Pelajaran selanjutnya segera di mulai, para siswa kembali sibuk mengotak-atik buku pelajaran masing-masing, dan sistem belajar mengajar kembali berlangsung. Setelah melewati hari yang melelahkan, akhirnya saat-saat yang selalu di nantikan para siswa pun tiba.
Saatnya pulang, karena bel pertanda pulang telah di bunyikan. Seluruh siswa bergegas mengatur barang-barang mereka dan keluar menuju rumah masing-masing.Seperti biasa, Laura di jemput oleh kakaknya, Laurel. Tapi mungkin itu hal baru bagi Rafael. Ia berpikir bahwa itu pacarnya Laura, hal tersebut membuat hatinya sedikit sakit. Entah karena apa, tapi tampaknya yang di katakan Kinan memang benar, ia mempunyai perasaan pada Laura sejak pertama kali bertemu."Ra, pulang bareng gue mau nggak?""Ekhemm, cie cie." Ejek Kinan sambil menyikut perut Laura. Kinan tertawa melihat ekspresi datar yang Laura tunjukkan."Gue selalu di jemput.""Siapa?" Tanya Rafael penasaran."Bukan urusan lo.""Ya udah, Ra. Gue duluan ya, Akbar udah nungguin gue di depan tuh.""Iya, hati-hati Kin." Setelah membereskan barang-barangnya, ia juga membereskan lokernya, menatanya dengan rapi."Ra, kalo gitu gue antar sampai depan gerbang mau nggak?""Serah lo ya. Lakuin apa yang lo suka," jawabnya sambil berjalan santai menuju gerbang.Sabar Raf, lo hanya terus sabar hadapin cewek super cuek kek gini, batinnya dalam hati. Ia menemani Laura berjalan santai sampai ke depan gerbang. Selama itu, ia terus membuat Laura merasa nyaman di sampingnya dengan berbincang-bincang ringan. Ya, walaupun di jawab dengan seadanya oleh Laura, tidak panjang dan juga tidak begitu singkat.Kenapa nih cowok, kayaknya kepengen banget dekat ma gue. Baiklah, nggak apa-apa, kita lihat sampai mana ia bertahan dengan sikap ini, monolog Laura dalam hatinya. Sampainya di gerbang sekolah, nampak seseorang dengan mobil sedang melambaikan tangannya ke arah Laura.Ya, itu Laurel. Ia memang selalu menjemput adik kesayangannya di depan gerbang, menjaganya bagai princess. Begitulah Laurel. Bahkan ia sampai meminta izin kepada dosennya jika ada mata kuliah di jam pulang Laura. Karena Laurel mahasiswa yang pandai dan baik, dosen selalu mengizinkan apapun yang hendak dilakukannya, selagi itu dalam hal positif.Laura membalas lambaian tangan dari kakaknya. "Thank's Raf.""Yes, with pleasure." kata-kata singkat Laura mampu mengukir senyum di wajahnya. Namun, Rafael tampak penasaran dengan sosok yang menjemput Laura. Lebih lagi, ia melihat Laura menghambur ke dalam pelukan cowok itu. Setelah melihat Laura masuk dan pergi bersama cowok itu, Rafael pun segera beranjak dari tempatnya menuju tempat mobilnya terparkir rapi."Siapa cowok tadi?" Tanya Laurel pada adiknya."Teman, dia siswa baru di kelas.""Yakin? Bukan pacar?" Laurel kembali bertanya seakan menggoda adiknya itu. Namun yang ia dapat hanya tatapan tajam dari Laura. Melihat tatapan tajam itu, Laurel hanya tertawa terbahak-bahak yang membuat Laura makin kesal."Kakakku yang menyebalkan, sebaiknya lo fokus menyetir sebelum kita nabrak pohon nanti.""Siap bu negara," sahutnya sambil mengangkat tangannya seakan memberi hormat. Begitulah keseharian Laura, selalu di jemput oleh kakak kesayangannya yang membuatnya sangat bersyukur. Setidaknya, selalu ada yang selalu mendukungnya. Mobil Laurel berhenti di pekarangan rumah mereka."Lo nggak turun kak?""Gue masih ada mata kuliah siang ini. Sana turun, jangan lupa makan siangnya," ucap Laurel sambil memandangi layar ponselnya, menampilkan jadwal kuliahnya yang akan di mulai 20 menit lagi."Kalau lo ada jadwal kuliah, nggak perlu jemput gue. Kan bisa pesan taksi online.""Nggak apa-apa, gue suka jemput lo. Pokoknya lo nggak boleh pulang pakai taksi, harus gue yang jemput.""Selalu aja gitu, gue kan udah gede," ucapnya sambil pura-pura bersikap seperti anak kecil yang merajuk.Melihat itu, Laurel gemes dengan tingkah adiknya, ia mengacak poni Laura sambil berkata, "bagi gue, lo tetap anak kecil yang harus selalu gue jaga."Laura tersenyum lebar mendengar kata-kata kakaknya itu. Sedari kecil, Laurel yang selalu ada untuknya dalam situasi apapun."Lo mau turun atau ikut gue kuliah Ra? Senyum mulu dari tadi." Celetuk Laurel yang membuat adiknya melupakan senyum yang telah ia ukir barusan."Ya udah, gue masuk nih. Hati-hati di jalan kak, jangan ngebut-ngebut." Pesan Laura pada Laurel yang di jawab dengan anggukan.Laura bergegas masuk ke dalam rumahnya, ia mengintip dari jendela dan yang ia dapati kedua orang tuanya sedang duduk di ruang tamu, berbincang-bincang sambil tertawa. Tidak mau merusak suasana, ia masuk melalui pintu belakang."Eh, non bikin Bibi kaget aja.""Ehee, maafin Laura ya Bik. Bibik sampai kaget.""Enggak apa-apa kok non, sini masuk." Tanpa menunggu lama, Laura segera masuk dan langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua."Eh, non mau kemana? Makan siang dulu," kata Bibi yang bernama Mia itu. Bik Mia adalah pembantu di rumah Laura, bahkan sudah di anggap bagian dari keluarga Alibasyah. Sudah lama Bik Mia bekerja sebagai pembantu di rumah itu, karena Bik Mia juga hidup sebatang kara."Ayah ma bunda udah makan belum?""Udah non.""Aku akan makan sebentar lagi, aku mau mandi dulu Bik," ucapnya dan berlalu pergi.Bik Mia kembali ke dapur untuk mempersiapkan makan siang Laura. Andai nak, kamu bisa makan bareng orang tua kamu. Pasti rasanya sangat bahagia, tapi sayang semuanya tidak pernah terjadi. Bibik harap, kamu bisa bertahan sedikit lebih lama, batin Bik Mia. Tanpa sadar, air matanya menetes. Dan dengan cepat ia menghapusnya tanpa jejak, dan kembali mengukir senyum di wajahnya.Setelah selesai melaksanakan ritual mandinya, Laura bergegas turun berniat untuk makan siang karena ia memang sudah merasa lapar. Ia di sambut dengan hangat oleh Bik Mia di meja makan, menemani Laura makan. Kalau bukan ia, siapa lagi yang akan menemani Laura makan selain dirinya."Kamu udah tumbuh remaja ya sekarang," kata Bik Mia sambil mengusap kepala lembut kepala Laura, seakan menyalurkan kasih sayang."Ya iyalah Bik. Masa aku kecil mulu, kan gak mungkin."Bin Mia hanya tertawa kecil mendengar jawaban lucu anak majikannya itu. Laura sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri, begitupun Laura. Sejak kecil, Bik Mia dan Laurel yang selalu menjaga Laura, membelanya, dan memberikan kasih sayang yang seharusnya ia dapat langsung dari orang tuanya. Laura kehilangan ingatannya secara permanen, ia tidak mengingat apa yang terjadi di masa kecilnya. Laura bahkan tidak tahu, apa yang membuat ibunya sangat membencinya. Sementara ayahnya, hanya diam dan tak bisa berbuat apa-apa.Laura menyelesaikan makan siangnya dan kembali ke kamar. Dan seperti biasa, ia akan menghabiskan waktunya di kamar, membaca, belajar, dan hal lainnya. Seperti biasanya juga, Bik Mia selalu membawakan secangkir susu putih kesukaan LauraTok ... tok ... tokTidak seperti biasanya, Laura tidak menjawab ataupun membuka pintu. Bik Mia tetap mengetuk pintu kamar Laura, tapi tetap tidak ada jawaban. Hingga ia langsung membuka pintu kamar itu.Lenggang dan gelap, itu kondisi kamar yang bernuansa biru. Bik Mia meletakkan nampan yang berisi susu di meja belajar Laura, dan segera mencari saklar lampu. Tapi setelah lampu di nyalakan, Bik Mia melihat Laura yang terkapar di lantai dekat ranjang. Sontak ia kaget dan menghampiri Laura."Non, non bangun non." Bik Mia menggoyang-goyangkan badan Laura, namun tidak ada respon apapun. Hingga Bik Mia membalikkan badan Laura, ia terkejut karena Laura ternyata pingsan saat mimisan. Bik Mia berdiri dan berusaha mencari minyak aromaterapi untuk membuat Laura sadar."Non, bangunn non. Kamu kenapa?" sambil meletakkan minyak aromaterapi di hidungnya."Bik," Laura sadar dari pingsannya dan segera bangun membersihkan wajahnya."Hati-hati non. Non nggak apa-apa?""Aku baik-baik saja, Bik. Nggak perlu khawatir," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Jangan beri tahu sama kak Laurel ya Bik.""Tapi non ....""Aku mohon, jangan beri tahu kakak.""I ... iya baik non. Tapi kalau non merasa kurang sehat, non bisa bilang Bibi ya." Laura hanya mengangguk dan tersenyum. Andai ayah dan bunda perhatian begini padaku, batinnya.✿✿✿"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken