." Akbar hanya tertawa melihat tingkah Kinan yang baginya begitu lucu. "Eh, halo bro. Kenalin, gue Akbar. Pacarnya Kinan, jangan coba-coba rebut ya. Lu kan sekelas ama dia."

"Gua Rafael. Tenang aja, nggak ada yang bakalan ngerebut pacar lo. Aman bro," ucap Rafael sambil menepuk-nepuk pundak Akbar. Mereka berempat duduk di satu meja yang sama, dan Akbar juga sekalian memesan makanan.

"Tapi kok lo tahu kalau gue sekelas ama Kinan?" Tanya Rafael penasaran.

"Ya di sekolah ini, namanya siswa baru apalagi cowok cakap kek lo. Pasti cepat tersebar lah, biasa bro, cewek-cewek cepet banget nyebarin kalau soal cowok cakap," ucapnya pada Rafael yang ternyata mengundang tatapan sinis dari Kinan dan Laura.

"Upsst, maaf. Gue tarik kembali perkataan gue tadi," kata Akbar sambil menelan salivanya saat mendapat tatapan tajam dari dua cewek di depannya ini. Rafael yang melihat hal itu ingin tertawa, tapi ia menahannya jika tidak ingin mendapat masalah dengan dua orang cewek ini.

Makanan yang mereka pesan akhirnya datang, tidak ada topik yang serius.

Mereka menghabiskan makanan masing-masing dengan bercakap-cakap ringan. Selama di kantin, Laura yang paling banyak diam. Bisa jadi, ia risih dengan kehadiran Rafael yang masih di anggapnya orang asing itu.

"Baby, gue balik kelas dulu ya."

"Ih, apaan sih lo. Gak usah alayy," kata Kinan sambil memukul punggung pacarnya itu. Sementara Akbar, hanya tertawa tidak jelas menerima perlakuan pacarnya. Perhatian Rafael tersita pada Laura yang tampak mengukir senyum saat melihat kejadian tersebut. Entah mengapa, Rafael tampak sangat nyaman menatap Laura seperti ini.

"Lo udah punya pacar belum Ra?" Pertanyaan yang tiba-tiba ia lontarkan menarik perhatian Kinan. Pasalnya, mereka baru beberapa jam lalu bertemu. Dan sangat tidak mungkin jika Rafael sudah memiliki perasaan pada Laura.

"Jangan bilang lo naksir sama Laura," Kinan menyelidik sudut wajah Rafael. Mencari-cari apakah benar Rafael menyukai sahabatnya itu.

"Ngapain lo nanya? Bukan urusan lo!"

"Ya gue hanya penasaran aja. Gitu amat lo jawabnya, sadis."

Tanpa menghiraukan apa yang di katakan Rafael padanya, Laura beranjak dan ingin kembali ke kelasnya. Begitupun dengan Akbar, yang sudah berada di selasar terpisah menuju kelasnya. Rafael mendekati Kinan yang juga tengah bergegas kembali ke kelas.

"Kinan."

"Ya? Ada apa?" Tanya Kinan sambil menengok ke arah suara yang memanggilnya tadi.

"Laura memang seperti itu ya? Sikapnya dingin banget, gue jadi takut di dekatnya."

"Ha? Lo takut? Beneran?" Tanya Kinan seakan meledek Rafael.

"Dia memang seperti itu, tapi hanya pada orang asing dan orang yang tidak akrab dengannya. Tapi dia orangnya baik kok, lembut. Cuman lo perlu bersabar aja, biar dia nggak bersikap dingin lagi ke lo. Ya intinya, kalo lo nggak mau dia bersikap dingin, lo harus akrab dengannya. Yah sebagai seorang teman."

Rafael mengangguk paham. Wajar saja jika orang tampak lebih misterius terhadap orang baru. Itu juga sikap mutlak manusia, bukan.

"Menarik," gumam Rafael yang masih bisa terdengar oleh Kinan.

"Lo suka?"

"Terlalu dini untuk bilang suka, gue jalanin aja dulu."

Rafael tertawa renyah sembari menatap punggung Laura yang sudah berjalan menjauhi keduanya. Ini kali pertama bagi Rafael merasa tertarik dengan seorang cewek yang bahkan baru di temuinya beberapa jam yang lalu.

"Woy!" Kinan menepuk kasar punggung Rafael, "mau balik kelas kagak?"

"I-iya iya, bikin kaget aja."

Mereka berjalan menyusul Laura yang sudah terpisah beberapa meteri di depan. Saatnya kembali bergelut dengan mata pelajaran di sekolah itu.

✿✿✿

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status