“Kau tidak pantas hidup!” umpat Bouldog tak terima. Dia gelap mata, kemudian melangkah cepat menuju mesin berbahaya. Sekali tekan, bunyi alat beroperasi memenuhi seisi ruangan.
Saat itu juga gas tak berbau dan tak berwarna berlomba – lomba masuk ke tabung sasaran. Atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan atom oksigen terus menyerbu seseorang di dalam sana.Tidak ada yang bisa Theo lakukan selain menahan diri dari helaan napas. Dia menunduk dengan tangan berpegang pada dinding kaca. Mati kehabisan pasokan udara segar atau mati keracunan, keduanya merupakan pilihan sulit. Bagaimana jika Bouldog tak mau menghentikan laju mesin yang terus menyalurkan gas – gas berisiko?Theo benar – benar tak sanggup lagi menahan rasa sesak saat tak ada sedikit pun udara yang menyapa rongga dada. Nyaris empat menit berlalu, dia masih mencoba menahan diri dari keringnya paru – paru.Damn it! Persetan dengan“Lain kali jangan seperti ini lagi Oracle. Jangan mau menerima pemberian barang dari orang yang tidak dikenal. Apa kau mengerti?” tanya Rose tegas. Dia sudah mewanti Oracle akan mengalami trauma dari kejadian penculikan itu. Syukur saat terbangun, Oracle tidak mengingat apa pun, termasuk wajah pria yang memancingnya dengan makanan padat yang dibekukan.“Mengerti, Mommy. Maaf.” Oracle menunduk takut, tidak berani menatap wajah Rose. Anak seperti Oracle mana tahan kalau dirayu dengan es krim, makanan kesukaannya.“Mommy maafkan. Lain kali Oracle harus lebih pintar lagi, okay?”“Okay, Mommy.”“Good boy.” Rose tersenyum sembari mengusap kepala Oracle pelan. Sesekali dia berpaling ke arah blankar, tempat Theo terbaring begitu betah memejamkan mata.Memang kesadaran Theo hilang tidak lama setelah ambulan datang.Sekarang mereka berada di ruang IGD, di mana gejala yang ada, ruam merah cerah di kulit dan dari hasil analisa pemeriksaan gas darah. Dokter mengatak
“Hei.”Suara lembut itu membuat Theo beku. Untuk pertama kalinya Rose memberi sapaan hangat. Selama ini tidak pernah – pernah. Rose kerasukan setan apa?Sembari memperhatikan wajah memesona Rose, diam – diam Theo menggerakkan tangan ke atas. Dia melepas masker oksigen di wajah, merasa tidak nyaman terutama saat hendak bicara.“Apa yang kau lakukan? Dokter bilang kau butuh oksigen minimal sampai paru – parumu bersih.” Rose memasang kembali masker oksigen seperti seharusnya. Tatapan Rose tajam saat Theo masih ingin menjauhkan alat penyambung kehidupan tersebut.“Ponselku.” Suara Theo tersaring, meski apa yang dikatakan masih cukup terdengar. Sementara di sampingnya Rose sudah menyodorkan gawai yang Theo cari. “Maaf, pakai tangan kiri,” ucap Theo usai berhasil melepas ulang masker oksigen dan menyambut ponsel di tangan Rose.Rose memperhatikan apa yang akan Theo lakukan. “Sebaiknuya kau menjauhkan benda canggih itu saat kondisimu sendiri sedang tidak mendukung.”Penuturan Rose tidak dire
“Aku butuh bantuanmu, Rose.”Theo mengedarkan pandangan ke segala arah, memperhatikan setiap objek hingga sorot abu – abunya terhenti tepat menatap daun pintu.“Bantuan?”Pertanyaan Rose memecah fokus Theo yang terforsir penuh. Sambil berpikir, Theo menelusuri dalam – dalam wajah cantik nan manis di depannya. Satu dorongan muncul memenuhi isi kepala.Theo meneguk ludah susah payah. Masih menatap wajah memesona Rose. Hatinya saat ini sedang dikerubungi perasaan ragu dan mau. Apa mungkin Rose akan mengiyakan? Tanyanya dalam hati.“Aku menunggumu. Bantuan apa yang kau maksud?”“Bantu aku dengan datangi Sean, dekati dia. Cari tahu kapan dia akan menyebarkan video sialan itu. Aku akan urus sisanya.”“Tapi—tunggu dulu. Tidak usah. Tidak jadi. Aku bisa sendiri.” Boro – boro merasa Rose akan berhasil, yang Theo pikirkan hanya keakraban Sean dan Rose nanti. Sudah jadi pemisah, tidak mungkin Theo menjadi pemersatu antar dua rasa. Lagipula, kalau cuma menyebar
“Aku hitung satu sampai 10, kalau tidak masuk kau akan kutinggalkan,” ancam Rose penuh perhitungan.“Sabar, bawel!”Gerutuan singkat terdengar dari luar. Setiap gerakan Theo dan reaksi lega yang pria itu tunjukkan tak lepas dari pandangan Rose. Sempat terukir senyum teramat tipis di bibirnya, meski itu tidak berlangsung lama. Sisi manis Rose hilang bersama tatapan fokus ke depan saat Theo terburu - buru membuka pintu mobil.Rose meremas setir setelah mendengar bunyi gerakan menutup pintu dan terasa bertambahnya satu penumpang. Dari ekor mata, Rose sadar Theo sedang memperhatikannya.“Seseorang yang katanya tidak peduli, tiba – tiba memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya,” celetuk Theo usai memasang asal sabuk pengaman.Mobil dijalankan dengan tenang. “Aku hanya kasihan. Kau dan kemewahanmu mana terbiasa berjalan kaki.” Rose menambah kecepatan, sedikit tidak tahan untuk tidak berpaling menatap Theo di samping. Sesaat sorot mereka bersirobok, tidak lama kemudian Rose mengakhiri sesuatu
“Kita sudah sepakat. Sekarang, sebagai ikrarnya aku mau kau menciumku.” Theo menarik jemari Rose, mempertemukan sisi halus itu bersama bibirnya yang tipis di bagian atas dan sedikit tebal di bagian bawah—merupakan pemanis alami. Dia menatap Rose begitu dalam dengan senyum nakal tersemat di wajah “Ayo, Rose. Lakukan. Anggap saja ini simulasi atau latihan sebagai seorang sugar baby. Nanti, aku akan sering memintamu menciumku,” lanjut Theo sembari mengecup masing – masing pangkal ruas jari – jari Rose. Dia sudah memasang telinga. Siap mendengar protes keluar dari bibir penuh dan menggoda.“Aku tidak akan menciummu sebelum taruhan itu selesai. Bilang saja kau modus dan sudah tidak sabar. Lagipula ini bukan ujian nasional, jadi untuk apa simulasi,” timpal Rose jengkel. “Menjauh dariku. Tubuhmu berat.” Dada bidang di depannya terus ditekan hingga menyisakan beberapa inci ruang. Rose menarik napas sebanyak mungkin menghindari tatapan yang terus memerangkapnya tanpa henti.“Menyingkirlah. Orac
Kembar....Theo mengangkat kepala cepat. Rautnya masih beku seperti kutub di utara. Cara dia menelusuri wajah Rose pun sangat menohok. Theo tidak mengatakan apa – apa, terlihat sulit menelan ludah sendiri.Dia mengerjap. Kemudian tatapan itu menjadi sedikit lebih manusiawi. “Lupakan apa yang sudah kau dengar,” katanya.Hanya dalam sekejap Theo bisa berubah, meskipun jejak amarah masih membayang dalam dirinya.Tapi apa yang Theo pikirkan? Meminta Rose melupakan tumpukan puzzle darinya merupakan hal konyol. Sudah terlanjur menjadi teka – teki, mana mungkin Rose mengabaikan informasi yang didapat.“Aku tidak bisa mengabaikan pernyataanmu. Kau belum menjawabku.” Rose menyilang kedua lengannya di depan dada sebagai pembatas saat Theo semakin menunduk.“Apa yang ingin kau dengar?”Bisikan dingin sekaligus sensual dan jilatan basah merambat menyadarkan Rose untuk memasang pertahanan.“Aku ya
Rose menyudahi euforianya dengan menatap daun pintu. Theo sudah pergi. Seharusnya dia juga melakukan hal yang sama. Sesaat Rose menatap pakaian yang tergeletak asal di atas ranjang karena ulah seseorang. Diraih, kemudian menutup kembali tubuh terbukanya.Rose bergegas, melangkah cepat menuju jalan keluar. Berkali – kali dia menekan knop pintu. Tapi hasilnya nihil, dia dikunci dari luar.“Buka pintunya!” pekik Rose tak terima.“Theo sialan!” umpatnya tanpa henti.Pandangan Rose mengedar hampir ke keseluruh ruangan. Sepasang jendela yang menarik perhatian tidak bisa dijadikan harapan—luarannya dipagar dengan teralis. Jadi, bagaimana Rose bisa pergi?Mondar – mandir Rose memikirkan cara melarikan diri dari tempat yang kondisinya seperti kapal pecah. Kalau dia berteriak lagi—percuma! Theo mungkin sudah jauh.Lalu, apa yang harus Rose lakukan?Menghubungi Theo?Dia tidak memiliki nomor ponselnya. Asta
Bunyi kunci diputar menarik perhatian Rose. Dari posisi duduk di atas ranjang, sudah menunggu hampir berjam – jam, Rose bergegas menuju ke sumber suara.Sesampainya di sana, pintu terbuka lebar menampilkan wajah Theo yang tampak sedikit berbeda. Lebih cerah dari yang tak pernah ada—selama ini Theo selalu menampilkan aura gelap, tidak memiliki aksen bahagia sama sekali. Dan itu cukup membuat Rose mengernyit heran.“Good night, Sugar.”Rose terpaku dengan sapaan hangat yang Theo lontarkan. Seharusnya Rose marah sudah dikurung dalam kamar, hingga terpaksa harus membersihkan sisa – sisa kekacauan yang Theo ciptakan. Tapi kenyataannya, sumpah serapah yang Rose siapkan hilang ditelan keterdiaman.“I bought you this.”Sebuah plastik belanja terdorong di hadapannya. Rose memperhatikan lama, sebelum mengembuskan napas kasar untuk menetralkan diri.“Itu apa?” tanyanya penasaran.“Burger. Kau belum makan malam.” Theo menarik jemari Rose, memindahtangankan plastik berisi ma