Theo memalingkan wajah fokus ke depan. Tak dihiraukan darah yang mulai merembes. Justru lengan terlukanya dipaksa bergerak meraih ponsel di saku jaket. Theo butuh pengantar yang akan membawanya menuju sungai, di mana mobil aneh itu pernah bersinggah, daerah Sungai Humber.
Motor melesat cepat mengarungi sepanjang traffic kota. Theo berbelok sesuai arahan dari ponsel menuju tempat yang akan memberinya satu kenyataan. Dia berhenti di sekitar lapangan kecil.Perairan sungai sejenak menyita perhatianya. Theo terus menatap sekitar, tidak ada apa pun yang didapat di daratan. Dia turun dan perlahan berjalan menelusuri jembatan yang menarik sisi penasaran.Langkah Theo terhenti begitu matanya tanpa sengaja kembali mendapat jejak – jejak darah. Terus diikuti rembesan itu sampai mengantarnya pada pinggiran jembatan. Sedikit curiga, dia menatap hamparan sungai dengan saksama. Jejak darah itu hilang di titik yang tidak seharusnya, pikir Theo heran.Merasa tak bisa dilewatkan. Dia mulAku terlalu halu🤦🏻
“F*ck!” umpatnya keras. Cyber war!Ip address-nya diserang. Seseorang ntah dari antah berantah berusaha meretas sistem perangkat lunak milik Theo. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jemari Theo bergerak cepat melakukan serangan balik. Entry – entry data yang nyaris dicuri, ditahan kembali.Theo bergegas membuat keamanan baru untuk melindungi sistem dan memalsukan alamat IP di laptop. Siapa pun orang yang sedang mengajaknya perang, akan tahu di mana keberadaan Theo sekarang jika dia tidak bertindak menyembunyikan IP tersebut.Theo menutup laptop usai mengamankan hal – hal penting dari peretas luar, ponselnya juga ikut dimatikan agar tak menjadi korban. Dia segera menghampiri Rose, memperhatikan dengan saksama tubuh yang pernah dijamah. Mereka harus segera pergi sebelum sesuatu mungkin terjadi.Otaknya mulai berpikir keras. Bagaimana cara membawa Rose tanpa melepas infus di tangan wanita itu.Memapah.Itu pilihan yang terlintas di kepalanya.Theo membangunkan separuh tubuh Rose pela
Seperti mawar dipaksa tandus durinya. Biarkan aku berdenyut di nadimu sementara, akan kupersilakan kau berdetak di jantungku selamanya.-Author________________________Mata Rose perlahan mengerjap merasakan sentuhan tiba – tiba di ceruk leher. Tubuh terasa lemah, membuatnya tak bisa bergerak leluasa. Hanya surai hitam pekat yang bisa dia lihat dari ekor mata saat sedikit berpaling. Ada apa?Rose berusaha mencerna situasi. Ingatannya tertarik pada kejadian sebelum pandangannya menggelap. Dia pikir dorongan Bouldog menjatuhkannya ke permukaan sungai adalah hal terakhir yang bisa dilihat. Tapi ternyata tekanan tubuh dan cipratan air mensinyalir kesadaran Rose tetap bertahan. Di antara rasa sakit, Rose membiarkan tubuhnya dibawa oleh arus. Dia ingat penggalan kalimat dari Bibi Rosita, seseorang yang bisa berenang tubuhnya akan tetap mengapung. Meski ntah ke mana aliran sungai akan membawanya berlabuh, Rose hanya memfokuskan pandangan menatap langit yang membentang luas
“Aku tidak mau!”Sudah Theo duga. Dia tersenyum sinis, tak mau memusingkan penolakan Rose. Dicengkram agak kasar rahang si pembangkang yang ada di bawahnya. Sebelah tangan lainnya merambat ke bawah, dari bongkahan dada menuju bagian paling sensitif. Theo bisa merasakan tubuh Rose memberi respon kaget saat salah satu jarinya masuk ke dalam sana.“Memohonlah. Aku akan membawamu terbang.”Seringai penuh kemenangan mengambil alih melihat reaksi tertahan Rose. Theo terus melancarkan aksi, sampai dia bisa merasakan tangan Rose ikut terulur berusaha mencegah tindakannya lebih lanjut.“Aku mohon....”Lirihan Rose menambah kesan menyenangkan. Theo semakin gencar, diikuti wajah yang perlahan menunduk.“Aku mohon lepaskan....”Theo berdecak. Susah sekali menaklukkan Rose agar mau melakukan percintaan panas bersama. Dia jadi berpikir Rose wanita yang merasa dirinya mahal. Tidak. Pelacur tetap rendah di mata Theo.“Tolong jangan sentuh aku.”Tolong jangan sentuh aku ....Gerakan Theo terhenti deng
“Sudah sampai, Nona.” “Terima kasih. Aku bisa sendiri.”Rose menatap ke samping memperhatikan mata memejam itu sebentar. Kemudian dia beralih membuka pintu mobil, pelan – pelan membawa tubuhnya keluar.“Kau boleh pergi bersama atasanmu, Lion.”“Saya akan menunggu, Nona.”Lion tahu betul seperti apa reaksi Theo mengetahui Rose dibiarkan bebas begitu saja. Wajahnya bisa menjadi korban ledakan amarah sampai hal itu terjadi.“Mobilku ada di sini, tidak perlu menunggu apalagi mengantarku sampai ke apartement,” tutur Rose, dia tersenyum pada Lion dan mengakhiri percakapan mereka dengan menjauh. Langkahnya pasti mendekati gedung bar yang sepertinya sedang mengalami masalah, beberapa orang terlihat berkumpul. Rose menyipit, mendapati Aiden berdiri sebagai seorang pemimpin.“Ada apa ini, Aiden?” tanya Rose saat tanpa sengaja melihat Frank dan beberapa rekan kerja lainnya sedang dihukum.“Kemarin seorang pria membuat kekacauan di sini dan mereka semua tidak becus meng
Sayup – sayup derap kaki menggema di tengah keheningan. Theo memasuki bar dengan meninggalkan kekacauan yang dia ciptakan di luar. Semua orang dibuat kalang kabut, sementara dirinya hanya fokus melangkah ke depan. Bukan hal baru dia tahu di mana letak ruang ganti Rose. Penguntit garis keras sepertinya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan saat Rose membuka seluruh pakaian, sudah pernah Theo saksikan sewaktu dia datang pertama kali dan mencari tahu di mana keberadaan Rose—sebelum memasuki kamar, menunggu layaknya klien sungguhan.Sorot matanya menajam menatap pintu tidak tertutup sempurna itu. Langkah Theo semakin cepat, sudah tak sabar ingin memberi peringatan. Bibirnya menipis sesaat menyadari Rose duduk menelungkupkan kepala di atas meja rias.Rose ingin menghindar, pikirnya dalam hati.“Berani – beraninya kau mengatakan hal memalukan itu pada atasan bodohmu.” Ditarik surai pirang Rose secara kasar dalam gumpalan tangan. Kepala mendongak dan mata memejam itu menyapu bersih a
“Kenapa buru – buru, aku belum selesai.”Rose menatap seringai kejam itu waspada. Tubuhnya semakin didekap erat, menutup diri dari jangkauan tangan besar.“Kita bisa melakukannya sekali lagi. Aku masih belum lupa bagaimana lihainya lidahmu membelitku.” Wajah Rose memerah padam akan kalimat memalukan terucap dari bibir panas dan berbisah itu. Matanya bergerak liar mencari cara terbebas dari kurungan antara dua lengan yang baru saja mengetat di kepala sofa.“Ayo.”Rose menggeleng pasti. Jelas dia menolak ajakan lugas Theo. Kalau bukan karena terpancing, Rose tidak mungkin membalas seperti sebelumnya.“Aku tidak menerima penolakan, Sugar. Atau kau mau Travis menjadi korban? Dia sudah mengacaukan kesenanganku.”Diam – diam tangan Rose terkepal mendengar pernyataan Theo. Dia tidak lemah! Pria itu tidak bisa mengancam dengan melibatkan nama dokter, yang sudah membantu. Travis tidak memiliki urusan apa pun atas penentangan Rose.“Jangan membiasakan diri mengorbanka
I didn’t know that you were the person I've been looking for.- Roseline Olesya________________________ “Mau ke mana, Nona? Saya sudah memindahkan tas Anda beserta isinya ke dalam kamar.”Sial! Rose lupa dengan barang – barang penting miliknya. Dia menilik tajam pada Lion, bisa – bisanya pria itu berbalik dan mendapatinya ingin melarikan diri.“Tuan orangnya memang begitu. Asal Anda menurut, semua akan aman, Nona.” Lion menjelaskan, sedikit menambah bumbu kebohongan pada ucapannya. Dia cukup sering mendapati Rose membantah. Tapi tidak seharusnya Theo terpancing menyakiti Rose secara fisik. Selama ini Lion tahu sang majikan bukan pria yang ringan tangan terhadap seorang wanita. “Ayo, Nona,” lanjutnya lagi.Rose memalingkan wajah merasa enggan. Demikian juga dia tak punya pilihan menolak. Kakinya terpaksa mengikuti langkah Lion di depan. Ponsel Rose penting, selain nomor beberapa klien tersimpan di sana, di dalamnya juga terancang satu perangkat lunak yang akan menghubungkan Rose pada
“Sialan!” umpatnya kesal.Theo melesat cepat menyusul keberadaan Rose. Wanita itu terlalu sibuk mengangkat ponsel tinggi – tinggi, hingga tak menyadari Theo sudah berdiri di depannya.Postur tubuh yang jauh berbeda memudahkan Theo mengambil alih benda pipih itu dari tangan Rose. Dia tersenyum sinis—rasa penasaran beradu, memaksanya mencari tahu apa yang sedang Rose kerjakan.“Kembalikan,” ucap Rose pelan. Gerakan tak terduga Theo nyaris merosotkan jantungnya. Bagaimana saat tersentak tadi, Rose tidak bisa menyeimbangkan diri? Masalah baru akan bertambah padat!“Apa ponsel murahanmu begitu penting?”Hening. Tak ada sahutan berbobot untuk pertanyaan bernada ledekan. Hanya berusaha meraih kembali barang yang direnggut paksa. Rose berjinjit, salah satu tangannya terulur panjang, berjuang menurunkan lengan Theo yang menjulang ke atas. Aktivitas di dalam ponselnya tidak boleh dicium pihak luar. Rose tidak bisa membiarkan pria itu tahu apa yang selama ini dia lakukan.Mas